Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di taman Merlion Singapura-(14)
Halaman 66-70
BAGIAN KEDUA
Menepati Janji
Lulu, Ang Mei, dan Rukiah meninggalkan Jefri seorang diri di kantor pos Singapura. Dalam perjalanan menuju halte, Lulu dicandai teman-temannya. Terutama Ang Mei, yang masih penasaran, karena wajah dan penampilan Jefri mengingatkannya pada seseorang yang juga disenanginya. Apakah Lulu juga sependapat dengannya ? Ang Mei mencoba berjalan di sisi Lulu.
“Lu, kalau aku tidak salah mengingat, wajah pria yang kau kenalkan pada kami tadi, seperti……” Ang Mei coba memancing ingatan Lulu.
“Hidayat !” jawab Lulu spontan.
“That is right ! Dia sangat mirip dengan Hidayat. Hidayat kekasihnu dulu, iya kan ?”
“Benar, benar Mei. Betapa terperanjatnya aku ketika melihat pria itu pertama kali di kantor pos. Aku perhatikan tinggi dan gaya rambutnya dari belakang, aku bertambah terpana. Ketika kucoba mendekat, dia tidak terkejut, ya pasti bukan Hidayat. Tetapi begitu aku membaca tulisan di amplop swat yang dibawanya tertera kota Bandung, aku penasaran, bukankah di kota itu kita dengar Hidayat berada, Mei ?”
“Ya, semula aku mengira dia berpura-pura tidak mengenal kita, eh enggak tahunya, siapa tadi namanya, Lu ?”
“Jefri. Jefri Darmawan.”
“Oh ya, Jefri. Atau jangan-jangan dia mau mempermainkan kita. Dia nak buat kejutan !”
“Akh, aku faham, Hidayat tak akan berbuat macam itulah.”
“Atau, dia itu main, karena kita sudah tahu perihal yang menghebohkan keluarganya. Atau, dia tuh baru sembuh dari pengaruh obat-obat terlarang, jadi…….”
“Pelupa ! Begitu maksudmu, Mei ?”
“Tak begitulah. Minimal, begitu dia lihat wajah-wajah kita, memorinya tergugah, sadar, dan dia ingat kembali pada kita”
“Forget it lah. Yang penting aku akan menepati janjiku dulu, aku akan melihat, pria yang bernama Jefri itu baik atau tidak. Siapa tahu dia itu saudaranya Hidayat, apalagi dia baru dari Bandung. Jadi aku tak salah nak kenalan lebih jauh, kan ?”
“Tidak, kau tidak salah Lu. Paling tidak, jalan menuju ke cita-cita kita kan tetap konsisten. Ingat tak saranku, kau harus tetap berhati-hati, Lu,” pesan Ang Mei.
“Thanks atas saranmu, Mei. Eh, Mei, siapa tahu, dia dapat mengobati hatiku yang hancur ini. Support me, please.”
“Hei, hei, anak manis, kami minta maaf dari tadi tidak melibatkanmu dalam percakapan kami. Maafkan kami, ya Kiah,” ujar Lulu dan Ang Mei hampir serentak mengerumuni Rukiah.
“Tak masalah lah. Aku tu faham apa yang kalian bincangkan, tak ada lain, pasal lelaki lah.”
“Ha,…ha,…ha,…” Mereka bertiga serentak tertawa. Tertawa diantara para calon penumpang yang menunggu bis dan menuuggu nomor jurusan masing-masing.
Setelah berpisah dengan Ang Mei dan Rukiah, Lulu pulang ke rumahnya. Lulu tinggal bersama kedua orang tuanya di Victoria Street. Suatu bangunan rumah yang juga merangkap toko onderdil. Ayahnya, Wong Chung Hwa, seorang pekerja keras yang memliki puluhan perahu motor pengangkut barang ataupun orang. Pada usianya menjelang enam puluh tahun, kelihatannya masih gagah. Wong tidak menjalankan usahanya sendiri, tetapi dipercayakannya pada orang lain. Termasuk She Kuo Wei, yang masih ada hubungan saudara dengan isterinya, Cheng Yuen Ma. Seorang wanita setengah baya yang sangat tabah, penyabar, dan sangat menyayangi Liu Ching Shia, puteri satu-satunya dari enam orang anaknya.
