Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di taman Merlion Singapura-(12)

Halaman 56-60

Sambil menangis, Azizah langsung memeluk Jefri erat-erat. Jefri membelai-belai perlahan rambut Azizah.

“Sudahlah Zizah, abang faham kalau Zizah demikian emosinya. Sekarang, mari kita jalan lagi, bukankah kita mau makan sate ?” bujuk Jefri mengajak Azizah meneruskan langkah mereka menuju Scott Shopping Centre.

Jefri tidak menyangka kalau rumah makan khas sate di pusat kota ini demikian ramainya. Hampir saja Jefri dan Azizah tidak kebagian kursi. Untungnya, begitu mereka masuk ada sepasang suami isteri yang bersiap-siap beranjak meninggalkan meja makan. Jefri dan Azizah buru-buru mendekat. Semula Jefri akan menyapa, karena kelihatannya seperti orang Indonesia. Tetapi Jefri mengurungkan niatnya, karena tiba-tiba Azizah menarik tangannya. Di bawah sinar lampu yang terang benderang, Jefri dan Azizah menikmati makan malam mereka dengan tenangnya. Malam yang penuh kenangan buat mereka berdua. Ingin rasanya Jefri berlama-lama berduaan dengan Azizah, tetapi bayangan wajah Pak Hasan seakan mengerang kesakitan, memanggil-manggil namanya.

“Zizah, kita langsung pulang saja, ya ? Perasaan abang kurang enak, abang ingat terus pada Bapak,” ujar Jefri setelah membayar makan malam mereka di kasir.

“Zizah turutkan apa kata Abang saja lah,” balas Zizah kembali memegang tangan Jefri dan ikut menunggu taksi. Di dalam taksi, kembali Jefri merangkul Azizah, dan Azizah pun menyandarkan kepalanya ke dada Jefri. Sampai di kawasan Beach Road, keduanya tidak berbicara. Keduanya membisu, seakan-akan sedang tidur. Mereka terkaget, ketika supir taksi menanyakan di mana mereka turun. Sampai tiba di pintu lift, mereka masih terus berpelukan. Begitu juga ketika di dalam lift. Saat pintu lift terbuka, Azizah jalan terlebih dahulu di depan.

Betapa kagetnya Azizah, ketika dilihatnya di ruang tamu, ada abangnya Rahmat. Dengan perlahan-lahan Azizah masuk, tetapi oleh Rahmat, Azizah ditegur.

“Ke mana lelaki pelaut itu, apa dia tidak mengantarmu, hah ?” Ketus Rahmat.

“Ada Bang, dia ada kak luar, sebentar lagi juga dia akan masuk, ha.. itu dia Bang,” jawab Azizah menunjuk ke arah Jefri yang berada di pintu.

“Oh, itu pelaut yang memelukmu di pinggir jalan, di keramaian tadi ? Apa sudah tidak ada tempat yang layak untuk kalian memamerkan hubungan kalian ?”

“Maksud Abang ni apa.? Zizah tak faham lah.”

“Sini, sini duduk,” kata Rahmat pada Jefri. Jefri melangkah mendekat, coba menyalami Rahmat, tetapi Rahmat tidak menerimanya.

“Sudahlah, abang tahu apa yang kalian lakukan sejak kalian sampai di toko perhiasan, keluar, jalan bergandengan, memberikan cincin, dan terus berciuman, wah, wah, enak benar kalian bergaya Eropa, huh memalukan, memalukan sekali,” tegas Rahmat agak meninggikan suaranya.

Terdengar suara batuk yang berulang-ulang dari dalam kamar Pak Hasan. Salma, mama Azizah keluar. Azizah bcrlari menghampiri mamanya dan terus menangis di pelukan mamanya.”Saya dan Bang Jefri tidak berbuat apa-apa Ma, percayalah Ma.”

“Sudahlah Rahmat, jangan kau marahi begitu adikmu ini. Jefri pun tidak seburuk sangkaanmu, janganlah nak buat ribut terus, bapak kau tu, masih sakitlah,” ujar isteri Pak Hasan memberikan nasehat pada Rahmat.

