Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(17)
Halaman 81-85
Padahal, kalau tadi Lulu tidak terburu-buru, aku ingin dia menghubungi, atau malah menemui Hidayat. Paling tidak, dengan begitu aku bisa lebih cepat untuk berlibur ke Bali. Dari pada aku menunggu rombongan yang waktunya belum tentu, kenapa aku tidak mengajak ibunya Ang Mei saja ? Aku yakin, kalau Hidayat menceritakan tentang keindahan panorama Bali, pastilah Mamanya Ang Mei akan tertarik. Kalau Lulu bangun nanti, aku akan bicarakan hal ini. Cheng Yuen terkejut, ketika telepon berdering. Ketika diangkat, ternyata dari suaminya, Wong Chung Hwa. Begitu mendengar suara suaminya, Cheng Yuen langsung mendidih darahnya.
“Tidak ada kerja lain, kecuali main judi ? Pakau, mahyong, pacuan kuda, greyhouind, dan jenis judi lainnya ? Tidak di Batam, di Genting Highland, kapal pesiar, huh ! Belum lagi, minum-minum dan main perempuan, dari muda sampai tua tidak ada bosan-bosannya !” gerutu Nyonya Wong.
Nyonya Wong tersentak, ketika Maimunah datang dan menawarkan agar lemon tea yang dibuatnya untuk segera diminum.
“Munah, ada hal penting yang ingin kubicarakan, duduklah dulu di sini,” ajak Nyunya Wung pada Munah dan menunjuk kursi yang berada di dekatnya.
“Baik Nyonya,” jawab Maimunah seraya duduk berdekatan dengan Nyonya Wong.
“Begini Munah, bagaimana pendapatmu tentang Hidayat ?”
“Tentang Hidayat, Nyonya ? Maksud Nyonya……”
“Ya, maksudku, apa orangnya baik dan cocok dengan puteriku ?”
“Sekilas, kalau saya boleh menilai, kelihatanya dia baik Nyonya dan cocok lah dengan Non Lulu.”
“Tetapi, mereka sekedar berteman, atau…, akh sudahlah.”
“Menurut saya, mereka saling tertarik, Nyonya.”
“Bisa saja kau Munah. Dari mana kau tahu itu ?”
“Itu Nyonya, kelihatannya Non Lulu senyum-senyum terus. Sebelum mengenal Hidayat, Non Lulu agak pendiam.”
“Atau, jangan-jangan Lulu baru kembali dari rumah Hidayat, atau mereka main berduaan.”
“Tetapi, Non Lulu kan berangkatnya sama Non Ang Mei, Nyonya.”
“Oh iya, tetapi, mungkin saja kan mereka jalan-jalan bertiga ?”
“lya juga, ya. Wah, kalau, begitu gawat dong. Satu pria didampingi dua wanita,” ujar Maimunah sekenanya.
“Lho, kau berpikiran demikian, Munah ?”
“Kenapa Nyonya ?”
“Tidak, tidak. Aku tidak yakin itu terjadi pada mereka. Ya sudahlah Munah, kita lupakan saja apa yang barusan kita bicarakan. Sebaiknya kau tutup saja lah toko,” kata Nyonya Wong mengakhiri percakapannya dengan Maimunah.
“Baik, baik Nyonya, saya pamit dulu,” ujar Murah berdiri dan langsung menuju ke ruang depan, untuk menutup toko.
Nyonya Wong mengangkat gelas yang berisi lemon tea yang masih panas. Diminumnya perlahan-lahan. Dia teringat kembali ucapan Maimunah yang barusan. Kenapa pikirannya bisa sama dengan Maimunah soal hubungan Lulu, Ang Mei, dan Hidayat ?
“Nyonya, apa tidak sebaiknya saya bangunkan sekarang Non Lulu ?” Kata Maimunah begitu sampai di ruang belakang.
“Jangan, jangan Munah. Saya sendiri mau ke atas dulu. Tadi ada telepon dari Papanya, saya mau memeriksa pembukuan kas dulu di atas. Tetapi kalau Lulu bangun nanti, kau panggil saja aku. Atau biarlah, nanti aku akan turun sendiri. Tidak lama lah.”
“Baik Nyonya,” tutur Maimunah langsung menuju ke dapur.
