Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(19)
Halaman 91-95
“Ayolah. Kenapa kau diam saja ?” Lulu menggoyang bahu Hidayat.
“Oh ya, aduh. Aku jadi linglung begini, ayo,” ujar Hidayat tersentak dari lamunannya, terus melangkah keluar restoran.
Kursi sandar yang tersedia, masih ada tiga yang belum diisi. Dengan bergandengan tangan, Hidayat dan Lulu menuju ke arah yang paling ujung, dekat tembok pembatas. Hidayat melingkarkan tangan kirinya ke bahu Lulu. Baru saja bahunya tersentuh, Lulu langsung menyandarkan kepalanya ke dada Hidayat.
“Lu, sebenarnya kau serius berteman denganku ?”
“Lho, kenapa kau bertanya begitu, Dayat ?” Lulu kaget juga tiba-tiba Hidayat menanyakan hal itu padanya. Lulu Bangkit dari duduknya, akan berdiri.
“Tenanglah Lu, tenang. Kau duduk lagi lah,” ujar Hidayat memegang tangan Lulu.
“Kamu kira aku duduk di sini itu, untuk apa ?”
“Maafkan aku Lu, aku tidak tahu harus dari mana memulai pertanyaanku untukmu. Tetapi yang pasti, aku sangat menikmati hari ini. Aku ingin kita bertemu setiap hari”
“Hidayat, kalau aku boleh berterus terang padamu, ini pertama kan aku bersama lelaki berdua-duaan. Kau boleh percaya atau tidak. Atau kau mau mengatakan aku kuno, atau apapun, terserah. Aku jujur berkata padamu.”
“Aku percaya, aku dapat merasakan hal itu.–”
“Kau dapat merasakannya ?” Lulu memutarkan badannya berhadapan dengan Hidayat. Dipukul-pukulnya perlahan dada Hidayat.
“Kau merasakannya, di sini ?”
“Ya, di sini,” kata Hidayat menimpa tangan Lulu, terus digenggamnya, ditariknya ke mulutnya, terus dikecupnya perlahan. Lulu menarik tangannya, kemudian merangkul Hidayat. Pipi mereka beradu. Pandangan Hidayat gelap, tertutup rambut Lulu. Dirangkulnya pinggang Lulu, didekapnya erat-erat. Lulu meronta, terus berdiri dan duduk kembali ke sisi kiri Hidayat. Disandarkannya kembali kepalanya ke dada Hidayat. Tangan kiri Hidayat merangkul ke leher Lulu dan terus membelai perlahan rambut Lulu.
“Aku takut kehilangan kau, Lu”
“Sama. Aku justru yang sangat takut kehilanganmu, karena kau kan tidak selamanya berada di kota ini.”
“Tetapi bisa saja aku kerja di sini, kan ?”
“Ya, kapan itu terjadi, kau sendiri kan masih kuliah, dan terus akan kuliah.”
“Tetapi dua-duanya kan dapat aku lakukan.”
“Mungkin juga, tetapi, barangkali hal itu sulit, Dayat.”
“Kenapa, sulit ? Kerja di Wisma Atria, atau staf di Kedutaan Besar Indonesia di Singapura ini, kan bisa juga.”
“Yah, terserah kau lah, yang penting, kita bertemu terus, dan kalau mungkin, malah bersatu terus.”
“Aku harap juga begitu, Lu. Ini jalan satu-satunya bagiku untuk menjadi orang yang lurus. Aku harus banyak belajar darimu.”
“Apa aku tidak salah, Dayat, kau justru akan belajar dariku. Belajar tentang apa ?”
“Dalam hal-hal tertentu, aku memang harus belajar padamu. Terutama dalam membentengi kemajuan zaman dengan jati diri yang teguh,” desah Hidayat.
“Aku jadi bertambah heran mendengarkannya, tolong kau ceritakan, apa sebenarnya yang terjadi padamu, Dayat,” desak Lulu karena Hidayat dilihatnya seperti orang yang tiba-tiba sedang menyerah dari suatu pertempuran.
“Lu, sebenarnya, aku tidak sebaik yang kau lihat, kalaupun kau menilaiku demikian. Sejak kecil, aku selalu hidup senang, karena kedudukan orang tuaku. Pada masa sekolah menengah saja sebenarnya aku sudah melakukan hal-hal yang tidak pantas, dilakukan orang seusiaku. Aku gagal kuliah di Jakarta, karena pergaulan yang sama. Akhirnya orang tuaku mengirimkan aku ke Singapura ini, dengan harapan di kota inilah aku dapat berubah. Kebetulan, saudara dari ibuku, adalah salah seorang staf yang cukup berpengaruh di Kedutaan Besar Singapura ini, sehingga aku pun dititipkan padanya,” tutur Hidayat tanpa memberitahukan siapa dan apa kedudukan orang tuanya di pemerintahan Indonesia.