Di rumah yang demikian luas, Lulu tinggal bersama kedua orang tuanya, kakaknya Wong Chung Pha, dan seorang pembantu asal Majalengka, Jawa Barat, yang pernah menetap di Batam, bernama Maimunah. Usianya tiga puluh tahun dan sudah hampir lima tahun bekerja pada keluarga Wong. Wong bertemu Maimunah di Batam, saat dia dan teman-temannya sering berkunjung ke sana. Tidak tahu bagaimana awalnya, tetapi ketika isterinya menginginkan seorang pembantu, Wong membawa Maimunah, tanpa curiga, isterinya setuju-setuju saja, termasuk Lulu, dan kakaknya Chung Pha. Sejak itu, Maimunah menjadi bagian dari keluarga besar Wong Chung Hwa.
Cheng Yuen Ma, selaku Nyonya Wong, sangat memahami tingkah laku suaminya yang tukang main judi, minum-minum, dan main perempuan. Dia mengenal suaminya, sejak mereka sama-sama dibesarkan dalam lingkungan usaha pelayaran antar pulau. Kedua orang tua mereka masih kerabat dekat. Sejak kecil, mereka melihat bagaimana perilaku orang tua mereka yang selalu bermain judi dan mabuk-mabukan. Pada saat orang tua mereka bermain judi, Wong kecil, dan Cheng kecil bermain berdua. Terkadang mereka terlantar tidur berdua. Sampai akhirnya, oleh ibunya, Cheng dikirim ke Penang, Malaysia, tinggal bersama pamannya. Puluhan tahun kemudian, setelah Wong diberikan kepercayaan mengelola usahanya sendiri, dan maju, ayahnya berbicara serius.
“Wong, papa senang usahamu sudah maju. Perahu motormu telah puluhan, sudah punya rumah dan toko, papa kira sudah saatnya kau menikah.”
“Waah, aku belum ada tujuan ke sana. Lagi pula, aku belum punya teman wanita, bagaimana mau menikah ?”
“Bagaimana kalau papa jodohkan dengan puteri kerabat dekat kita bahkan kau pun sudah mengenalnya. Kedua, orang tuanya sudah setuju. Dia pun ketika mendengar pembicaraan kami, kelihatannya tidak protes”
“Wah, aku jadi penasaran ingin mengetahui siapa puteri itu, Pa ?”
“Haiya, itu artinya kau tidak keberatan untuk menikahinya bukan ?”
“Iya, iya, tetapi papa harus beritahukan dulu padaku, siapa dia. Apalagi, papa katakan aku mengenalnya. Aku jadi penasaran, ayo katakanlah Pa.”
“Nah, sekarang kau yang penasaran dan tidak sabaran, kau ini memang benar-benar”
“Benar apanya ?”
“Ya benar-benar ingin segera menikah. Tahu tidak, puteri itu, bernama Cheng Yuen Ma, ya si Cheng-Cheng, ingat kan ?”
“Si Cheng-Cheng ? Bukankah dia ada di Penang, Pa ?”
“Syukurlah, kalau kau masih mengenalnya. Sekarang ini, dia sudah ada di sini. Bahkan kemarin papa melihatnya, huh ! Papa hampir-hampir tidak mengenalnya. Dia tambah cantik lho sekarang,” kata papa Wong mengangkat jari jempolnya.
“Akh, Papa bisa saja,” jawab Wong menunduk malu.
“Benar. Kalau kau serius, papa dan mamamu akan segera menemui kedua orang tuanya.” “Segera Pa ?”
“Ya segera lah ! habis, mau menunggu apa lagi ? Umur kalian kan sudah cukup. Usahamu sudah berjalan baik, jadi papa kira tidak ada alasan lagi, lah.”