Nyonya Wong menuju ke kamarnya. Kamar yang indah dan luas, yang penuh keharuman, tetapi hambar. Kamar yang tidak lagi meluapkan keindahan, tidak lagi meluapkan kehangatan bersama kekasihnya, Wong Chung Hwa. Kekasih yang membuahkan putera-putera yang gagah, dan puteri semata wayang mereka, Liu Ching Shia. Puteri yang menjadi obat pelipur laranya. Obat dari kesepiannya, dari kesedihannya. Sebenarnya, tidak ada kekeliruan dari pembukuan yang ditulisnya setiap hari, tetapi suaminya pura-pura menanyakannya. Padahal, yang ingin diketahui suaminya, angka terakhir dari kas yang ada. Biasanya, kalau sudah menanyakan masalah kas, suaminya sedang apes di meja judi.
Desiran ombak di pantai pasir putih terdengar sayup-sayup, dengan irama yang sama alunan ombak saling mendahului, kejar mengejar mencapai pantai. Tiba-tiba saja Hidayat memelukku erat dari belakang. Aku coba meronta, tetapi tidak berhasil. Dirangkulnya terus perutku, sehingga aku sulit bernafas. Desahan nafas Hidayat demikian nyaring terdengar di telingaku.
“Aku menyenangimu, Lu,” desah Hidayat.
“Akh, tidak mungkin, kita baru saja berkenalan, kok langsung bisa menyenangiku ?”
“Kenapa tidak mungkin. Ya, mungkin saja, buktinya sekarang kita ada di sini, kan ?”
“Ya, tetapi lepaskan dulu tanganmu, aku sulit bernafas.”
“Kalau begitu, kau tidak senang aku memelukmu, oke lah,” kata Hidayat melepaskan tangannya, meninggalkan Lulu, terus berlari perlahan.
“Hidayat ! Hidayat ! Jangan kau tinggalkan aku di sini sendiri,” teriak Lulu.
Hidayat tidak mempedulikan teriakan Lulu. Lulu coba mengejar, tetapi sayang, seonggok pasir membentuk gunung kecil dari sisa mainan anak-anak, membuatnya tersandung. Lulu terjatuh, tetapi Hidayat tidak menghentikan larinya. Dengan kedua tangannya, ditekannya ke lutut, Lulu coba bangkit.
“Hidayat ! Hidayaaaaaaat !” Teriak Lulu.
Mendengar suara teriakan dari kamar Lulu, Maimunah coba membuka pintu. Dilihatnya Lulu sedang tidur, sehingga Maimunah kembali menutup pintu kamar Lulu. Maimunah duduk di kursi depan kamar Lulu. Jelas tadi terdengar suara Lulu memanggil-manggil nama Hidayat demikian kerasnya. Tetapi posisinya sedang tidur. Apa iya, nona Lulu sedang mimpi ? Sungguh beruntung si Hidayat itu kalau mendapatkan nona Lulu, majikan mudanya yang sangat baik. Kalau saja Minarni tidak meninggal, dia sudah sebesar Lulu saat ini. Puteri satu-satunya hasil perkawinannya dengan Zulkifli itu meninggal pada saat berusia tiga tahun. Saat Zulkifli meninggalkannya begitu saja tanpa kabar, Maimunah jatuh sakit. Untung dia masih tinggal bersama kedua orang tuanya, sehingga Minarni ada yang mengurusnya. Tetapi ketika desanya tertimpa bencana alam, banyak masyarakat yang kehilangan rumah, termasuk rumah Rustandi, orang tuanya. Peristiwa yang cukup menggemparkan Indonesia ini, cukup banyak menelan korban, begitu pula yang meninggal. Salah seorang diantaranya, Minarni puteri semata wayangnya, yang meninggal tertimpa reruntuhan rumah. Berkat bantuan teman-temannya, akhirnya Maimunah bekerja di panti pijat di salah satu jalan kota Bandung. Setelah lima bulan bekerja di panti pijat, tiba-tiba Zulkifli datang. Dia coba memeras Maimunah yang sebenarnya telah berganti nama di Bandung, dengan panggilan Hanna. Salah seorang teman yang membawanya dulu ke Bandung, telah memberitahukan kepada Zulkifli, ketika secara tidak sengaja mereka bertemu di Jalan Cibadak, Bandung. Teman Maimunah tidak menyangka, kalau Zulkifli bertindak kasar demikian pada Maimunah, karena tadinya dia menganggap Zulkifli masih suami Maimunah, walaupun mereka