“Tetapi, kau tidak melakukan hal yang berhubungan dengan kriminalitas, kan ?”
“Ya, secara langsung tidak. Tetapi, kalau saja aku masih menetap di Jakarta, barangkali, aku sudah menjadi pecandu berat obat-obat terlarang, Lu. Di Singapura, hukuman untuk itu, sangat berat, sehingga hal itu juga salah satu pertimbangan mengapa aku dititipkan ke pamanku di sini.”
“Tetapi, kau sudah tidak melakukannya di sini kan ?” Lulu agak kaget juga, mendengar pengakuan Hidayat. Kalau sampai Hidayat masih menggunakan obat terlarang, sementara dia ada di sampingnya, bisa celaka.
Lulu sangat faham, hukuman seperti apa yang akan dijatuhkan terhadap orang-orang yang menggunakan obat-obat terlarang dan kelompoknya. Paling tidak, dia akan terseret menjadi saksi. Lulu tidak dapat membayangkan apabila hal itu terjadi.
“Tidak Lu, aku tidak menggunakannya lagi. Terakhir aku memakainya, yah, kurang lebih satu setengah bulan yang lalu lah. Itupun aku lakukan di Batam. Kalau di Singapura ini, aku tidak berani. Selain takut, aku harus menjaga nama pamanku. Sumpah Lu,” tegas Hidayat merubah posisi duduknya dan mengangkat tinggi tangan kanannya.
“Aku percaya, kau dapat menghentikan itu semua. Aku percaya, Dayat. Sudahlah, kau turunkan tanganmu.”
“Terima kasih, terima kasih, Lu,” rintih Hidayat terbata-bata, terus mendekap Lulu. Hidayat sangat terharu. Baru kali ini dia menemukan wanita yang demikian polos, jujur dan lembut. Hidayat jadi teringat pada ibunya yang lembut dan penyabar. Selama bertahun-tahun di Singapura, baru pertama kali ini Hidayat menemukan wanita seperti Lulu. Selama ini, yang ditemuinya wanita-wanita yang lebih memandang kepada uangnya, ke tempat-tempat hiburan, belanja, dan menginap di hotel. Hidayat tidak dapat lagi mengingat sudah berapa wanita dari berbagai suku dan Bangsa yang tidur bersamanya. Lakon itu begitu saja berjalan. Berkenalan, minum-minum, masuk satu pub ke pub yang lain, hotel satu ke hotel lain, begitu silih berganti. Tidak satu pun nama-nama wanita itu yang masuk di pikirannya. Hidayat tidak pernah mau tahu nama wanita yang berkenalan dengannya. Apa itu Nancy, Lucy, Muna, Neelam yang keturunan India, atau Rika anak Bandung, yang mengaku sedang berlibur di Singapura.
Hidayat tahu nama-nama itu, hanya nama komersil belaka. Hidup di kota megapolitan, tanpa pengawasan, kartu kredit yang terus terisi, membuat Hidayat seakan tanpa pijakan. Kuliah yang terus dapat diikutinya, hanya sekedar sebuah pengabdian orang tua, agar dia dapat lebih lama bermukim di Singapura. Wanita yang kini dalam dekapannya, sangat jauh berbeda. Bukan mengajaknya ke tempat-tempat hiburan, tetapi justru dibawa ke rumah orang tuanya. Ketika pertama kali bertemu di kampus, Hidayat masih belum percaya, tetapi begitu dikenalkan dengan orang tuanya, walaupun hanya ibunya, terbesit kepercayaan Hidayat. Dengan penuh kedamaian dalam pelukan Lulu, tanpa sadar, Hidayat meneteskan air matanya.
“Sudahlah, Dayat. Aku tidak memandang masa lalu, karena masa lalu mutlak milikmu, yang penting sekarang kita sudah berdua di sini, apa artinya. Ini yang penting bagiku, Dayat.”
“Benar, masa laluku adalah milikku, tetapi aku harus berterus terang, agar sejak saat ini ke depan, aku benar-benar hanya bersamamu.”
“Aku harap juga begitu. Aku punya keinginan sejak aku masih remaja, untuk dapat keluar dari lingkungan yang itu ke itu juga. Pengalaman ibuku, pengalaman yang sangat berharga bagiku.”
“Kau tentu tidak keberatan untuk memberitahukan pengalamanmu itu kan ? Seandainya aku boleh tahu, aku siap mendengarkannya.”
“Sebenarnya aku ragu memberitahukannya padamu, karena ini menyangkut, seolah-olah kau orang yang dikirim untuk itu.”
“Untuk, apa ? Jelaskanlah, aku akan menganalisanya dan memahaminya.”
“Tetapi ini termasuk rahasia keluargaku, kalau tidak mau dikatakan masalah yang sangat memalukan. Apakah aku harus menelanjangi keluargaku sendiri ?”