“Mak tahu tak, waktu saya telepon tadi mak katakan Azizah keluar dengan pelaut ini, saya kontak teman-teman saya untuk membuntuti mereka. Dari merekalah saya tahu kalau mereka ini berangkat kak Orchard Road. Sudah itu pelaut ini memberikan cincin buat Azizah, dan mereka berpelukan. Tahu tak mak, mereka itu berpelukan di pinggir jalan. Begitu laporan teman-teman. Sekarang coba Mak lihat, ada tak cincin tu di tangan Zizah ?”

“Benar Bu, saya memberikan cincin itu buat Azizah karena saya mencintainya. Salahkah saya kalau saya mencintai Azizah, Bu ?”

“Aku belum menanyakan itu padamu, tetapi kau malah sudah bicara. Aku rasa wajar saja aku menyuruh teman-temanku memata-matai kalian, karena bagaimanapun aku harus menyelamatkan adikku. Siapa tahu, setelah itu kalian ke hotel barangkali, di sekitar sana kan banyak hotel.”

“Pada kenyataannya, menurut teman-teman Abang kami masuk hotel atau tidak ? Abang kan tahu, di sekitar sana, hotelnya mahal semuanya. Seperti The Mandarin, Crown Prince, Marriott, Grand Hyatt, dan Royal Plaza, huh dari mana uang saya untuk menyewa kamar di sana. Satu bulan gaji saya pun tidak cukup untuk menyewa kamar di sana. Tetapi yang pasti, menurut teman Abang kami masuk hotel atau tidak, itu yang penting Bang bagi kami.”

“Memang kalian tidak masuk hotel, tetapi perlu aku tekankan sekali lagi, apakah aku tidak perlu hati-hati dan itu hakku. Tetapi, seandainya pun kalian ingin masuk hotel, kalian tidak akan pernah masuk ke dalam. Karena, sebelum kalian masuk, temanku pasti sudah menangkap kalian. Itulah perintahku.”

“Kalau pada kenyataannya tidak terjadi, buat apalah kita perbincangkan ? Saya tidak seburuk yang Abang sangka, Bang. Dari semula, ketika Abang cerita pada bapak tentang ketidaksenangan Abang pada saya, sebenarnya saya ingin menemui Abang tetapi kata Azizah, tidak perlu. Perlu Abang ketahui, tidak semua pelaut itu seperti sangkaan Abang selama ini.”

Mendapat penjelasan Jefri, Rahmat berdiri dan melangkah ke depan, dan berdiri di depan pintu. Dia menatap keluar sejenak, kemudian masuk dan duduk lagi berhadapan dengan Jefri. Diambilnya rokok sebatang, kemudian disulutnya dan dihisapnya rokoknya dalam­-dalam. Dihembuskannya asapnya ke atas.

“Begini sajalah, cincin yang kau berikan pada adikku,…. aaa….. sini Zizah,” Rahmat tidak meneruskan kata-katanya, kemudian memanggil Azizah agar mendekat ke arahnya, Dipegangnya tangan Azizah, dan ditunjuknya cincin yang masih melekat di jari manis Azizah.

“Nih, cincin ini, tidak ada hubungannya dengan tanda pengikat, kan ?”

“Secara formal, memang tidak Bang, karena aku belum memintanya pada Bapak dan Ibu di sini. Tetapi secara batin, secara tulus hati, saya mengikatnya, dan Azizah menerimanya. Bukankah begitu, Zizah ?” jawab Jefri mengalihkannya pada Azizah.

“Benar Bang, Zizah setuju apa yang Abang katakan,” jawab Zizah tegas menatap ke arah abangnya. Bahkan mamanya terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya, menyetujui apa yang barusan diucapkan Azizah. Rahmat berdiri. Diisapnya rokoknya kembali dalam-dalam. Kemudian dihembuskannya ke arah depan. Dia tetap berdiri, kemudian dia memmjuk ke arah Jefri.

“Hei pelaut, jangan kau nak buat aturanmu sendiri di rumah ini, di negara ini. Kau tahu tak, aku angkat telepon ini dan memanggil temanku atau pihak imigrasi, malam ini juga kau bisa diusir dari negara ini, kau tahu itu kan ?”

“Tetapi sebentar Bang, sebenarnya salah saya apa ?”

“Iya Mat, apa pula salahnya kau nak usir dia ? Mak tak mengerti lah.”

“Benar Bang, apa salah Jefri ?” Ulang Azizah mengikuti kata-kata mamanya.

