Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di taman Merlion Singapura-(15)
Halaman 70-75
Memasuki halaman Wisma Atria, yang dahulunya kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Singapura, dan kini telah pindah ke kawasan Chatsworth Road, ada beberapa petugas keamanan mengenal Hidayat. Bahkan seorang petugas menghampiri mobil Hidayat. Begitu keluar mobil, Hidayat memberikan kunci mobilnya pada petugas dan memintanya untuk memarkirkan mobilnya. Begitu pula ketika memasuki restoran, para pelayan menyambut hangat pada Hidayat. Suasana keakraban yang demikian sungguh disenangi Lulu. Sudah lama dia tidak menikmati suasana yang demikian. Pada sisi lain, Lulu merasa kagum pada orang muda asal Indonesia yang baru saja menjadi temannya.
“Siapakah gerangan pemuda ini ?” Lulu coba menerka-nerkanya.
“Sebenarnya, kalau mau menikmati makanan khas Indonesia, di kota ini banyak juga. Apakah itu masakan Padang, atau khas Jawa Timur. Atau, kau pernah makan di daerah Telok Blangah ?”
“Masakan Padang ? Apa pula itu,” tanya Lulu ingin tahu.
“Oh, itu sih ciri khas di negara kami. Hampir setiap suku di sana, memiliki ciri khas makanannya. Nah, Padang, itu salah satu suku bangsa kami, yang letaknya di Propinsi Sumatera Barat. Begitu pula dengan Jawa Timur, jadi banyak ragamnya lah.”
“Ya, nanti aku akan ajak Maimunah, untuk mempelajarinya.”
“Maimunah, siapa dia ?”
“Dia pembantu di rumah kami. Orangnya sangat baik, dan dekat dengan aku. Aku tidak tahu dia berasal dan mana, yang pasti Papa membawanya dari Batam.”
“Aku yakin, kalau dia biasa masak, dia akan dapat meramu masakan khas suku-suku di Indonesia. Biasanya, orang-orang di restoran akan memberikan resepnya.”
“Mudah-mudahan saja mereka akan memberikannya pada kami, kalau kami berkunjung ke restoran-restoran tersebut. Aku senang dengan resep-resep baru”
“Kalaupun kau tidak mendapatkannya, aku akan meminta Mama mengirimkan buku resep masakan khas Indonesia ke sini. Atau jangan-jangan di toko-toko buku ada itu.”
“Banyak, tetapi rata-rata Chinese Food dan masakan Eropa. Tetapi kita lupakan saja dulu soal itulah. Setelah dari sini apa kau akan ke kampus lagi ?”
“Tidak, aku tidak ada perkuliahan lagi. Paling juga, aku akan mengantarkanmu. Tetapi bagaimana, apakah kita bisa main-main dulu ke Taman Burung ?”
“Kenapa harus Taman Burung ? Bukankah lokasi itu sangat jauh dari sini ?”
“Ya, daerah Jurong, berapa lama lah dan sini. Kita kan bawa mobil sendiri, paling juga 10 menit kita sudah sampai di sana.”
“Apakah kau menyenangi burung ?”
“Tentu, tentu aku senang. Bahkan sejak aku kecil pun aku sudah senang pada beberapa jenis burung. Aku dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang gemar burung. Terutama Papa, yang mengoleksi demikian banyak burung.”
“Tetapi, aku agak lelah. Bagaimana kalau lain kali saja lah, dan kalau kau tidak keberatan, apakah kau bersedia mengantarkan aku pulang ?”
“Oh, tentu. Tentu aku bersedia mengantarkanmu. Kau tinggal di daerah mana ?”
“Victoria Street.”
“Okey lah, aku siap mengantarmu ke sana.”
“Tetapi, bagaimana kalau kita ke sana dulu,” ajak Lulu menunjuk ke arah seberang,
“Ke Lucky Plaza ?”
“Ya, aku mau membeli sesuatu, di daerahku barang tersebut tidak ada. Kau mau menemani aku atau kau tunggu saja di sini.”
“Kalau kau tidak keberatan aku akan menemanimu.”
“Ow, tentu aku tidak keberatan, bahkan aku harus mengucapkan terima kasih kau mau menemani aku,” tegas Lulu kemudian berdiri akan membayar makanan sesuai dengan janjinya pada Hidayat tadi.
“Masukkan saja ke bon saya, ya ?” Kata Hidayat pada pelayan yang akan melayani Lulu.
