Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(27)
Halaman 131-135
“Biar saya sendiri di mobil dengan barang-barang ini, kalian bersama Ibu ya ?” Usul Hidayat pada Lulu dan Ang Mei.
“Tidak, aku ingin bersamamu. Biar mama, dan Bibi Ong, bersama Ang Mei. Saya mau ikut Kamu biar bisa bantu Kamu kalau menurunkan barang-barang nanti setibanya di rumah,” kata Lulu mendekat ke arah Hidayat
“Kalau begitu, mama titip Lulu ya !” kata Nyonya Wong pada Hidayat.
“Baiklah Bu, kalau begitu kami duluan berangkat.”
“Ya, kita berkumpulnya di rumah saja,” tambah Nyonya Wong.
Sampai di daerah Beach Road, Hidayat membelokkan mobilnya ke arah Arab Street, terus belok ke kiri menuju Victoria Street. Betapa kagetnya Maimunah, karena yang berada di mobil hanya Hidayat dan Lulu saja. Munah mendekat dan melihat ke jok belakang, dia tidak menemukan Nyonya Wong.
“Sudah Munah, kau bantu kami membawa barang-barang ini ke dalam. Kenapa kamu seperti kebingungan ?” sapa Lulu pada Maimunah yang seakan mencari sesuatu di mobil Hidayat.
“Itu, saya tidak melihat Nyonya. Apa Nyonya tidak jadi pulang ?”
“Oh, aku kira apa. Sebentar lagi juga sampai, mama ikut mobilnya Ang Mei.” Jawab Lulu terus berjalan ke dalam rumah mengangkat koper dan bungkusan plastik besar.
“Munah, tolong kau buatkan kami minuman yang hangat, ya !”pinta Lulu pada Maimunah.
“Apa perlu saya buatkan lemon tea ?”
“Boleh, boleh juga lah. Dan itu kalau ada makanan ringan, sekalian bawa saja kemari.” “Kebetulan, tadi saya menggoreng pisang, apa saya bawa juga ? Atau saya siapkan saja makan malam ?”
“Ya, kau buat lemon tea saja dua, dan siapkan makan malam. Saya akan tahan dulu Bibi Ong makan malam di sini, dan ingin mendengar pengalaman mereka selama di Bali. Kau tidak ada acara malam ini kan Dayat ?”
“Kosong, malam ini aku tidak ada kegiatan. Aku juga ingin tahu bagaimana Wayan memperlakukan ibu, jadi aku juga ingin menunggu ibu dulu lah.”
“Baguslah kalau begitu, dan siapa tahu ibu ada bingkisan buat kau, iya kan ?”
“Aku tidak mengharapkan itu, ibu dalam keadaan baik saja, aku sudah gembira.”
“Kita lihat saja nanti, siapa tahu ada kejutan dari Mama.”
“Dari ibu, atau dari kamu ? Siapa tahu kamu sengaja menelpon ibu, dan menyuruhnya membeli sesuatu untukku.”
“No ! Aku tidak punya ide seperti itu, dan maaf memang aku tidak meminta mama untuk memberikan sesuatu untukmu. Tahu nggak, aku hanya minta satu pada mama.”
“Hanya satu ? Apa itu ?” Tanya Hidayat ingin tahu.
“Aduh, aku tidak dapat mengatakannya sekarang, karena aku saja belum pasti apakah mama ingat atau tidak dengan pesananku itu. Wah, aku jadi penasaran, aku lupa menanyakannya di bandara tadi.”
“Pesan apa sih, sepertinya sangat penting sekali.”
“Yang satu itu sangat penting, dan sangat spesial.”
“Wow, sangat spesial ? Ada hubungannya dengan kebudayaan Bali ?”
“Hm, ada hubungan apa tidak ya, soalnya……… “
“Soalnya, apa ? Kok begitu rahasianya sich, sampai-sampai aku tidak boleh tahu segala.”
“Sabarlah, sebentar lagi juga mama datang. Nah, benar kan, itu mereka datang,” kata Lulu menunjuk ke ruang depan.