“Kalian ini memang sudah sekongkol. Tak mak, tak adik, bukannya bela saudara, tetapi malah membela si pelaut ini, saya tak habis pikir lah. Mak, coba Mak pikir, anak kesayangan Mak ini, dipinang orang di pinggir jalan, dipelukin di pinggir jalan, apakah itu tidak penghinaan, Mak ? Cobalah Mak pikir !”

“Apa iya Zizah, kau tu, berbuat seperti kata Abang kan, tu ?”

“Bang Rahmat tu, nak buat persoalan jadi besar Mak, Bang Jefri tu hanya cium kening Zizah, tak lebih lah Mak. Zizah tak bohongkan Mak, percayalah.”

“Zizah tu bukanlah anak kecil lagi, Bu. Dia tahu mana yang baik, dan mana yang tidak baik. Jadi, tidaklah mungkin kami akan berbuat yang macam-macam. Kalau memang niat kami mau berbuat macam-macam, kenapa harus jauh-jauh, di atas ada kamar saya, dan saya bisa berbuat yang tidak-tidak kalau saya mau. Tetapi percayalah Bu, baik saya, atau pun Azizah, tidak akan mempermalukan Ibu maupun Bapak.”

“Apakah Abang perlu kontak lagi teman Abang, atau mereka Abang panggil ke sini ? Aku mau berbuat baik, tetapi malah aku yang dikeroyok di rumah ini. Oke, sekarang begini saja, kalau benar apa yang kau katakan tadi, aku mau tanya. Kapan kau akan meminang adikku. Coba jawab !” ketus Rahmat pada Jefri.

“Wah, kalau itu, saya belum bisa jawab sekarang Bang. Abang kan tahu, besok siang saya dan teman-teman, akan diberangkatkan ke Hongkong oleh perusahaan, dan saya tidak tahu berapa lama saya berada di sana. Kalau menurut Mr. Tan, saya hanya mengantarkan saja, sudah itu pulang lagi ke sini,” jelas Jefri.

“Kalau itu bukan jawaban namanya. Malah, kalau aku boleh mengartikannya, bahwa kau itu tidak dapat memastikannya, dan itu artinya tidak ada yang bisa kami pegang. Itupun, seandainya, aku menerimamu, dan itupun belum tentu. Masih banyak persyaratan yang lain harus kau penuhi. Apalagi adat, dan kebudayaan kita berbeda.”

“Saya baru merintis kerja saya, dan itu saya mulai di kapal. Saya masih sangat muda untuk membangun rumah tangga, begitu pula dengan Azizah. Saya masih mengharapkan dia untuk menyelesaikan kuliahnya. Bila perlu, sampai ke pendidikan yang lebih tinggi lagi, dan saya yakin Azizah akan mampu melakukan itu semua.”

“Bukankah itu hanya alasanmu saja. Pura-pura mendukung untuk kemajuan Azizah, tetapi kau hanya menjadikannya salah satu pelabuhan, di antara pelabuhan-pelabuhan lain yang setiap saat kau singgahi. Itulah gaya pelaut.”

“Itu cerita lama Bang. Kapal-kapal saat ini banyak dikendalikan orang-orang dari akademi pelayaran, orang-orang terpelajar, yang perilakunya sudah jauh berbeda dengan pola tingkah laku pelaut-pelaut zaman dahulu.”

“Ha…ha…, itu hanya teori, teori. Kapal boleh dipimpin orang-orang terpelajar, atau apalah yang kau sebutkan tadi, tetapi masalah…. yah, sudahlah aku tidak pantas mengatakannya di sini, tak baiklah. Hanya kesimpulannya, aku belum bisa menerimamu seratus persen, itu saja “

“Tidak apa-apa, biarlah waktu yang menentukan nanti, Bang. Di usiaku yang muda ini, aku harus hanyak menimba ilmu dan pengalaman, kalaupun dalam perjalanan itu banyak benturan-benturan, biarlah benturan itu yang mematangkannya. Termasuk apa yang barusan terjadi, saya akan mengambil hikmahnya.”

“Bang, bukankah tadi Abang buru-buru pulang karena nak lihat Bapak ?” potong Azizah yang melihat Jefri dan abangnya masih terus bersitegang.

“Oh ya,” kata Jefri berdiri dan coba meninggalkan ruangan tamu.

