Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(18)
Halaman 86-90
Pagi-pagi sekali, Hidayat sudah memarkirkan mobilnya di seberang jalan rumah Lulu. Hidayat sengaja tidak langsung turun. Ditunggunya, apakah Nyonya Wong sudah bangun atau belum. Maimunah sedang menata ruang depan. Lalu lintas di Victoria Street masih sepi. Dari teras lantai tiga, Wong Chung Pha, kakak Lulu sedang olahraga, lari-lari di tempat, sekedar mencari keringat sebelum mandi pagi. Dia melihat di bawah, ada mobil jip yang parkir. Tetapi pemiliknya tidak turun-turun. Berulang kali dilihatnya ke bawah, mobil jip itu tetap saja belum bergerak. Jangan-jangan itu langganan Mama, aku harus memberitahukannya. Wong Chung Pha turun ke lantai dua, dicarinya mamanya tidak ada. Dia turun lagi ke bawah, dan langsung ke kamar belakang, depan kamar Lulu.
“Ma, sepertinya ada pelanggan Mama yang sedang menunggu Mama di depan,” ujar Wong Chung Pha pada Nyonya Wong yang sedang minum teh dan membaca surat kabar.
“Dari mana kamu tahu kalau itu pelanggan mama ?”
“Aku lihat dari tadi, mobil jip itu tidak bergerak-gerak, sepertinya ada yang ditunggunya.”
“Kalau begitu, sebentar mama lihat dulu,” jawab Nyonya Wong meninggalkan Chung Pha yang sedang menyeka keringatnya dan melangkah menuju tangga.
Melihat Nyonya Wong di depan toko, Hidayat langsung keluar dari mobilnya dan menghampiri Nyonya Wong.
“Selamat pagi Bu,” sapa Hidayat membungkukkan badannya.
“Selamat pagi, selamat pagi. Hayo masuk, sudah lama ya menunggu ?” Tanya Nyonya Wong melangkah ke dalam toko. Hidayat mengikutinya dari belakang.
“Tidak Bu, baru beberapa menit.”
“Sebentar ya, kau duduk saja di sini, nanti ibu panggilkan Maimunah, menyiapkan minuman untukmu.”
“Sudah, sudah Bu, saya hanya……….”
“Tenanglah, sekalian ibu mau bangunkan Lulu, kenapa sesiang ini dia belum juga bangun. Biasanya dia membangunkan ibu untuk jalan jalan pagi.”
Hidayat menarik kursi, kemudian duduk. Di atas meja ada dua surat kabar. Yang satu berbahasa Cina, yang halaman tengahnya sedang terbuka lebar. Satunya lagi, Strait Times yang masih terlipat rapi. Hidayat mengambil Strait Times dan membacanya. Maimunah datang membawa segelas kopi, dan menawarkannya pada Hidayat.
“Silahkan diminum.”
“Oh ya, terima kasih, terima kasih.”
“Kalau tidak berkenan minum kopi, akan saya ganti,” Munah kembali bertanya pada Hidayat.
“Tidak, tidak usah. Terima kasih,” kata Hidayat memegang tangkai gelas, seakan takut akan dibawa lagi oleh Maimunah. Hidayat mencoba mencicipi kopi dan kembali membaca surat kabar.
Nyonya Wong, Cheng Yuen Ma, coba membangunkan Lulu perlahan. Dibisikkannya kata-kata lembut pada puterinya yang sedang nyenyak tidur, merangkul bantal guling.
“Hallo anak manis, bangun ya, mama ada hadiah untukmu, bangunlah.” Lulu menggeliatkan tubuhnya, memutar menghadap ke mamanya. Diusapnya matanya perlahan-lahan.
“Sepagi ini, mama mau memberi hadiah apa ?”
“Pokoknya, kamu bangun dulu, cuci muka, atau mandi, ganti baju, dan terus ke ruang makan. Nanti mama beritahu apa hadiahnya.”