“Boleh aku yang menanyakannya pada ibu ?”
“No, no, jangan lakukan itu. Kau tunggu sebentar di sini ya, aku akan menanyakannya sekarang.”
“Sudahlah Lu, tunggu saja di sini, toh mereka kan mau menuju ke sini juga.”
“Enggak akh,” ujar Lulu berdiri dan berlari menemui mamanya.
Hidayat melihat Lulu membisikkan sesuatu ke telinga mamanya. Terlihat mamanya mengangguk, dan Lulu memberikan ciuman yang berulang-ulang pada mamanya. Lulu terus menggandeng mamanya sampai berada di ruang belakang. Wajah Lulu ceria dan dia terus tersenyum. Ang Mei duduk di sebelah Hidayat. Dia heran melihat Lulu yang senyum-senyum, seakan menahan untuk tertawa.
“Ada apa sih dengan dia, Yat ?” Tanya Ang Mei pada Hidayat, menunjuk ke arah Lulu.
“Saya nggak tahu, tetapi yang jelas, katanya kejutan. Ada pesanannya yang spesial pada mamanya dan ternyata pesanannya ada, ya dia jadi gembira.”
“Hei Lu, tolong jangan permainkan kami, pesanan apa sih ?” desak Ang Mei pada Lulu.
“Lho, ada apa ini, datang-datang terus ada rahasia. Ada apa Lu.” tanya Nyonya Wong.
“Itu, ma yang Lulu tanyakan di sana tadi. Tetapi jangan beritahu ya Ma ! Nanti kalau sudah dibuka, dan Lulu sudah lihat, baru Lulu perlihatkan pada mereka,” bisik Lulu pada mamanya.
“Please Bi, ada apa sih ? Kok Bibi jadi ikut-ikutan mendukung Lulu,” desak Ang Mei.
“Kamu juga ada Mei, jadi jangan takutlah, pokoknya“
“Pokoknya, apa Bi ? Ma, ada apa sih Ma ?” Terus Ang Mei mendesak Nyonya Wong dan mamanya.
“Heh ! Masalah apa ini ? Kenapa mama dibawa-bawa, mama kan tidak tahu masalahnya,” ujar Nyonya Ong.
“Munah, apa makan malam sudah disiapkan ?” Kata Nyonya Wong mengalihkan pembicaraannya.
“Sekarang, Nya ?” jawab Maimunah.
“Ya, sekarang lah. Sesudah makan, baru kita pisahkan barang-barang yang ada. Dan baru……”
“Jangan beritahukan Ma !” potong Lulu.
“Memangnya mama mau mengatakan apa ? Sudahlah, kita makan, saja dulu.”
“Bagus Ma, Mama memang hebat. Memang yang paling baik, kita makan saja dulu.”
Suasana ruang belakang hening. Semua sedang menikmati masakan Maimunah. Lulu dan Ang Mei yang biasanya lincah dan ribut juga terbawa suasana hening. Begitu selesai makan, Nyonya Ong langsung berpamitan untuk pulang. Dia memilih barang-barang yang ada namanya. Hidayat coba membantu untuk mengangkat barang-barang Nyonya Ong ke mobil Ang Mei. Begitu pula dengan Lulu yang mendorong koper milik Nyonya Ong. Ternyata Ang Mei ingat akan rahasia untuknya.
“Ma, yang tadi itu, apa sih Ma ?” Tanya Ang Mei ketika membuka pintu mobil.
“Nanti sajalah di rumah, pasti mama beritahukan.”
“Thank you, Bi. Bibi memang hebat. Biarkan mereka kebingungan. Oke Bi, salam buat paman.”
“Terima kasih ya Dayat ! Yang barusan ataupun yang di Bali. Wayan dan Bonar betul-betul hebat,” ujar Nyonya Ong pada Hidayat dan menyampaikan berita soal Wayan dan Bonar.