“Permisi dulu, Bang,” ujar Jefri pada Rahmat, yang terus menatapnya­.

Azizah mcngikuti Jefri ke dalam kamar menemui ayahnya. Pak Hasan sangat gembira ketika Jefri mendekatinya. Tiba-tiba Pak Hasan mencoba bangkit dari tidurnya. Dia coba bergerak untuk duduk. Akhirnya Azizah dan Jefri bersama-sama mengikuti kehendak Pak Hasan yang ingin duduk bersandar ke dinding ranjang. Pak Hasan menjulurkan tangannya mencoba memegang kepala Jefri.

“Maafkanlah anak bapak, Jef. Dia itu sebenarnya orangnya baik, hanya wataknya saja yang begitu. Barangkali, tugas-tugasnya selama di kepolisian, membuatnya sangat berhati-hati dalam bertindak,” kata Pak Hasan agak terbata-bata.

“Tidak Pak, tidak apa-apa. Apa yang dikatakan Bang Rahmat itu benar, dia perlu hati-hati menjaga adiknya yang cantik ini,” ujar Jefri menoleh ke Azizah.

“Abang tu selalu begitu, malu lah Bang pada Ayah,” kata Azizah sedikit menunduk.

“Pak, saya do’akan Bapak lekas sembuh, agar Bapak dapat bertugas seperti biasa lagi. Coba kalau Bapak sehat, barangkali Bapak yang mengantarkan saya dan teman-teman, termasuk Kapten Martin, ke Changi besok siang.”

“Memangnya kalian mau berangkat ke mana, Jef ?”

“Kalau tidak ada halangan, besok siang kami akan berangkat ke Hongkong !”

“Ke Hongkong ? Bukankah kalian masih baru di Bay Tank, sudah mau pindah lagi. Atau kalian mau mengambil kapal baru ?”

“Tidak Pak, kami akan menetap dan kerja di sana. Kalau saya, rencana Mr. Tan, hanya sekedar mengantarkan saja, sudah beres urusan, saya kembali lagi kemari. Tetapi tidak tahu lah Pak.”

“Sepertinya Mr. Tan mulai menaruh percaya padamu Jef, itu suatu permulaan yang baik. Bapak yakin, suatu waktu nanti kau akan dijaminnya untuk menetap di Singapura ini. Bapak yakin itu, karena Mr. Tan pernah mengatakan pada bapak, kalau dia itu respek padamu, Jef,” jelas Pak Hasan.

“Bang Jefri bisa tinggal lama kak Singapura ini ? Benarkah itu Ayah ?”

“Kenapa tidak. Selama Mr. Tan mau menjaminnya, tak ada masalah. Menetap lama, bukan berarti Jefri nak masuk warga negara Singapura, taklah sampai begitu. Tetapi Jef, bukan hanya Mr. Tan yang percaya padamu, aku pun percaya padamu. Bapak percayakan Azizah padamu,” kata Pak Hasan menarik perlahan tangan Jefri, kemudian digenggam dengan kedua tangannya erat-erat.

“Insya Allah, Pak,” jawab Jefri mengangkat tangan Pak Hasan, kemudian dikecupnya berulang-ulang.

“Terima kasih atas kepercayaan Bapak, terima kasih, Pak,” ujar Jefri agak terbata-bata. Melihat kejadian itu, Azizah langsung mencium kening Ayahnya, dan merebahkan diri di sisi Ayahnya. Bu Salma masuk. Dia heran melihat Jefri dan Azizah menciumi suaminya. Dia mencoba duduk di sebelah Azizah.

“He, ada apa ini ? Kalian tu, nak tangiskan apa ? Mak heran lah,” tanya Bu Hasan.

“Tak ada, tak ada apa-apa. Aku cuma titipkan Azizah pada Jefri, karena dia tu besok nak berangkat ke Hong Kong. Siapa tahu dia lama di sana, dan bisa saja nanti dia tidak bertemu lagi dengan aku, ya sekaranglah..“

“Tapi, buat apa pula Abang cakap kak tu. Tak baiklah begitu. Umur tu Bang, Allah yang menentukan, jadi janganlah pula Abang tu berputus asa. Jangan nak takutkan kami lah,” sergah Bu Hasan memotong pembicaraan suaminya, dan menggoyang-­goyangkan paha suaminya.