“Ayo,” kata Hidayat berdiri memegang bahu Lulu.
“Lho, bukankah tadi “
“Sudahlah, pelayannya juga sudah pergi, ayo,” ajak Hidayat tetap memegang bahu Lulu dan jalan berbarengan meninggalkan restoran Atria.
Hidayat dan Lulu berjalan ke arah utara menuju tempat penyeberangan. Pada saat menyeberang, Hidayat dan Lulu terlihat sangat akrab seakan mereka telah lama berkenalan. Mereka saling berpegangan tangan, begitu juga waktu mereka memasuki Lucky Plaza. Lulu menuju ke bagian kosmestik. Sementara Lulu mencari dan memilih pemerah bibir dan minyak wangi, Hidayat menunggu di dekat kasir dan memesan pada wanita penjaga kasir.
“Maaf, nanti kalau wanita itu akan membayar apa yang sedang dipilihnya, pakai saja ini ya,” ujar Hidayat memberikan kartu kreditnya, dan menunjuk ke arah Lulu.
“Baik,” jawab penjaga kasir dan menerima kartu kredit Hidayat dan mencoba memeriksa kartu kredit yang diberikan Hidayat. Ternyata kartu kredit Hidayat dalam posisi baik.
“Aku minta maaf ya, membuatmu tertalu lama menanti aku belanja,” ucap Lulu ketika tiba di depan kasir.
“No problem.”
Penjaga kasir memasukkan data-data dari apa yang dipilih Lulu. Lulu menunggu check list dan harga dari penjaga kasir, dan siap-siap untuk membayar.Tetapi penjaga kasir malah memberikan kantong plastik yang berisi barang-baraug yang dipilih Lulu.
“Hey, aku belum membayarnya, kan ?”
“Ya, tetapi sudah dibayar tuan ini,” kata penjaga kasir menyerahkau kembali kartu kredit pada Hidayat.
“Aduh, jangan begitu Hidayat, kalau semua kau yang bayar, aku jadi tidak enak hati. Biasa-biasa sajalah,” pinta Lulu menyatukan kedua tangannya dan diangkat ke atas, persis di depan wajahnya.
“Sudahlah, kalau memang aku ada, apa salahnya ? Suatu waktu, kalau aku tidak ada, aku akan minta padamu. Itupun kalau kau tidak keberatan berteman dengan aku.”
“Soal berteman, aku tidak keberatan. Orang tuaku pernah mengatakan, yang dipetiknya dari pepatah Cina kuno, yang artinya kira-kira, musuh satu terlalu banyak, teman seribu masih kurang. Hanya aku tidak biasa dengan cara-cara begini,” ungkap Lulu berserah diri untuk berteman dengan Hidayat. Selama ini belum pernah ada lelaki yang memperhatikannya seperti apa yang dilakukan Hidayat.
“Forget it. Bagaimana, aku jadi mengantarmu pulang ? Atau kau berubah pikiran untuk main bersama ke taman burung, seperti yang aku tawarkan tadi padamu ?”
“Kalau kali ini aku menolaknya, apakah kau akan marah dan tidak jadi mengantarku pulang ?”
“Oh tidak, tidak. Aku akan tetap mengantarmu pulang. Walaupun masih siang, dan setiap saat kau dapat menggunakan taksi, aku harus bertanggung jawab atas dirimu. Aku yang mengajakmu, aku pula yang menjagamu. Untuk itu, aku harus mengantarmu sampai di rumah”
Hidayat dan Lulu kembali ke tempat parkir Wisma Atria. Kembali mobil yang dikemudikan Hidayat memasuki Orchard Road menuju ke barat, mengarah ke Bras Basah Road. Menuju Beach Road, dan memasuki Victoria Street. Di tengah keramaian Victoria Street, pada sebuah rumah yang juga merangkap toko, sebagaimana bangunan lainnya, Lulu minta Hidayat untuk menghentikan mobilnya.
“Stop, stop, di sini,” kata Lulu tiba-tiba.