“Oh ya, saya malah lupa tidak menanyakannya tadi di dalam,” kata Dayat menyatukan kedua tangannya memberi hormat pada Nyonya Ong dan Ang Mei. Pada saat Lulu dan Hidayat sampai di ruang belakang, Nyonya Wong langsung menyerahkan bungkusan plastik untuk Hidayat.
“Maaf sebelumnya, mama hanya bisa memberikan ini padamu,” ujar Nyonya Wong.
“Wah, saya jadi malu menerimanya, saya kan tidak membantu apa-apa buat Ibu.”
“Bantuanmu sungguh luar biasa. Wayan dan Bonar sangat mengesankan buat mama dan mamanya Ang Mei. Bahkan mama pesankan, kalau mereka ingin main-main ke Singapura, mama akan urus semuanya. Bila perlu mama yang mengantar mereka keliling di Singapura ini.”
“Nah ini baru buat Lulu,” kata Nyonya Wong menyerahkan bungkusan besar tertata rapi.
“Bukalah Lu, jangan kau buat aku kebingungan lagi,” desak Hidayat.
“Don” t worry, wait. Sim salabim, aba ka dabra ! Bagaimana Yat ?” Tanya Lulu setelah membuka bungkusan, yang ternyata isinya lukisan wanita Bali.
“Lho, apanya yang hebat ? Aku melihat biasa-biasa saja.”
“Sebentar, sebentar,” sanggah Lulu terus membuka seluruh kertas pembungkus.
“Coba baca ini, siapa nama pelukisnya dan apa yang tertulis di situ. Ke sinilah mendekat,” pinta Lulu dan meletakkannya di atas meja.
“Ini benar Bu, karya Antonio Blanco ?” Tanya Hidayat pada Nyonya Wong begitu dilihatnya pelukis wanita itu adalah Antonio Blanco.
“Benar ! Wanita dalam lukisan itu adalah isterinya sendiri, Nyi Ronji.”
“Pasti sangat mahal harganya. Pada masa yang akan datang, ini lukisan kian bertambah mahal lagi. Aku yakin, tidak banyak orang di Singapura ini yang memiliki lukisan karya Antonio,” kata Hidayat.
“Di Wisma Atria, atau di kantor Duta Besar kalian di sini, juga tidak ada ?” Tanya Nyonya Wong.
“Ada beberapa lukisan di sana, tetapi aku tidak tahu siapa pelukisnya. Tetapi seingatku, tidak ada karya orang-orang top.”
“Atau kau malah tidak memperhatikannya dengan teliti. Siapa tahu malah karya Basuki Abdullah, Affandi, atau Kartika puterinya,” Lulu coba menyindir Hidayat.
“Apakah kau sendiri pernah melihat karya-karya mereka ?” Hidayat penasaran, karena Lulu demikian cepat menyebut pelukis-pelukis terkenal asal Indonesia.
“Beberapa karya Affandi, aku sangat hafal. Semula aku tidak tertarik, tetapi begitu aku amati dengan hati yang jernih dan kutatap lama, aku akhirnya mengerti sentuhan-sentuhan kuas yang lembut, tetapi tegas dalam goresan dengan paduan warna yang demikian gemilang,” jelas Lulu.
“Pada lukisan yang mana, yang pernah kau lihat itu ?” Ujar Hidayat.
“Kau sendiri, apa pernah melihat karya-karya Affandi ?” Lulu kembali menguji Hidayat.
“Sudah tentu, aku pernah melihatnya. Di rumah orang tuaku di Jakarta, ada dua lukisan Affandi.”
“Kau serius, Dayat ? Lukisan yang mana, kalau aku boleh tahu, karena aku memiliki katalognya.”
“Andong Yogya, karya tahun 1969, dan Sphinx Pyramida Mesir, karya tahun 197l,” jawab Hidayat.
“Hebat juga ingatanmu. Tetapi apakah itu asli atau reproduksi ?” Tanya Lulu lagi.
“Nah, itu aku tidak tahu, Lu. Yang pasti seseorang memberikan hadiah pada papa, ketika orang itu pulang dari Yogyakarta. Katanya, dari Museum Affandi.”