“Lulu akan tidur lagi, kalau mama tidak memberitahukan apa hadiahnya.”
“Oke lah, mama menyerah. Kau dekatkan sini telingamu. Dengar…… kamu tahu nggak, orang yang kamu impikan kemarin, sekarang sudah berada di ruang makan,” bisik Nyonya Wong.
“Hidayat, Ma ?”
“Ya, Hidayat. Kalau kau tidak percaya, kau boleh mengintipnya dari jendela.”
Jantung Lulu berdebar kencang, dia sedikit panik, malu, dan dia penasaran. Lulu melangkah mendekat ke jendela. Dikuakkannya tirai jendela, dipandangnya keluar, ke arah meja makan. Dengan baju warna biru dipadu celana jeans, Hidayat sedang serius membaca surat kabar. Lulu kembali mendekat ke mamanya.
“Ini bagaimana, Ma. Lulu malu keluar kamar.”
“Kenapa malu ? Kau mandi saja dulu, ganti baju, mama akan menemani Hidayat di luar, ya?” Nyonya Wong keluar dari kamar Lulu dan menemui Hidayat.
“Itu kopinya, diminum dulu, Dayat.”
“Sudah, sudah Bu. Terima kasih.”
“Apa perlu kopinya ditambah lagi ?”
“Cukup, sudah cukup Bu. Oh ya, masalah booklet dan buku-buka tentang Bali, sudah saya bawa, tetapi ada di mobil. Sebentar ya Bu,” kata Hidayat berdiri dan melangkah menuju ke mobilnya. Ketika Lulu keluar dari kamar, dia tidak melihat ada Hidayat di ruang makan. Didekatinya mamanya.
“ Kata mama, tadi ada Hidayat, ternyata dia tidak ada. Akh, mama bohong.”
“Sebentar, dia lagi keluar mau mengambil buku-buku tentang Bali.”
“Sepertinya, mama sangat serius mau berangkat ke Bali.”
“Kau tahu sendirilah, hal itu kan sudah cita-cita mama sejak lama. Bahkan papamu juga sudah tahu kalau mama sangat ingin berangkat ke Bali. Hanya waktu itu belum ada teman, jadi mama agak takut juga berangkat sendiri ke sana. Tetapi dengan kehadiran Hidayat, mama jadi semangat lagi mengunjungi Bali.”
“Mamanya Ang Mei, bagaimana, Apakah sudah mama beritahu tentang hal ini ?”
“Sudah, sudah. Tetapi dia tidak tahu kalau yang berangkat hanya berdua. Karena rencana semula kan rombongan. Tetapi bagaimana nanti sajalah. Kalaupun nanti hanya berdua dengan mamanya Ang Mei, mama nekad saja untuk berangkat. Kalau tidak dipaksakan, nanti tidak jadi-jadi berangkatnya, ya nggak ?”
“Benar juga Ma. Nanti kalau sudah mama ke sana, dan kesannya baik, Lulu akan ke sana juga. Pinginnya sih berangkat sama Mama, tetapi yah, nanti sajalah. Kalau memang ada nasib mengunjungi Bali, akan terlaksana juga.”
“Mama heran, kenapa kau punya keinginan juga ke Bali. Seingat mama, teman-temanmu, kalau liburan tujuannya ke Eropa.”
“Suasana kota-kota besar, membosankan, Ma. Lulu kepingin wisata itu yang exotic dan natural, gitu.”
“Maksudnya, apa itu Lu.”
“Ya, maksudnya, suasananya yang alamiah, tetapi menawan. Terus, Lulu pernah baca di majalah, ada yang menulis, jangan meninggal dulu, sebelum melihat Bali. Sejak itu, Lulu penasaran juga tentang bagaimana hebatnya Pulau Bali itu. Jadi, mama nanti menceritakan, apa benar begitu hebatnya Bali itu.”