“Ayah, Ayah tak baik cakap begitu lah,” ujar Azizah terus menangis.

Rahmat yang semula ingin pulang, mendengar rintihan langsung masuk ke dalam kamar. Dia ingin tahu apa yang sedang terjadi di dalam.

“Kenapa Zizah, ada kaitannyakah dengan persoalan abang tadi ? Janganlah nak buat macam-macam, bapak tu belumlah sehat betul,” ketus Rahmat pada Azizah yang terlihat masih terus menangis.

“Sudahlah Mat, tak baik kau marah-marah begitu. Mak heran lah melihat kau tu ­menuduh kami berbuat macam-macam. Apa makna kau cakap begitu, Mak tak faham lah. Bapak tu, sudah dengar apa yang kita bincangkan di luar tadi, tetapi Bapak kau tu, tak memberi reaksi apa-apa,” jelas Bu Hasan memandang ke Rahmat.

“Kalau begitu, kenapa pula Azizah tu sampai menangis ?”

“Dia tu sedih, pasal Bapak mengatakan pesan terakhir pada Jefri.”

“Pesan terakhir bagaimana, Mak ?” desak Rahmat mendekat ke sisi ibunya.

“Bapak tu, takut kalau-kalau dia tu tak bertemu Jefri lagi, jadi dia menitipkan Azizah. Nah, kami jadi sedih mendengar kata-kata itu, dan adikmu langsung menangis,” ungkap Bu Hasan.

“Pak, Bapak janganlah buat kami ini sedih. Kalau kata dokter Bapak itu boleh pulang, itu artinya Bapak tu tak lama lagi akan sembuh, dan sehat lah. Jadi buat apa cakap yang tidak-tidak.”

“Iya, itu kan kata dokter, tetapi yang merasakannya kan Bapak. Terus tentang Jefri, bukannya Bapak tak menghormati kau, adik-adik, dan Mak kau ini, bukan, Mat ! Hanya, Bapak tu percaya dan sayang padanya. Bapak sudah pun menganggapnya bagian keluarga besar kita.”

“Tetapi tidak berarti, dia otomatis jadi suami Azizah, kan ?” Tanya Rahmat penasaran.

“Jawaban Bapak, bisa iya, dan bisa pula tidak. Karena itu sudah menyangkut jodoh, dan jodoh itu urusan Allah ! Tetapi sebaliknya. perlu kila pertimbangkan bahwasanya, Jefri dan adikmu Zizah, sudah saling mencintai. Tak baik kita nak menutup mata kita, terhadap hubungan mereka berdua.”

“Itu kan karena kesalahan Bapak dan Mak.”

“Apa pula salah kami, Mat ?” sanggah Bu Hasan atas pernyataan puteranya.

“Karena sejak awal, Bapak dan Mak membiarkan lelaki pelaut tu berkenalan dan berhubungan dengan Azizah.”

“Mereka berkenalan sendiri, jalan sendiri, terus mereka berhubungan, jadi mana lah Mak dan Bapak kau tahu. Kami tidak pernah ikut campur. Setiap keluar rumah, mereka minta ijin baik-baik dan pulangnya pun tidak sampai larut malam.”

“Di situlah letak kesalahan awalnya. Karena mereka dibiarkan keluar rumah berduaan.”

“Sudahlah Mat, adik kau tu bukanlah lagi anak kecil. Mak tahu kau lakukan ini semua, karena kau sayangkan adik kau tu, kan ? Mak faham itu. Tetapi kalau adik kau menentukan pilihannya pada Jefri, Mak, dan Bapak, tidak bisa menghalanginya.”

“Tetapi, Jefri itu pelaut, Mak ! Saya ini faham betul tingkah laku pelaut, karena saya ini banyak teman pelaut. Terserah Bapak dan Mak kalau mau menerima dia, tetapi saya tidaklah semudah itu.”

“Mat, tak baik menutup silahturahmi. Paling tidak pun, Jefri itu tamu di rumah kita, jadi janganlah kita itu meributkannya terus. Mak itu takut, kalau suatu waktu kau atau adik-­adikmu merantau, atau sekolah ke luar negeri, terus di sananya tidak diterima orang dengan baik, bagaimana perasaan kita ?”