Dengan acara yang sederhana, akhirnya Wong menikah dengan Cheng Yuen Ma. Dengan demikian, namanya pun berubah menjadi Nyonya Wong. Dari tahun ke tahun usaha Wong bertambah maju, putera mereka pun bertambah dari tahun ke tahun. Bertambahlah kebahagiaan mereka ketika anaknya yang keenam scorang puteri, yang mereka beri nama Liu Ching Shia. Tidak seperti pada semua puteranya, untuk puterinya kali ini, dia tidak mencantumkan She (marga) Wong di depan nama puterinya. Karena ini anaknya yang keenam, dicantumkan kata Liu di dapan nama puterinya, yang berarti enam. Zaman berubah, Liu Ching Shia lebih senang dengan panggilan Lulu. Cheng Yuen berharap setelah kelahiran seorang puteri, sebagaimana yang mereka idam-idamkan selama ini, Wong akan merubah kebiasaannya, paling tidak soal judi dan mabuk-mabukan. Soal main judi di rumah, memang tidak pernah lagi, tetapi pulang tengah malam dalam keadaan mabuk, masih terus berlangsung. Keadaan ini sangat mcnyedihkan, terutama bagi perasaan puteri mereka. Apalagi kalau pulangnya kalah main judi, pastilah teriak-teriak. Malam-malam seperti itu sering sekali mengganggu Lulu dan itu dialaminya sampai usianya menjelang dewasa. Pada saat kakak-kakaknya ada, Lulu tidak begitu khawatir. Tetapi begitu kakak-kakaknya mulai menikah, dan satu-satu berpisah rumah, perasaan sedih itu muncul kembali. Tinggal satu lagi kakaknya, Chung Pha yang sangat memanjakannya, tetapi sayang, orangnya kutu buku. Bahkan kini sedang menyelesaikan program master. Dialah satu-satunya dalam keluarga yang berpendidikan tinggi. Selebihnya, berusaha di bidang pengelolaan perahu motor dan bisnis bahan-¬bahan makanan, dan restoran.
Kesibukan dan masalah keluarga yang tidak berubah dari tahun ke tahun itu, membuat Lulu kurang mendapat kasih sayang dari papanya. Satu-satunya tempat curahan hatinya adalah mamanya, dan pada hal-hal tertentu, juga pada Maimunah. Banyak teman pria yang coba mendekatinya dan pernah berjalan bersamanya, tetapi tidak ada yang benar-benar menyangkut di hatinya. Nyonya Wong juga heran, kenapa puterinya belum juga menentukan pilihannya. Sampai suatu waktu, Lulu memperkenalkan Hidayat pada mamanya. Semula Nyonya Wong mengira Hidayat orang Singapura, ternyata orang Indonesia. Melihat sikapnya yang sopan dan ramah, akhirnya Nyonya Wong dapat menerima kehadiran Hidayat.
Hidayat, kakak kelas Lulu di Akademi Stamford, jurusan manajemen. Sebagai putera seorang pejabat tinggi di Indonesia, kehidupan Hidayat di Singapura sangat mewah, termasuk mobil. Padahal, warga Singapura sendiri agak sulit memiliki mobil pribadi. Tetapi dengan fasilitas Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura, Hidayat dapat memiliki mobil. Perkenalan mereka sebenarnya sangat sederhana, sebagaimana kehidupan dunia kampus. Dapat saja berlangsung di kantin, pada acara¬-acara kesenian, olahraga, atau di perpustakaan. Bagi Hidayat, rak-rak perpustakaan kampus, khususnya yang berkaitan dengan studi bisnis, sangat dihafalnya. Bukan karena katalog yang otomatis, tetapi ruangan yang spesialis. Berbeda dengan Lulu, yang jarang ke perpustakaan. Sampai terjadi suatu peristiwa yang mempertemukannya dengan Hidayat. Yaitu, saat mereka secara bersamaan mengambil buku Transportation and Traffic Management dari seri Modern Business, Grolier, edisi Alexander Hamilton Institute.
Buku itu sendiri sebenarnya salah satu dari 19 seri Modern Business Encyclopedia. Lulu tidak mengerti mengapa lelaki berwajah Melayu yang berada di depannya, begitu antusias mengambil buku Transportation and Traffic Management. Melihat model rambutnya dan kewibawaannya, saat itu Lulu mengira, Hidayat seorang anggota kepolisian yang sedang memperdalam masalah lalu lintas. Sebaliknya, Hidayat menduga hal yang sama, bahwa Lulu seorang polisi wanita. Pada satu titik sentuhan jari pada buku tersebut, adalah titik awal perkenalan mereka.