“Yah, sementara kita belum ke sana, kita minta saja nanti Hidayat menceritakan tentang apa, dan bagaimana Bali itu, oke ?”
“Tapi Ma, Hidayat juga tidak ada.”
“Sabarlah. Kau selalu tidak sabar, kalau sudah cerita soal Hidayat itu.”
“Akh, mama, suka ditambah-tambah. Kalau dia dengar, bisa-bisa begini Ma,” kata Lulu mengangkat ke dua tangannya didekatkan ke kepalanya.
“Hus, kau ini ada-ada saja. Nanti kalau datang, mama beritahukan padanya.”
“Eh, jangan Ma, bisa ribut nanti.”
“Habis, kamu bilang dia besar kepala, ya bagaimana dia tidak marah. Makanya kau…., tu dia datang,” ujar Nyonya Wong mengalihkan pembicaraannya pada Lulu, menunjuk ke arah Hidayat, yang datang menuju ke arah mereka.
“Sini, di sini saja, Dayat,” kata Nyonya Wong, menarik kursi di sebelahnya.
Hidayat memandang ke arah Lulu dan menundukkan kepalanya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Lulu membalas mengangguk, dan tersenyum. Hidayat langsung duduk. Dibukanya map plastik yang berisikan buku-buku tentang Bali dan peta Pulau Bali.
Dibentangkannya peta Pulau Bali yang berukuran 30 X 30 centimeter di atas meja. Hidayat menjelaskan tentang udara, suasana dari satu kota ke kota lainnya di Bali, sembari membuka satu-satu buku yang berukuran seperti majalah. Nyonya Wong dan Lulu mendengarkan sangat serius, layaknya murid sekolah yang sedang mendapat penjelasan dari sang guru. Hidayat kembali membuka peta Pulau Bali.
“Nanti, turunnya di sini,” Hidayat menunjuk ke satu titik yang bergambar pesawat terbang.
“Ini namanya Pelabuhan Udara Ngurah Rai. Nanti nginapnya di Samudera Beach Hotel saja, biar saya uruskan. Seseorang nanti akan mengantarkan Ibu keliling-keliling di Bali. Kalau malam pergantian tahun, di Pantai Kuta ini sangat ramai. Ada pertunjukan musik, dan acaranya sampai pagi. Ini di pantai ini,” jelas Hidayat menunjuk pantai Kuta.
“Seseorang akan mengantarkan Ibu keliling ? Maksudnya, gimana ?” Nyonya Wong heran atas penjelasan Hidayat.
“Oh itu. Maksud saya, kalau Ibu jadi ke sana, nanti akan saya uruskan dengan kenalan saya di sana agar Ibu mudah kesana kemarinya.”
“Kalau begitu, Lulu dulu lah yang berangkat,” potong Lulu setelah mendengar penjelasan Hidayat.
“Akh, kamu selalu tidak sabar. Apa kau akan meninggalkan kuliahmu hanya karena ingin mengunjungi Bali. Yang penting sekarang, kau suruh Munah membuatkan sarapan pagi. Kau lihat dari tadi kita hanya memberikan kopi untuk Hidayat. Sekalian, kau juga kan belum sarapan “ ujar Nyonya Wong mengalihkan usulan puterinya.
“Sudahlah, saya kira segelas kopi juga sudah cukup. Saya akan…..”
“Akan ke mana ? Tunggu saja sebentar, Lulu lagi menyiapkan sarapan untuk kita, tunggulah sebentar.”
Lulu mematuhi saran mamanya. Tanpa memanggil Maimunah, Lulu menyiapkan makan pagi, yang memang sudah tersedia di lemari makan. Lulu tinggal membawanya ke ruang makan. Sementara mereka sarapan, Wong Chung Pha turun dan menghampiri mereka.