“Ya, tidak harus demikian, tetapi kaitannya dengan keinginanmu tadi saja, aku kira cukuplah.”
“Begini, Dayat,” kata Lulu menggeser duduknya berhadapan dengan Hidayat. Tangan kanannya bertimpahan dengan tangan kiri Hidayat.
“Aku sejak dulu ingin berteman dengan lelaki yang bukan dari etnisku sendiri. Kalaupun kemudian dapat lebih jauh lagi, aku tidak akan keberatan. Tentunya, dengan beberapa kriteria yang aku inginkan.”
“Tidak harus Indonesia kan ? Bisa saja Singapura, Malaysia, atau….”
“Tidak, tidak. Aku tidak melihat dari sisi Bangsa, tetapi dari etnis,” potong Lulu.
“Begitu parahkah hal itu terjadi ?”
“Parah, parah sekali Dayat. Tetapi itupun dari kacamataku, kacamata remaja. Tetapi sampai saat aku berangkat dewasa, hal itu justru menguatkan keinginanku, untuk kuwujudkan, sampai kita berkenalan. Oleh karenanya, aku banyak berharap darimu, Dayat.”
“Berharap dariku ? Bukankah aku sudah berterus terang tentang sepotong pengalamanku, sisi gelapku tadi padamu ? Masihkah kau percaya padaku ?”
“Kenapa tidak ? Kalau kau dapat menghentikannya tanpa harus takut terhadap aturan hukum atau apapun, tetapi yang paling penting dari kesadaran dirimu sendiri. Dan satu, aku paling membenci masalah perjudian, terlepas judi apapun itu,” tegas Lulu agak emosi, menyebut kata judi.
“Itu salah satu dari kriteria yang kau sebutkan tadi ?” Hidayat sebenarnya, agak kaget juga mendengar kata-kata judi. Karena dia pernah juga memasuki arena itu. Tetapi untuk yang satu ini dia tidak mau berterus terang. Hidayat melihat Lulu sangat emosi menyebut kata-kata judi. Padahal, Hidayat pernah berkunjung dan main judi di Genting Highland, Malaysia. Termasuk judi jenis greyhound, atau pacuan kuda di Singapura, pernah dicobanya, walaupun tidak berlarut-larut, apalagi sampai kecanduan. Selain memerlukan modal yang besar, lingkungannya yang kurang disenangi Hidayat.
“Benar ! Itulah salah satunya. Aku tidak akan pernah tolelir yang namanya judi !”
“Kriteria lainnya, tolong kau katakan, agar aku dapat mengetahuinya lebih jauh.”
“Ya, satu lagi, tentang main perempuan atau pelecehan terhadap kaum perempuan. Hal ini juga sangat aku benci,” tegas Lulu dengan ekspresi wajah yang serius.
“Begitu bencinya kau terhadap dua hal itu, Lu ?” Tanya Hidayat tersentak dan keteduhan hatinya berada di sisi Lulu.
Pelecehan perempuan ? Apakah yang aku lakukan selama ini termasuk katagori pelecehan perempuan ? Bukankah aku membayar besar untuk itu semua itu ? Dapatkah itu dikatakan pelecehan perempuan ? Hidayat agak takut mengakui hal itu pada Lulu. Jangan-jangan karena pengakuan hal itu, Lulu mengusirnya. Hidayat harus menyembunyikan hal yang satu itu. Lulu memang lembut, tetapi tegas.
“Itu prinsip, Dayat. Aku kan sudah mengatakannya tadi, bahwa aku tidak pernah mau mentolelir judi, termasuk masalah pelecehan terhadap perempuan.”
“Oke, aku faham sekarang. Tetapi kau jangan terlalu serius begitu lah. Sini, sini duduknya yang rileks sedikit,” kata Hidayat merubah lagi posisi duduknya, kemudian dirangkulnya, dikecupnya perlahan pipi Lulu. Lulu meronta, tidak sengaja bibir mereka beradu. Hidayat tidak berani bertindak lebih jauh, kecuali dikecupnya perlahan dan dilepaskannya. Kedua tangannya meraba wajah Lulu yang agak menunduk, diangkatnya sedikit ke atas. Lulu menutup matanya. Dengan telapak tangan kanannya, Hidayat menepuk-nepuk pipi Lulu dan memanggil nama Lulu berulangkali.