“Sorry, aku tak menyangka kau akan mengambil buku ini juga,” sahut Hidayat tersenyum.
“Tak apa, aku kira aku yang salah, karena aku terlalu fokus pada buku ini,” balas Lulu menunduk malu.
“Aku sangat kenal betul letak buku-buku di sini, sehingga ketika mengambilnya, aku tidak melihatnya lagi.”
“Sedemikian hebatnya ?”
“Aku kira tidak sehebat yang kau duga.”
“Menurutku kau itu hebat, karena aku sendiri sejak tadi mencarinya. Padahal aku sudah memegang dan menghapal katalognya saja, masih kerepotan. Aku yakin kau bukan mahasiswa baru di sini, ya kan ?”
“Tepat, tepat sekali. Bagaimana kalau kau kutraktir makan siang, sebagai hadiah, apa kau keberatan ?”
“Hanya menebak demikian, kau akan mentraktirku makan ?”
“Why not ?”
“Sepertinya tebakan yang demikian mudah tidak pantas untuk hadiah makan siang. Lagi pula aku sangat alergi dengan hal-hal yang berbau tebak-tebakan seperti judi saja. Bagaimana kalau lain kali saja.”
“Okey, aku terima. Tetapi bagaimana kalau kenalan, ataukah kau juga keberatan ? Namaku Hidayat,” ujar Hidayat mengulurkan tangannya.
“Liu Ching Shia. Kau boleh memanggilku dengan Lulu saja.”
“Suatu nama yang bagus,” puji Hidayat.
“Dari mana kau tahu kalau namaku bagus ?”
“Ya, mirip-mirip artis film Hong Kong,” jawab Hidayat sekenanya.
“Film yang mana ? Aku tidak pernah melihat atau mendengar ada yang mirip-mirip dengan namaku. Atau ada yang baru, karena sejak masuk kuliah ini aku jadi jarang menonton, apa iya ?” Lulu jadi ragu-ragu untuk membantah pendapat Hidayat.
“Aduh, aku sendiri, kalau judul filmnya tidak ingat lagi. Pokoknya, waktu aku pulang ke Jakarta, aku sempat menonton film tersebut.”
“Lho, kau orang Indonesia ?”
“Ya, aku orang Indonesia. Kedua orang tuaku tinggal di Jakarta. Ini tahun ketiga aku di kampus ini.”
“Berarti kau tidak lama lagi akan meninggalkan kampus ini dan meningalkan Singapura.”
“Yah, bagaimana nanti sajalah. Apa aku mau kerja di sini, atau mau mengambil program master atau apa, aku tidak mengerti. Aku jalani apa adanya sajalah, yang penting kedua orang tuaku senang.”
“Lho, apa kau sendiri tidak senang ?”
“Oh tidak, tidak ! Aku senang, aku senang di Singapura ini,” jawab Hidayat sedikit gugup.”Kalau begitu, kau sendiri di Singapura ini ?”
“Ya, aku hidup sendiri di sini.”
“Kau serius ?”
“Kenapa kau tanya demikian ?”
“Oh nggak, kalau aku boleh berterus terang, waktu aku melihat pertama kali tadi, aku mengira kau itu dari polisi lain lintas,” ungkap Lulu dengan polosnya.
“Ha…ha…ha…, aku justru yang mengira kau yang dari polisi lalu lintas,” kata Hidayat tertawa dan menunjuk-nunjuk ke arah Lulu.
“Akh yang benar ? Kalau begitu “
“Ya, kalau begitu kita sama-sama polisi.”
Hidayat dan Lulu tertawa-tawa berdua di ruang perpustakaan. Tiba-tiba mereka menyadari kalau mereka berada di ruang perpustakaan yang banyak pengunjungnya. Mahasiswa lain yang berada di ruangan yang sama, serentak melihat mereka. Hidayat saling pandang dengan Lulu. Akhirnya Hidayat mendekatkan wajahnya ke telinga Lulu.
“Bagaimana kalau kita tinggalkan ruangan ini,” bisik Hidayat. Lulu tidak menjawab, tetapi dia menundukkan kepalanya tanda setuju.
“Tetapi, hanya buku itu saja yang akan kau bawa ?”
Sambil berjalan perlahan, Lulu membuka catatannya.
