Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di taman Merlion Singapura-(13)
Halaman 61-65
Pada pukul 0.15, Kusnadi, Victor, dan Efendi, secara serentak tiba di mess. Begitu tiba, mereka langsung mendapat penjelasan dari Udin, kalau siang nanti sebelum berangkat, ada acara di rumah Pak Hasan. Udin juga mengatakan, kalau mereka telah mengumpulkan sejumlah dana yang akan diserahkan untuk membantu meringankan beban Pak Hasan yang kini sedang menderita sakit. Mendengar penjelasan Udin, Kusnadi, Victor, dan Efendi, langsung menyerahkan uang pada Udin.
“Bagaimana dengan Kapten Martin, apa dia sudah tahu kalau kita merencanakan untuk memberikan bantuan pada Pak Hasan ?” Tanya Kusnadi.
“Benar juga Din, kenapa tidak kita coba, dan aku percaya kalau dia akan mendukung acara kita,” tambah Victor mendekat ke sisi Udin.
“Hei, aku boleh ikut kan ?” Tanya Jefri.
“So pasti ngana ikut jo, ngana kan ketua panitia, ayo jo torang barangkat,” ajak Victor melangkah menarik tangan Jefri.
Akhirnya, mereka bersama-sama menghadap Kapten Martin. Giliran Kapten Martin yang terkejut, karena pagi-pagi sudah dikunjungi anak buahnya.
“Lho, bukannya acara kita siang ? Kenapa sepagi ini kalian sudah datang ?” Tanya Kapten Martin melihat kehadiran anak buahnya.
“Maaf Kap, kalau kami mengganggu. Kap, ada acara tambahan yang menurut kami berkaitan dengan tradisi bangsa kami, di mana kalau membesuk orang sakit atau orang yang sedang berduka, kita biasa memberikan bantuan. Saya dan teman-teman, sudah mengumpulkan sedikit dana yang akan kami serahkan nanti pada Pak Hasan,” ungkap Udin mendekat ke sisi Kapten Martin, dan menunjukkan amplop di tangannya.
“Wah, bagus juga ide itu. Di negara kami juga ada tradisi seperti itu. Saya setuju itu, sebentar ya,” sambut Kapten Martin langsung mengeluarkan dompetnya, kemudian menyerahkan lima ratus dollar Singapura pada Udin.
“Oh ya, susunan acaranya apa saja ya ?” Tanya Kapten Martin.
“Pertama, tentunya sambutan dari Kapten, kemudian sebelum makan, kita baca do’a. Setelah makan, sebelum kita pamitan, saya sebagai perwakilan dari kita akan menyerahkan bantuan kita pada Pak Hasan. Itu saja Kap,” jelas Udin.
“Baik, sudah baik itu, nanti kalian jemput saja saya. Dan, tolong sampaikan pada Ahmad, nanti barang-barang ini dibawa ke bawah, kalau mobil perusahaan sudah datang,” kata Kapten Martin menunjuk ke arah barang-barang yang telah dikemasnya.
“Kalau begitu, kami permisi dulu Kap,” kata Udin berdiri, langsung ke luar dan diikuti Victor, Jefri, Jafar, dan Kusnadi.
Pak Hasan terlihat masih lemah dan wajahnya pucat. Didampingi Salma isterinya, Pak Hasan mencoba tegar selama acara berlangsung. Tetapi saat Jafar membacakan do’a, Pak Hasan tidak dapat membendung air matanya. Dia membayangkan anak-anak dan menantunya sendiri tidak pernah mengadakan do’a bersama. Ini orang lain, yang jelas-jelas bukan saudaranya, apalagi berbeda bangsa, mendo’akannya demkian khusuk. Melihat Pak Hasan menitikkan air mata, yang hadir juga terhanyut. Begitu selesai do’a, Jefri berinisiatif memberikan piring pada Kapten Martin, agar acara makan dimulai. Pak Hasan sendiri makan bubur dan pepaya.
Yang paling gelisah dan tidak enak makan, adalah Jefri. Karena hanya hitungan merit, dia akan berpisah dengan Azizah. Kegelisahan yang sama, ternyata dialami Azizah. Dilihatnya Azizah masuk ke kamarnya, Tanpa ragu-ragu dan malu dia memberanikan dirinya masuk ke kamar Azizah, tetapi dia membiarkan pintu kamar dalam posisi terbuka. Dipeluknya Azizah yang sedang duduk di sisi ranjang.
“Abang pergi dulu ya sayang do’akan saja abang sukses,” kata Jefri terus membelai-belai rambut Azizah.
“Zizah tak tahu nak buat apa, setelah Abang pergi, tak ada lagi tempat mencurahkan hati. Abang nanti hubungi Zizah kalau sudah sampai di sana ya ! Zizah akan menunggu Abang sampai Abang pulang nanti” desah Azizah mengusap air matanya.
“Pasti, pasti abang akan selalu menghubungimu, dan akan menulis surat untukmu. Percayalah,” ujar Jefui kian erat merangkul tubuh Azizah.
“Sudahlah Bang, waktu keberangkatan Abang kian mendekat, dan teman-teman Abang sudah menanti di luar.”