Begitu berhenti, Hidayat coba turun dan akan membukakan pintu untuk Lulu. Tetapi Lulu kelihatannya tidak ingin diperlakukan demikian. Sebelum Hidayat membuka pintu, Lulu telah keluar terlebih dahulu. Hidayat kaget juga atas tindakan Lulu, padahal etika membukakan pintu mobil bagi seorang pria untuk wanita, banyak berlaku di mancanegara. Termasuk Singapura tentunya. Atau hanya Lulu yang tidak bersedia melakukan tata cara itu. Bagi Hidayat sendiri, yang sejak kecil biasa hidup dilayani, tentunya sangat diuntungkan. Tetapi perkenalannya dengan Lulu, yang agak spesial dibandingkan dengan teman-teman wanitanya di Singapura selama ini, membuat luluh dan rontok keangkuhannya. Selama ini, dia tidak pernah peduli dengan hal-hal semacam itu. Dia tidak pernah mau tahu, apakah wanita itu setiap turun dari mobil harus dibukakan pintu. Hidayat mulai membanding-bandingkan Lulu dengan teman-teman wanita yang selama ini menemaninya di Singapura. Tidak satupun diantara mereka yang menegurnya atau keberatan, apabila makan, atau belanja dibayarnya. Malah kebanyakan, mereka sering meminta dibelikan sesuatu, meminta uang dengan alasan-alasan yang mereka karang sendiri yang menguras isi kantong Hidayat. Walaupun tentunya, dengan kesediaan mereka-mereka untuk bermalam di hotel bersamanya. Kelebihan Lulu yang lain di mata Hidayat, adalah wanita yang baru dikenalnya ini, tidak pernah ragu-ragu membawa dan mengenalkan dirinya pada orang tuanya. Ini pengalaman baru bagi Hidayat yang hampir genap tiga tahun di Singapura Sebagai putera pejabat tinggi yang cukup populer tidak saja di Jakarta, tetapi di Indonesia, bukan hal yang aneh, kalau orang tua teman-teman wanitanya ingin bertemu dengan Hidayat. Bahkan suatu kebanggaan tersendiri bagi keluarga tersebut, apabila mereka dapat menghadirkan dan menjamu Hidayat. Berbeda dengan Lulu, yang belum mengetahui siapa dirinya, siapa nama orang tuanya, dan apa jabatan orang tuanya, telah menerima Hidayat di rumahnya.
“Ayo, masuklah,” ajak Lulu menarik tangan Hidayat.
“Sebentar ya, kau langsung saja ke belakang,” lanjut Lulu yang berhenti di dekat kasir.
Hidayat melihat Lulu memeluk seorang wanita tua dan membisikkan sesuatu. Wanita itu menganggukkan kepalanya ke arah Hidayat, dan Hidayat balas mengangguk.
“Ayo, teruslah ke belakang. Itu yang barusan mama,” kata Lulu terus jalan berdampingan dengan Hidayat.
“Sebentar ya, aku akan suruh Maimunah menyiapkan minuman untuk kita. Oh ya, kau mau minum apa ? Bagaimana kalau es jeruk saja, kau setuju ?”
Hidayat menyatukan jari telunjuk dan jempolnya membentuk lingkaran, dan diangkatnya ke atas. Hidayat melihat sekeliling ruang belakang. Disandarkan badannya ke jok empak bermotif bunga pada kursi rotan yang berwarna kuning. Dominasi warna krem pada sekeliling tembok, dinding, dan jendela yang besar-besar, sangat serasi dengan lantai keramik yang berwarna kuning kecoklat-coklatan. Taman yang tidak begitu luas, dengan paduan rumput Cina dan pepohonan yang tidak begitu tinggi, aquarium yang berukuran satu setengah meter dengan aneka ragam jenis ikan hias, kicauan burung dan tiga sangkar kecil yang menggantung, mengundang kekaguman Hidayat.
“Hey, kau mau tidur ?” sapa Lulu yang berdiri di belakang Hidayat dengan membawa dua gelas es jeruk dan buah-buahan di atas piring lebar bercorak keramik Cina.
“Tidak ! Aku hanya mengagumi interior ruang belakang ini. Siapa sih yang mendesainnya ?”
“Aku sendiri, kenapa ? Kurang bagus ya ?” desak Lulu membungkuk meletakkan gelas dan piring yang berisi buah-buahan di atas meja.
“Justru aku menanyakan karena aku kagum.”
“Akh, aku hanya mencontohnya dari buku Home, Living, dan Interior keluaran Jepang.”
“Di tengah kehiruk pikukan gedung-gedung pencakar langit dan keramaian, aku perlu kesejukan dan tempat yang membuatku tentram. Nuansa ini sengaja aku ciptakan, agar aku betah berlama-lama di sini.”