“Oh ya, sebentar aku mau mencari buku A Key to Modern Economics.”
“Kanya David Mc Cord Wright, the Macmillan Company, iya kan ?”
“Ya, benar, benar, kanya David Mc Cord. Ini untuk yang kedua kalinya aku mengagumimu.”
“Akh, biasa-biasa saja. Pada awalnya aku juga seperti kau. Merangkak dari satu rak ke rak yang lain. Begini ini,” kata Hidayat merapatkan wajahnya ke rak berwarna putih di depannya dan menggoyang-goyangkan kepalanya
“Sudah akh, sudah. Di mana hayo, nanti lama-lama kita diusir orang dari sini. Kau lihat mereka-mereka serius, kita malah bercanda terus.”
“Sim sala bim, abra ka dabra !” ucap Hidayat membaca mantra bak tukang sulap. Kemudian mundur dua langkah, mengintai, mengangkat sedikit kakinya, terus mengambil buku yang diinginkan Lulu. Lulu maju dua langkah, diambilnya buku yang diberikan Hidayat, A Key to Modern Economics.
“Bukan main, kau benar-benar genius ! Aku tidak menyesal berkenalan denganmu, untuk itu, kau akan kutraktir, bagaimana ?”
“Pekerjaan yang demikian mudah, tidak pantas aku mendapat traktir darimu.”
“Huh ! Kau mengulangi kata-kataku tadi, ketika akan mentraktirmu.”
“Well, kita ambil jalan tengah. Apa yang kuminum dan kumakan, kau yang bayar, sebaliknya, apa yang kau minum dan makan, aku yang membayarnya. Impas kan ?”
“Boleh juga idemu. Kalau bayar makan masing-masing, itu bukan hal yang aneh. Tetapi idemu barusan, boleh juga.”
“Kalau begitu, kenapa tidak kita tinggalkan saja ruangan ini,” ajak Hidayat meraih tangan Lulu. Lulu membiarkan tangannya dibimbing Hidayat. Mereka berdampingan meninggalkan ruang perpustakaan. Mereka serentak menuruni anak tangga, menelusuri lantai bata berwarna coklat muda. Lulu berjalan cepat di depan dan terus menuju gerbang kampus. Hidayat agak tertinggal di belakang. Begitu Lulu akan membuka pintu gerbang, Hidayat memanggilnya. Lulu menoleh ke belakang, dilihatnya Hidayat menunjuk ke arah kanan, ke tempat parkir kendaraan. Bagi Lulu, ini kejutan lagi. Dirinya saja berulang kali meminta dibelikan mobil belum dikabulkan orang tuanya, karena alasan sulitnya perijinan. Ini orang asing dengan status mahasiswa, memiliki kendaraan pribadi. Sungguh suatu hal yang istimewa. Orang tua Lulu sebenarnya mampu membelikannya mobil, tetapi permohonan perijinannya belum dikabulkan pemerintah. Kalaupun sesekali Lulu mengendarai mobil, itu milik orang tuanya, yang tidak setiap saat dapat digunakannya.
“Maaf, aku tidak mengira kau membawa mobil.”
“Nggak, nggak apa-apa, hayo lah,” Hidayat mengulurkan tangannya, dan Lulu menyambutnya.-
Tepat pada sebuah jip Feroza warna hitam, Hidayat membukakan pintu untuk Lulu. Hidayat memutar stirnya ke arah kanan memasuki Bukit Timah Road.
“Bagaimana kalau kita ke Wisma Atria, di situ ada tempat minum langgananku,” ajak Hidayat, langsung menekan kaset, yang terpasang di radiotape. Mengalunlah suara timbrenya January Christy dalam lagu Melayang. Lagu ciptaan Dian Permana Putera dan Deddy Dhukun ini, sangat digemari Hidayat.
“Boleh, boleh juga itu. Kalau tidak salah, Jack’s Place, kan ?”
“Hei, kau tahu juga tempat itu, rupanya.”
“Ya, di sana kan tempat belanja, jadi wajar saja selepas belanja, aku dan temanku minum-¬minum di sana.”
“Baguslah kalau kau pernah ke sana, jadi kita sudah tahu suasananya.”….Bersambung…