“Oh ya Hidayat, ini kenalkan kakaknya Lulu,” kata Nyonya Wong memperkenalkan puteranya. Hidayat bersalaman dengan Wong Chung Pha. Chung Pha tidak banyak bicara, langsung duduk, menuangkan mie goreng ke piring yang ada di depannya terus sarapan. Chung Pha tidak tertarik untuk ikut terlibat dalam pembicaraan antara Nyonya Wong, Lulu dan Hidayat. Setelah selesai sarapan dia pamitan terus berangkat.
“Jangan kau ambil hati, sifatnya memang begitu, Dayat.” Nyonya Wong memberikan penjelasan pada Hidayat yang terlihat agak aneh melihat tingkah puteranya Chung Pha.
“Oh ya, Lu, hari ini ada perkuliahan nggak ?”
“Ada, tetapi hanya satu mata kuliah, nanti pukul 09.00,” jawab Lulu sambil menata piring-piring yang berserakan di atas meja.
“Kau sendiri, bagaimana ?” Lulu kembali bertanya pada Hidayat.
“Aku hanya ingin konsultasi, siapa tahu kalau awal tahun depan, aku sudah dapat mengikuti bimbingan penulisan skripsi.”
“Kalau begitu, kalian bisa berangkat bersama ke kampus. Mama juga sebentar lagi mau ke rumah Ang Mei, memberitahukan masalah ini,” ucap Nyonya Wong mengumpulkan buku-buku, booklet dan peta Pulau Bali.
Lulu dan Hidayat pamitan pada Nyonya Wong. Mereka sepakat bertemu di kantin kampus, pada pukul 10.20. Lulu berdiri bersama mahasiswa lainnya yang sedang menunggu di pintu lift. Hidayat belok ke arah kiri, menuju ruang rektorat. Dia akan mengusulkan penelitiannya pada bidang manajemen pariwisata. Harapannya, selain mengelola hotel, restoran, dan wisata berburu, rencananya dia akan membuka biro perjalanan. Bidang-bidang ini akan dikembangkannya di tanah air nanti. Terutama masalah biro perjalanan, wisata berburu, atau wisata petualangan yang akhir-akhir ini mulai dikembangkan di tanah air, yang biasa disebut juga arung jeram. Beberapa sungai tinggi permukaan airnya cukup memenuhi syarat untuk dijadikan tempat wisata arung jeram. Pada waktu liburan awal tahun lalu, Hidayat dan teman-teman sempat melakukan survey di kawasan Jawa Barat dan Bali. Wisata petualangan ini perlu ditumbuh-kembangkan. Ide-ide ini ternyata disetujui para dosen pembimbing. Dengan pendalaman terhadap bidang manajemen, tentunya Hidayat akan mengadakan penelitiannya pada Badan Pariwisata Singapura.
Baru saja Hidayat duduk di salah sudut ruang kantin, dia melihat Lulu berdiri sedang menyapu pandangannya ke seluruh ruangan kantin. Saat Lulu mengarah ke sudut ruangan, Hidayat mengangkat tangannya. Ternyata Lulu melihatnya.
”Kita minum di sini dulu, atau kita langsung saja keluar,” tanya Hidayat, ketika Lulu akan menarik kursi untuk siap-siap akan duduk.
“Apa kamu sudah pesan makanan atau minuman ? Kalau belum, sebaiknya kita cari tempat di luar kampus saja. Aku rasa di sini kita kurang nyaman lah.”
“Bagaimana kalau kita ke jembatan perbatasan ke arah Johor. Di sana, kan ada restoran yang aku kira tenang, dan nyaman,” kata Hidayat langsung berdiri menggeser kursi, dan melangkah keluar dari kantin kampus. Lulu ikut melangkah. Tanpa ragu-ragu, Lulu memegang tangan Hidayat, melangkah ke tempat parkir.