“Di kota ini kan banyak tempat-tempat yang sejuk. Seperti Pulau Sentosa, Haw Far Villa, War Memorial Park, Singapore History Museum, dan lain-lainnya, yang tentunya dapat menyejukkanmu.”
“Huh ! Itu semua memerlukan biaya tinggi dan harus ada yang menemaninya.”
“Kau tidak punya teman ?” pancing Hidayat.
“Banyak, tetapi semuanya wanita.”
“Semuanya ? Bagaimana dengan pria ?”
“Nanti, nanti, kalau soal yang satu itu. Hm, maaf, aku jadi teringat dengan temanku Ang Mei Hwa. Sebentar ya, aku akan meneleponnya.” Lulu bangkit dari tempat duduknya menuju ke meja kecil yang letaknya hanya tiga meter dari ruang tamu.
“Kacau, dia tidak bisa datang sekarang, katanya ada kerjaan. Paling juga, dua jam lagi baru dia bisa datang ke sini. Kalau dia bisa datang sekarang ini, aku akan mengenalkannya padamu. Dia itu satu-satunya temanku sejak kecil.”
“Kalau boleh tahu, dia tinggal di daerah mana ?”
“Di daerah Rochor Road”
“Kalau begitu, tidak terlalu jauh dari sini. Tetapi bagaimana dengan pertanyaanku tadi, kenapa harus nanti jawabannya,” desak Hidayat lebih jauh.
“Pertanyaan yang mana ya ?”
“Itu, soal teman pria.”
“Aduh, aku sulit mengatakannya, lain kali sajalah. Aku harap kau mau mengerti. Tetapi bagaimana dengan kau sendiri, tentunya banyak temanmu di Singapura ini kan ?”
“Banyak, banyak sekali,” jawab Hidayat spontan, karena Lulu tiba-tiba bertanya padanya.
“Wow, banyak sekali ? Pria apa wanita ?” desak Lulu ingin tahu lebih jauh.
“Ya, wanita ! Eh, maksudku pria, pria. Itu lho teman-teman kuliah iya kan ?”
“Hayo, kau harus jujur mengatakannya,” ujar Lulu mengangkat jari telunjuknya, diarahkannya ke Hidayat.
“Kenapa harus ?” sanggah Hidayat mengangkat bahunya dan mengerutkan keningnya.
“Ya, oh sorry, sorry, aku kurang pantas menanyakan itu padamu. Maafkan aku ya?”
“Sudahlah. Masih ada hari esok. Bukan aku mengelak untuk tidak mau menjawab pertanyaanmu. Not now, oke ?”
“Sorry, aku harus panggil kau apa ya biar enak ? Kalau nama lengkap sepertinya terlalu panjang dan kaku.”
“Kau boleh panggil aku, Dayat atau kalau kau mau seperti keluargaku memanggilku, ya kau boleh panggil aku, Mas !“
“Artinya apa?”
“Mas itu panggilan terhadap seseorang yang usianya tebih tua dari kita. Setingkat dengan kakak, atau abang di sini. Nah, sekarang terserah kau mau panggil aku dengan sebutan yang mana.”
“Sementara ini kalau kau tidak keberatan, aku akan memanggilmu, Dayat sajalah.”
“Lho kok pakai sementara segala, aku jadi tidak habis pikir.”
“Oh jangan, kau memang jangan sampai habis pikir, bisa begini lho,” kata Lulu menempelkan jari telunjuk di keningnya dan dimiringkan.
“Ha…ha…ha, kau salah menerjemahkan kata-kataku barusan.”
“Salah ? aku mengerti apa yang kau maksud, tetapi aku sengaja, biar kita jangan terlalu seriuslah. Bisa-bisa memang, kita bisa begini,” ungkap Lulu mengulangi apa yang barusan diperagakannya.
“Kau mau kita begini ?” Hidayat juga meniru gaya Lulu meletakkan jari telunjuk ke keningnya sendiri.
Akhirnya kedua-duanya tertawa terbahak-bahak. Sehingga mereka tidak tahu kalau mama Lulu telah ada di belakang mereka. Kalau saja bahu Lulu tidak ditepuk, dia tidak tahu kalau mamanya ada diantara mereka.
“Eh, Mama. Datang kok nggak bilang-bilang, tahu-tahu ada di sini aja.”
“Habisnya kalian terlalu asyik, jadi dipanggil juga tidak kedengaran.”
“Oh ya Ma, ini Hidayat, teman sekampus Lulu. Yat, ini Mama,” ujar Lulu memperkenalkan mamanya pada Hidayat.