telah lama berpisah. Zulkifli sendiri sebenarnya mengalami hukum karma, karena dia ditinggalkan isteri mudanya yang malah memerasnya habis-habisan, termasuk motor kesayangannya. Ketika Zulkifli pulang lagi ke kampung saat terjadi bencana alam, dia tidak menemukan keluarga Rustandi. Seseorang memberitahukannya, hahwa Rustandi pindah ke keluarganya di Tasikmalaya, sementara puteri mereka Minarni meninggal dunia dan ada kabar, Maimunah bekerja di Bandung. Mendengar kata Bandung, Zulkifli kaget juga, karena selama ini dia dan isteri mudanya tinggal di Bandung. Zulkifli sangat terpukul. Satu-satunya jalan yang dapat dilakukannya, berhubungan dengan orang-orang di tempat tinggalnya, yaitu terminal. Suatu kehidupan yang keras, dan memadukan keberanian yang lebih. Tanpa itu, dia tidak akan dapat bertahan di sana. Berulang kali Zulkifli meminta maaf pada Maimunah, dan meminta kembali untuk membina rumah tangga, Maimunah dengan tegas menolaknya. Karena tidak tahan terus-terusan diperas Zulkifli, Maimunah menerima tawaran bosnya yang memintanya untuk bekerja di Batam. Pertama di Batam, Maimunah dipekerjakan di salah satu bar yang kerjanya tidak menentu. Selain sebagai pelayan, tukang pijat, juga diharuskan menerima tamu dan melayani keinginan tamu-tamunya. Maimunah cukup maju dan cepat terkenal sebetulnya, tetapi ketika salah seorang pelanggannya dari Singapura mengajaknya bekerja di Singapura sebagai pembantu rumah tangga, Maimunah menerimanya.
Itulah awal perkenalannya dengan tuan Wong. Cukup besar tuan Wong menebus ganti rugi pada bosnya. Untuk ukuran saat itu, apalagi dengan kurs rupiah, sangat besar sekali. Tetapi Wong Chung Hwa dengan rela membayarnya. Bagi Maimunah sendiri, itulah kesempatan baik yang telah lama diangan-angankannya, yaitu meninggalkan dunia hitam. Dunia yang dulu sangat terpaksa dilakoninya. Kemurahan hati tuan Wong yang telah mengangkatnya dari dalam lumpur, tidak akan pernah dilupakannya. Kalau pun sesekali dia melayani tuan Wong, itu tidak lebih dari hubungan yang sangat manusiawi. Walaupun tuan Wong pelanggannya sejak lama di Batam, sebelum dibawa ke Singapura, Maimunah tetap menjaga kehormatan keluarga Wong Chung Hwa, terlebih-lebih terhadap Nyonya Wong, Cheng Yuen Ma, seorang isteri yang sangat bijaksana, penyabar dan baik hati. Semua putera-puterinya sangat menyayanginya. Kalau tuan Wong bertengkar dengan isterinya, anak-anak semua membelanya. Pada saat kehadiran Maimunah pertama kali ke lingkungan keluarga tuan Wong, anak-anak sebenarnya agak curiga, tetapi Nyonya Wong dapat memberikan pengertian, sehingga anak-anak dapat menerima kehadiran Maimunah. Termasuk si bungsu Lulu, yang saat itu baru berangkat remaja. Lulu bahkan langsung akrab dan sangat dekat dengan Maimunah. Sejak usia dini, memang Lulu lebih senang bergaul dengan etnis Melayu. Maimunah sendiri, juga memberikan perhatian lebih terhadap Lulu. Seringkali, Lulu mengajak Maimunah bercerita. Banyak hal yang diketahui Lulu tentang Indonesia, didapatnya dari Maimunah, walaupun kemampuan Maimunah sangat terbatas.
“Hei, Munah, kau ini sedang apa kah ?” sapa Nyonya Wong mengagetkan Maimunah yang sedang melamun, memandang lampu gantung di tengah kamar belakang.
“Ini Nyonya, itu Nona Lulu tadi teriak-teriak memanggil nama Hidayat,” jawab Maimunah terbata-bata karena dikagetkan kehadiran Nyonya Wong.
“Memanggil-manggil nama Hidayat ? Ada apa sebenarnya dengan Hidayat, bukankah itu anak yang kemarin ke sini ?”
“Benar Nyonya, tetapi sewaktu saya lihat tadi, nona sedang tidur, jadi saya keluar lagi.”