Hidayat membelokkan mobilnya ke kiri, memasuki Bukit Timah Road. Terus ke arah Bukit Panjang, Yow Tae, Mandai, dan sampai di daerah Woodlands. Terlihat jembatan perbatasan Singapura – Johor Baru, Malaysia. Di bawahnya, terlihat riak air Selat Johor membentang tenang. Lalu lalang kendaraan demikian ramai, baik dari Johor ataupun dari Singapura. Betapa sibuknya pihak imigrasi dan pihak bea cukai memeriksa satu persatu orang-orang yang ingin memasuki Singapura. Puluhan tahun lalu, karena Singapura dan Malaysia masih bersatu, pos-pos keamanan tidak seketat saat ini. Hidayat memutarkan mobilnya, memasuki restoran. Hidayat bergegas masuk, karena dia ingin melihat, apakah meja-meja yang menghadap ke kawasan hutan Johor, telah ditempati pengunjung lainnya. Ternyata meja-meja yang tersedia telah terisi. Kecuali ada meja yang ukurannya sedang, tetapi cukup baik untuk berduaan. Hidayat melihat ke belakang, keluar restoran. Dia tidak melihat Lulu ada di sana. Apakah Lulu tidak melihatnya tadi ? Hidayat keluar, dilihatnya Lulu sedang memilih-milih majalah. Hidayat mendekat.
“Ayo kita masuk, aku sudah menemukan tempat untuk kita, tuh di sebelah sana,” ujar Hidayat menunjuk ke arah tempat yang dirasanya sangat cook untuk mereka.
Lulu kembali memegang tangan kiri Hidayat. Mereka bareng bersama menuju ke tempat yang telah dipilih Hidayat. Sambil menikmati makanan, Hidayat dan Lulu berbicara sangat serius. Terkadang Hidayat mendekatkan wajahnya ke wajah Lulu. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi orang yang melihatnya tidak akan menyangka kalau mereka sebenarnya baru saja berkenalan. Orang akan cemburu melihat mereka berdua di restoran yang sangat luas itu. Perbandingan warna kulit antara Lulu dan Hidayat, juga menjadi perhatian orang. Walaupun di Singapura multi etnis, tetapi keakraban dua orang yang berbeda etnis ataupun ras, tetap saja menjadi perhatian orang.
“Kita pindah ke luar sana, yuk ?” ajak Hidayat pada Lulu, sembari menunjuk ke arah luar. Pohon-pohon di pinggiran Selat Johor kian jelas terlihat. Hidayat membayangkan para pendatang dari negaranya yang bekerja di perkebunan sawit di seberang sana. Bagi orang Malaysia kebanyakan dari mereka disebut pendatang haram. Permasalahan tersebut, bukan hal yang baru. Itu telah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Tanpa paspor, mereka nekad datang ke Malaysia, khususnya Johor. Tingkat pengangguran yang tinggi dan terus membengkak di tanah air, barangkali salah satu penyebabnya orang berduyun-duyun bekerja ke luar negeri. Tujuan mereka yang terdekat adalah Malaysia. Beberapa waktu lalu, sampai-sampai Armada Angkatan Laut memberikan fasilitas untuk mengembalikan para pendatang haram. Tetapi tidak berapa lama, datang lagi, datang lagi. Ada saja oknum-oknum tertentu yang mencari kesempatan untuk mencari tenaga kerja Indonesia, yang barangkali saja standar gajinya rendah. Pemilik perkebunan, juga sangat senang menerima pendatang haram tersebut, karena biasanya pendatang haram tidak ribut atau berbuat macam-macam. Peluang inilah yang dicium para calo-calo tenaga kerja dan pihak perkebunan yang dengan senang hati menerima mereka. Berbeda, apabila tenaga kerja yang resmi dikirim pemerintah, mereka mendapat perlindungan, baik dari negara, ataupun Duta Besar Indonesia untuk Malaysia. Kalau di Johor, setingkat dengan Konsulat Jenderal. Keberangkatan mereka ke Johor, kebanyakan melalui kapal-kapal kecil dari daerah-daerah Kepulauan Riau.**Bersambung….