“Hidayat !”
“Cheng Yuen Ma “
“Dayat ini dari Indonesia, Ma. Dia kakak kelas Lulu di Fakultas Ekonomi.”
“Indonesia ?”
“Ya. Apakah Ibu pernah ke Indonesia ?”
“Pernah, tapi yang dekat-dekat sini sajalah.”
“Aduh, Mama baru ke Batam saja sudah diceritakan,” potong Lulu.
“Batam juga Indonesia, iya kan ? Hmm, siapa tadi namanya ?”
“Hidayat, Ma”
“Imlek nanti, kalau jadi mama dan teman-teman mama, mau ke Bali. Kalau tidak, ya ke itu, itu yang candi besar itu, apa ya…”
“Borobudur, barangkali Bu,” jawab Hidayat.
“Ya, ya, itu Borobudur.” (waktu mengucapkannya lafaz r jadi l).
“Nah, menurutmu aku pilih yang mana, ke Bali atau ke Borobudur ?”
“Kalau berlibur, menurut pendapatku, ya ke Bali lebih baik. Sayangnya, kedua tempat itu berjauhan. Bali berada di luar pulau Jawa, sementara Borobudur berada di Jawa Tengah. Keduanya, memiliki keistimewaan masing-masing.” Sementara memberikan penjelasan, Hidayat telah dua kali melirik jam tangannya. Hal ini ternyata menjadi perhatian Lulu juga rupanya.
“Sepertinya, kau ada keperluan lain, Yat ?”
“Nggak, nggak juga. Aku hanya kaget saja, sudah satu jam lebih aku di sini, tetapi tidak terasa.”
“Suatu waktu nanti, kalau kau tidak keberatan tolong kau ceritakan lebih banyak lagi tentang Bali. Aku akan membawa beberapa temanku ke mari untuk mendengarkan ceritamu.”
“Boleh, boleh Bu. Nanti akan aku bawakan buku-buku dan post card tentang Bali, kebetulan aku menyimpannya di tempat tinggalku.”
“Mama, apa-apaan ini, Hidayat kan bukan kerja di travel biro atau guide.”
“Tidak apa-apa Lu, aku memang punya foto, bahkan ada bookletnya. Kalau sangat penting, aku bisa pulang dulu sekarang dan akan mengantarnya kembali ke sini.”
“Tidak, tidak harus sekarang. Paling juga satu atau dua bulan lagi lah. Kalau ibu sih sebenarnya tidak perlu harus menunggu Imlek. Tapi siapa tahu dengan adanya foto-foto dan penjelasanmu, teman-teman ibu akan segera berangkat ke sana.”
“Wah, bikin aku penasaran saja, apakah aku boleh ikut Ma ?”
“No, no, no, ini urusan orang-orang tua. Kenapa kau tidak ajak Hidayat saja kesana ?”
“Idih, Mama ini konyol !” Kata Lulu berdiri dan memukul-mukul mamanya penuh manja.
“Eh, eh, mama hanya bercanda kok “
Maimunah tiba-tiba datang memberitahukan kalau di depan ada pelanggan yang ingin bertemu. Cheng Yuen Ma, meninggalkan Hidayat dan Lulu menuju ke orang depan diiringi Maimunah. Suasana hening kembali. Lulu mengambil pisau, coba mengiris apel dan diberikannya pada Hidayat. Hidayat menerima dan langsung memakannya. Tetapi ketika Hidayat membuka mulutnya minta disuapi, Lulu menolaknya.
“Huh, enak saja, memangnya kamu masih bayi ?”
“Hoe, hoe,” Hidayat merengek-rengek menirukan gaya anak kecil yang sedang menangis dan menggoyang-goyangkan kakinya.
“Sayang, sayang, cip, cip, jangan nangis ya. Sini mama gendong.” Lulu meugulurkan kedua tangannya. Dengan cepat, kesempatan tersebut dimanfaatkan Hidayat. Didekatinya Lulu, dirangkulnya perlahan dan dikecupinya pipi Lulu. Sebenarnya Lulu kaget ! Dia tidak menyangka Hidayat secepat itu memeluk dan mengecup pipinya. Debaran jantungnya memacu cepat, pikirannya berkecamuk dan pandangannya tiba-tiba gelap. Lulu tersentak, saat dengus nafas Hidayat deras menghembus hidungnya….Bersambung……