“Baiklah, kalau begitu akan saya lihat,” ujar Nyonya Wong melangkah masuk ke kamar Lulu. Nyonya Wong duduk di sisi ranjang mendekati Lulu. Dibelainya rambut Lulu perlahan-lahan dan dibisikannya nama Lulu berulang kali. Naman betapa kagetnya Nyonya Wong, karena tiba-tiba Lulu memeluknya.
“Akhirnya, datang juga kau Dayat,” desah Lulu terus menciumi Nyonya Wong.
“Hei, hei, manis ! Ini mama, bukan Hidayat. Hayo bangun !” Nyonya Wong coba melepaskan pelukan Lulu.
Betapa kagetnya Lulu, ketika dilihatnya yang ada di pelukannya adalah mamanya. Lulu duduk, dan Lulu kembali memeluk mamanya dengan tangisan yang terisak-isak.
“Maafkan Lulu Ma,” bisik Lulu.
“Apa yang harus dimaafkan, mama kan tidak marah kau peluk, hanya nama mama yang kau ganti dengan…….”
“Sudah, sudah, Mama jahat !” teriak Lulu sambil memukul-mukul pelan badan mamanya.
“Oke lah. Sekarang kau mandi saja dulu, mama tunggu di ruang makan, ya !”
“Oke, Ma,” jawab Lulu terus berdiri, mengambil handuk dan masuk kantar mandi.
Dengan mengenakan daster berwarna pink, Lulu keluar dari kamarnya, melangkah ke meja makan. Ditariknya kursi di sebelah mamanya, tetapi Lulu tidak langsung duduk.
“Sudahlah, apa lagi yang kau tunggu, mama sudah lapar nih.”
“Apa koko sudah pulang Ma ?”
“Kokomu mana mungkin sesore ini ada di rumah. Hayo duduklah. Eh, tadi kata Munah, kau teriak-teriak memanggil nama Hidayat, ada apa sih sebenarnya ?”
“Teriak-teriak ?”
“Benar. Itu sebabnya mama langsung masuk menemuimu. Tahu-tahu, malah mama yang kau peluk, dan….”
“Ssst, jangan diulang lagi, Ma. Lulu mengakui, bahwa tadi Lulu mimpi. Hanya mimpinya buruk sekali Ma, buruk sekali.”
“Buruk sekali bagaimana, sepertinya kau sangat khawatir. Padahal itu kan hanya mimpi, kenapa harus kau pikirkan ?”
Bagaimana tidak Ma, Hidayat lari begitu saja ! Sudah tahu saya jatuh, eh, dia tidak mau menolong, terus saja lari. Itu artinya. Dia akan lari kan Ma ?”
“Ya, tetapi itu kan hanya dalam mimpi. Ingat Lu, hanya mimpi.”
“Mama tidak mengerti, bagaimana sakitnya ditinggalkan, jadi bagaimana Mama bisa merasakan apa yang sekarang saya rasakan.”
“Mama kira, setelah kamu mandi, minum teh hangat, dan sudah makan, akan membuatmu sadar.”
“Jadi mama kira aku ini sedang tidak sadar. Atau Mama tidak senang kalau aku bicara tentang Hidayat ?”
“Bukan begitu, mama hanya mengingatkan, kalau kau tadi hanya mimpi. Nah, yang kau alami dalam mimpi itu, hanya bunganya tidur, bukan kenyataan. Tetapi kalau mama boleh menebak, sebenarnya kau ini sedang jatuh cinta.”
“Jatuh cinta, Ma ? Dari mana Mama tahu kalau saya itu sedang jatuh cinta ?”
“Karena mama pernah muda. Jadi, mama tahu kalau kau saat ini sedang jatuh cinta. Sebenarnya, orang seusiamu baru mengalami hal seperti ini, boleh dikatakan agak terlambat. Tetapi tidak apa-apa, mama malah bangga, punya puteri sepolos dan sebaik kamu. Asalkan Hidayatnya serius saja sama kamu, mama kira tidak masalah.”
“Bagaimana kita tahu kalau dia serius atau tidak Ma, kenalannya saja baru kemarin.”
“Kita lihat saja, apakah besok dia datang atau tidak, iya kan ? Kalau dia datang, berarti dia ada perhatian. Apalagi dia tidak lupa akan janjinya pada mama, soal buku dan brosur tentang Pulau Bali.”
“Oke lah Ma, Lulu ke kamar dulu,” kata Lulu berdiri, melangkah menuju ke kamarnya.***Bersambung………..