“Okelah,” kata Jefri terus mengajak Azizah untuk sama-sama berdiri. Mereka saling berhadapan. Jefri memegang dagu Azizah, kemudian dengan perlahan, dikecupnya bibir Azizah. Azizah tersentak, dibukanya matanya lebar-lebar. Dipandanginya wajah Jefri. Sambil menangis, dirangkul dan diciumnya kedua pipi Jefri berulangkali. Terakhir, dikecupnya kening Jefri, kemudian dia menundukkan kepalanya. Jefri kembali memegang dagu Azizah, kemudian dikecupnya kening Azizah. Jefri menggandeng Azizah keluar kamar. Baru saja mereka melangkah keluar, semua mata memandang ke arah mereka. Tidak tahu siapa yang memulainya, tiba-tiba ramai suara tepuk tangan.
“Romeo dan Juliet memasuki ruangan, para hadirin diminta berdiri,” teriak Udin. Yang konyolnya, semua teman-teman Jefri berdiri, termasuk Kapten Matin. Pak Hasan dan Bu Salma yang semula serius, akhirnya tertawa. Azizah tersipu malu, tetapi dia tidak melepaskan pelukannya. Jefri dan Azizah mendekat ke arah Pak Hasan dan isterinya.
“Saya, atas nama keluarga Pak Hasan, mengucapkan terima kasih atas perhatian teman-¬teman, khususnya kepada Kapten Martin. Begitu pula dengan…”
“Sebentar Jef, yang itu belum kami berikan,” potong Udin.
“Maaf. Kalau begitu, sekarang saja Din. Bapak dan Ibu, terimalah sedikit dari kami, kiranya dapat meringankan beban Bapak dan lbu. Tidak ada lain, kami mendo’akan, semoga Bapak, Ibu, dan keluarga di sini sehat wal’afiat selalu. Khususnya untuk Pak Hasan, semoga lekas sembuh. Terimalah Pak,” ujar Jefri memberikan gerakan pada Udin untuk menyerahkan amplop pada Pak Hasan.
“Terima kasih, terima kasih,” ujar Pak Hasan lirih, menerima amplop dan salam dari Udin. Kemudian Kapten Martin dan teman-teman Jefri menyalami Pak Hasan, Isterinya, Azizah, dan Fuad satu persatu. Pada saat teman-temannya saling bersalaman, Udin melihat foto-foto yang ada di dinding. Betapa kagetnya Udin ketika di antara foto yang terdapat di dinding ruang tamu, ada foto yang sangat dikenalnya.
“Bukankah ini Sersan Rahmat ? Apa hubungannya Rahmat dengan Pak Hasan, atau jangan-jangan,…” Udin terus tertegun memperhatikan foto Rahmat.
“Ada apa Din, kau kelihatan sangat serius memandangi foto itu,” tanya Jefri mengagetkan Udin.
“Jef, aku mengenal orang ini, Jef. Ini Sersan Rahmat, kan ?”
“ Benar, Din. Dari mana kau mengenalnya ?” desak Jefri ingin tahu.
“Hubungannya apa dengan Pak Hasan ?”
“Ya dia itu, putera Pak Hasan yang paling tua,” jelas Jefri.
“Bah ! Calon kakak iparmu rupanya, Jef.”
“Ya, tapi orangnya sadis ! Dia tidak setuju hubunganku dengan Azizah”
“Apa pula keberatannya dia padamu Jef ?”
“ katanya sih, karena aku ini seorang pelaut.”
“Lho, kalau pelaut kenapa ?”
“Menurutnya, pelaut itu brengsek lah.”
“Wah, kalau begitu, dia harus bertemu dulu dengan aku. Aku tahu belangnya, Jef”
“Maksudmu, kau tahu kasusnya, Din ?”
“Iyalah, apa lagi ? Tahunya aku permainannya. Seringnya kami jalan ke tempat-tempat yang begituan di Singapura ini. Langganannya pun aku tahu, tapi itu dulu, ya setahun yang lalu lah.”
“Sekarang ini, pangkatnya sudah naik Din, sudah banyak anak buahnya. Aku saja pernah diikuti anak buahnya. Dikiranya aku mau macam-macam sama adiknya. Atau dikiranya, pelaut itu seperti kau Din, jadi takut lah dia memberikan adiknya padaku.”
“Sudahlah, kaya nggak laki-laki saja. Tetapi kau katakan saja Jef, namaku atau si Obeng, si Tohir, akh banyaklah, pasti ingatnya dia itu.”
“Kalau begitu, benar juga apa yang dikatakannya padaku. Memang pernah dia bilang, banyak temannya pelaut. Ternyata, di antaranya, kau Din….”
“Ha…benar kan ? Sudahlah, bila perlu nanti kubantu kau, Jef. Kalau sama aku, dia tidak banyak ngomong itu, percayalah kau Jef. Tenang saja kau,” ujar Udin menenangkan hati Jefri yang panas kalau melihat Rahmat.
“Baiklah, kita siap-siap saja, takutnya nanti ada telepon dari kantor, kita belum siap. Bagaimana, Jef ?” Tanya Kapten Martin pada Jefri, yang masih serius berbicara dengan Udin. Sementara yang Iain, dari tadi sudah siap-siap meninggalkan rumah Pak Hasan. Jefri akhirnya meninggalkan Udin, menghampiri Pak Hasan dan isterinya. Jefri mencium tangan Pak Hasan, begitu pula dengan isterinya. Kalau Fuad, malah dia yang mencium tangan Jefri. Di depan keluarga dan teman-temannya, Jefri dan Azizah saling berpelukan dan berciuman pipi. Dengan penuh haru, cinta, dan kasih sayang, Azizah melepaskan Jefri berangkat ke Hong Kong. Mungkinkah mereka dapat bertemu dan menjalin kasih kembali ?….Bersambung…Ikuti Besok Bagian 2 dimulai…