Lulu tersentak, tangannya dingin dan gemetar. Lulu mencoba membuka matanya perlahan-lahan. Hidayat ternyata terus menatapnya. Lulu tidak sanggup membuka kelopak matanya. Sentuhan bibir Hidayat telah menghanyutkannya demikian dalam. Berbagai perasaan bergelora di dadanya, mulutnya terkatup tidak dapat mengucapkan satu patah katapun. Perlahan, dicobanya merangkul Hidayat, dengan mengendorkan napasnya yang terpacu kencang. Dicobanya mengatur napas perlahan-lahan. Hidayat mengulurkan tangannya ke pinggang Lulu. Keduanya membisu. Mereka tidak peduli apakah ada orang yang memperhatikan mereka atau tidak. Di bangku sebelahpun ada orang yang saling merangkul, tanpa terusik dengan lalu lalang orang lain. Apalagi posisi kursi Lulu dan Hidayat yang berdekatan dengan tembok, yang tidak mereka khawatirkan untuk dilalui pengunjung lainnya.
“Lu, seandainya persahabatan kita ini lebih meningkat lagi, apakah kau keberatan kalau aku memanggilmu kekasih. Atau bagimu ini hal yang kurang baik, atau katakanlah hal yang kurang ajar ?”
“Kenapa aku keberatan, rentang waktu baru atau lama tidak masalah bagiku. Yang penting bagaimana perasaan kita, getaran hati kita. Bagiku itu sudah cukup.”
“Begitu simplenya kah ?”
“Ya, simple-simple sajalah. Kita kan bukan anak-anak lagi, yang harus mempertimbangkan berapa lama kita berkenalan, berapa lama kita berteman, ataupun apalah namanya. Bukankah kau tahu, mahkamah yang paling tinggi pada diri kita adalah hati nurani. That is it !”
“Sebenarnya aku kaget mendengar pengakuanmu, tetapi aku kemudian berpikir, kita sekarang berada pada abad 21. Bukan abad 17 atau 18, iya kan ? Aku maklum, Lu. Sebagaimana yang aku katakan tadi padamu, memang seharusnya aku banyak belajar darimu.”
“Tidak, kau tidak perlu belajar dariku, Dayat. Pengalaman kita yang akan mengajarkan kita, bagaimana kita harus berpikir, bersikap, dan bertindak. Kau tentu ingat kata-kata orang bijak yang mengatakan, pengalaman adalah guru sejati. Itu saja, aku kira sudah cukup menjadi pedoman kita, iya nggak ?”
“Tetapi aku tetap harus belajar darimu. Kesendirianku di kota ini bertahun-tahun, tidak memberikan keteguhan dan keyakinan seperti apa yang kau miliki. Tidak, Lu. Katakanlah, aku tinggal bersama paman dan bibiku di sini, tetapi apa yang dapat mereka lakukan untuk aku ?”
“Paling tidak, mereka kan orang tuamu di Singapura ini. Tentunya, sedikit atau banyak, mereka memberikan perhatian padamu.”
“Benar, tetapi kenyataannya mereka takut melarangku atau membatasi pergaulanku di sini. Kau tahu apa yang mereka takutkan ? Takut menerima telepon dan ayahku.”
“Begitu takutnyakah mereka pada ayahmu ? Kemudian, bagaimana dengan ibumu ?”
“Kalau ibuku, mereka tidak takut.”
Selama ini, hanya ibulah yang berkomunikasi dengan mereka. Atau sesekali, ibu berkunjung ke sini, dengan mencuri-curi waktu. Ayah dan Ibuku sama sibuknya. Di sana, di negaraku, apabila sang suami menjadi pimpinan, otomatis sang isteri juga menjadi pimpinan. Maka yang korban, adalah kami anak-anak mereka. Kalau kemudian, kami salah langkah, kami yang dicaci-maki, dan disalahkan.”
“Kalau begitu tidak adil, Dayat.”
“Untuk yang satu itu, memang tidak ada adilnya. Jangan harap kita bisa berdialog dengan tenang dari hati ke hati. Jangan harap ! Yang ada, hanya aturan dan perintah. Begitulah lingkunganku, membesarkan aku, Lu.”
“Tetapi waktu kan dapat merubah itu semua, dengan kemandirianmu.”
“Nah, itu juga kelemahanku yang lain lagi, Lu. Aku masih sangat tergantung dengan orang tuaku, bahkan sangat dominan sekali.”
“Aku kira itu kan tidak lama lagi, yah tidak sampai satu semester lagi, kau kan akan lulus. Dengan demikian, kau dapat mencari kerja dan dapat hidup mandiri.”
“Teorinya memang begitu, Lu. Belum tentu juga satu semester, karena tahap persiapannya memerlukan waktu, yang aku kira lama juga. Tetapi, sudahlah, di saat seperti ini kenapa kita bicara ke hal-hal yang serius itu. Bukankah kita sekarang sedang membicarakan hubungan kita, iya kan ?”
“Benar juga kata-katamu itu, Dayat. Sayang memang suasana seperti ini kita bicara melebar ke mana-mana. Tetapi ada hal penting yang aku perlu juga menanyakannya padamu, yang aku minta kau jujur menjawabnya.” …….Bersambung…..