“Siapa pula nak keluar negeri, Mak. Kerja, apalagi sekolah, tidaklah mungkin dan mana kita punya biaya nak sekolah keluar negeri,” sanggah Rahmat.

“Kau tak boleh cakap kak itu Mat, kalau Allah memberikan rejeki, langkah pada keluarga kita, atau siapa tahu adikmu Zizah ada nasib baik, bisa saja terjadi kan ? Apa kau tak senang, kalau adikmu bisa sekolah ke luar negeri.”

“Kalau Zizah sampai bisa sekolah ke luar negeri, aku pastilah senang, Mak. Tetapi kalau dia sampai menikah dengan pelaut, apakah aku harus senang ?”

“Sudahlah Mat, kau balik lagi ke soal si Jefri. Dia tu pernah buat salah apa Mat padamu, sampai-sampai kau itu benci begitu.”

“Benar, Mak. Zizah juga tak faham Bang Rahmat pasal apa, benci betul lah pada Bang Jefri itu.”

“Tak tahulah Zizah. Bapak dan Mak kau ini tidak pernah mengajarkan permusuhan kepada orang lain. Dulu juga Abang kau ini tidaklah begitu wataknya. Tetapi sekarang ini, sudahlah. Mak tak tahu lagi nak cakap apa, pusing lah.”

“Baiklah Mak, aku nak balik dulu. Kalau ada apa-apa soal Bapak, cepat Mak telepon aku,” ujar Rahmat melangkah keluar kamar, dan terus pergi.

Tidak lama setelah Rahmat pergi, Jefri pun pamitan pada Pak Hasan, isterinya, dan Azizah. Azizah mengantarkan Jefri sampai di depan pintu. Mereka saling rangkul sebentar, kemudian Jefri melangkah menuju ke pintu lift. Sebelum pintu lift terbuka, tiba-­tiba Azizah datang mendekat ke sisi Jefri.

“Bang, besok sebelun berangkat, Abang dan teman-teman Abang makan-makan dulu di rumah, ya ? Zizah nak siapkan makanan buat Abang dan teman-teman Abang.”

“Bagus juga ide kau tu Zizah. Kalau begitu, kau belanja lah pagi-pagi, ya ? Ini Abang titip,” kata Jefri mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembar dollar pada Azizah.

Teman-teman, termasuk Kapten Martin, menyambut gembira atas inisiatif Jefri untuk mengadakan makan-makan di rumah Pak Hasan, sebelum berangkat ke Bandara Changi besok siang. Menurut Ahmad, ketika dirinya diminta Jefri untuk mengundang Kapten Martin, ternyata Kapten Martin menyetujuinya, bersedia untuk datang.

“ Katanya, dia sekalian akan membesuk Pak Hasan. Malah dia pesan, sebelum kita turun ke bawah dia minta kita menjemputnya,” lapor Ahmad pada Jefri tentang rencana mereka mengundang Kapten Martin.

“Acara ini kan sebenarnya acara perpisahanmn dengan Azizah, tetapi kenapa malah mengundang kami ? Apa nantinya tidak mengganggu,” kata Jafar coba rnengingatkan Jefri.

“Kita semua kan mengenal Pak Hasan, jadi aku kira, apa salahnya kita adakan acara ini, dan itu pun hanya sekedar makan-makan lah.”

“Maksud kami, apakah kehadiran kami tidak mengganggu acara perpisahanmu. Kau tahu lah Jef, recok kali kami nanti, ya nggak Far ?” Tambah Udin memberikan komentarnya.

“Sudahlah, yang penting kalian setuju nggak acara ini, kalau tidak kubatalkan sajalah,” Jefri coba memancing reaksi teman-temannya.

“Alamak, janganlah pula kau batalkan acara kita itu, kapan pula kita mau merasakan masakan calon isterimu itu, iya nggak Far ?”

“Benar juga Din, kau jangan sampai membatalkannya. Apalagi Kapten Martin sudah bersedia datang, apa katanya kalau kau batalkan ? Nanti dianggapnya kita main-main, akhirnya malah keberangkatan kita yang dibatalkannya, wah bisa gawat Jef !”

“ltulah makanya, kalian jangan ejek aku terus. Kalau bisa, malah kalian itu harus membantuku,” ajak Jefri.

“Membantu bagaimana maksudmu Jef ? Tak ngerti aku,” jawab Udin.

“Begini, kita kan dapat bonus untuk keberangkatan kita, bagaimana kalau kita sisihkan sedikit untuk menyumbang pada Pak Hasan, kalian setuju, aggak ?”

“Wah, ide kau boleh juga itu. Aku setuju, aku setuju Jef,” sambut Jafar langsung mengeluarkan dompetnya, kemudian menyerahkannya pada Jefri. Akhirnya, teman-teman lainnya secara spontan memberikan uangnya pada Jefri. Sebelum menutup amplop, Jefri juga memasukkan uangnya.

“Sebaiknya, uang ini yang memberikannya Abang kita Udin, karena dia yang paling tua di antara kita, setuju kan ?” Kata Jefri pada teman-temannya.

“Terima kasih atas kepercayaan kalian. Aku siaplah menyerahkannya untuk Pak Hasan. Sudah itu, kita minta Pak Jafar kita ini memimpin do’a. Biar hikmat lah acara kita, setuju kan kalian ?”

“Aku sangat setuju ! Selain mendo’akan agar perjalanan kita lancar, tolong Far, jangan sampai lupa untuk mendo’akan untuk kesembuhan Pak Hasan,” tambah Jefri.

“Tentu, tentu aku akan mendo’akan Pak Hasan. Dia itu kan orang tua kita di rantauan ini, jadi aku kira sangat tepat kita mendo’akan kesembuhannya.”

Setelah ada kesepakatan dengan teman-temannya, Jefri mengabarkan pada Azizah, bahwa besok, selain akan makan bersama, akan dilaksanakan juga, do’a bersama. Selain dihadiri teman-teman, acara besok juga akan dihadiri Kapten Martin. Mendengar kabar dari Jefri, Azizah langsung mengabarkan pada kedua orang tuanya. Mereka tidak menyangka, kalau acara semula hanya untuk makan-makan biasa menjadi demikian seriusnya dirancang. Yang sangat mengharukan mereka, sebagaimana yang dikatakan Jefri, pada saat itu akan ada do’a bersama. Sungguh mengharukan ! Azizah sendiri tidak dapat membayangkan bagaimana para pelaut yang dikatakan abangnya demikian buruk, ternyata dapat melakukan hal-hal yang demikian hormatnya, sopan santun, dan bernuansakan ritual keagamaan. Azizah yakin, kalau semua itu dirancang oleh Jefri, dan didukung oleh semua teman-temannya, termasuk Kapten Martin….Bersambung…

Back to top button
jalak4d slot bet kecil pusat slot
noa4d noa4d login noa4d daftar
jalak4d jalak4d login jalak4d daftar
prasastigaming prasastigaming login prasastigaming daftar
inbox4d inbox4d login inbox4d daftar
parkit4d parkit4d login parkit4d daftar
noa4d noa4d login noa4d daftar
noa4d noa4d login noa4d daftar
prasastigaming prasastigaming login prasastigaming daftar
cermat4d cermat4d login cermat4d daftar
saat4d saat4d login saat4d daftar
plazabola plazabola login plazabola daftar
takjub4d takjub4d login takjub4d daftar
prasastigaming prasastigaming login prasastigaming daftar
saat4d saat4d login saat4d daftar
saat4d saat4d login saat4d daftar
parkit4d parkit4d login parkit4d daftar
parkit4d parkit4d login parkit4d daftar
pilih777 pilih777 login pilih 777 pilih777 daftar pilih777 slot slot gacor
pilih777 pilih777 login pilih 777 pilih777 daftar slot 2025 slot gacor
Fokus777 Rtp fokus777 Fokus777 login Fokus 777 slot fokus777 login fokus777
pilih777 pilih777 login pilih 777 pilih777 daftar pilih777 slot pilih777 slot login
kirim4d kirim4d login kirim4d daftar rtp kirim4d kirim 4d
sulap777 sulap777 login sulap777 daftar rtp sulap777 sulap 777
wahanabola wahanabola login wahanabola daftar agen sbobet pusat sbobet
MAKASAR KOTA MAKASAR profil_pafi registrasi struktur_organisasi
meja777 meja 777 meja777 login meja777 daftar rtp meja777
sinden4d sinden4d daftar login sinden4d rtp sinden4d
slot gacor kirim4d daftar kirim4d slot dana
slot gacor kirim4d daftar kirim4d slot dana