“Hadiah, belum tentu apresiasi terhadap lukisan, kan ?”
“Bisa iya, dan bisa tidak, Lu. Tetapi, kalau tidak ada apresiasi, tidak mungkin orang tuaku meletakkannya di ruangan utama.”
“Kau sendiri, apa yang tertarik setelah memiliki katalog lukisan Affandi.”
“Soal potret diri yang berbeda dari tahun ke tahun, dan telanjang.”
“Kenapa pada stressing itu ?”
“Karena di situlah kepiawaiannya, keluguannya, dan kejujurannya.”
“Kalau aku boleh tahu beraliran apa tentang lukisan, impressionisme, naturalis, atau ekspresionis ?”
“Maaf, kalau aku memandang sebuah lukisan, tidak pernah memikirkan golongan pelukis apapun dia. Yang penting bagiku, hasil akhirnya dan aku sejuk memandangnya dan kalau dapat, aku memilikinya, seperti apa yang aku miliki saat ini. Dan aku bangga, karena pelukis sekaliber Antonio menggoreskan kuasnya menuliskan namaku. Dan aku tidak tahu, aliran apa lukisan ini.”
“Bagaimana kalau orang mengatakan ini lukisan salon, apakah kau keberatan ?”
“Terserahlah, dari referensiku, aku bangga memilikinya. Shie, shie ni Ma !” ungkap Lulu berdiri dan memeluk mamanya yang sedang sibuk menata belanjaannya.
“Oke lah Lu, aku pulang dulu. Bu, terima kasih ya ininya,” Hidayat berdiri dan pamit serta mengangkat bungkusan yang diberikan Nyonya Wong. Hidayat tidak ragu-ragu memeluk Lulu dan mencium pipi Lulu di depan mamanya.
“Kalau ada waktu, besok pagi ke sini, mama akan membicarakan sesuatu,” ujar Nyonya Wong.
“Ya, besok saya akan kemari, karena kami besok siang ada kuliah. Iya kan Lu ?”
“Iya, walaupun jamnya berbeda. Malah aku duluan masuknya. Baiklah, besok aku tunggu dan maaf aku tidak antar kau ke depan.”
“Enggak apa-apa, ayo,” kata Hidayat terus melangkah meninggalkan Lulu dan Nyonya Wong.
“Ma, Mama mau membicarakan apa dengan Hidayat besok ? Apakah masalah yang disampaikan Paman Kuo kalau papa ingin bicara serius dengan Mama ?”
“Benar, Lu. Kenapa mereka begitu membenci Hidayat. Mama ingin tahu apa alasan mereka, terutama papamu. Padahal papamu, bertemu juga belum pernah dengan Hidayat, mama jadi heran.”
“Atau Paman Kuo barangkali yang memberikan informasi yang tidak-tidak pada papa. Tetapi Lulu kan tidak berbuat macam-macam dengan Hidayat, Ma. Kenapa jadi begini, Ma ?”
“Itulah Lu, mama juga tidak mengerti. Belum juga bertemu, tetapi sudah ada permusuhan. Ini kan sesuatu yang aneh.”
“Mama kira ada baiknya, Kau tidur saja dulu, ya. Katanya pamanmu mau datang sekarang, ternyata belum datang juga dia.”
“Kemarin paman memang mengatakan akan datang, Ma. Lulu mau membantu mama sajalah, Lulu belum mengantuk Ma.”
“Sudahlah, masalah bingkisan ini, urusan mama. Semua sudah mama beri tanda, mana untuk koko-kokomu dan anak-anak mereka, dan juga untuk papamu.”
“Untuk papa juga ada, Ma ?”
“Tentulah. Jangankan untuknya, untuk pamanmu Kuo juga mama sudah siapkan. Tidak ada yang mama beda-bedakan, semuanya mama cintai, karena semuanya keluarga besar kita, ya Keluarga Wong. Di usia mama seperti saat ini, tidak ada kebahagiaan lain, kecuali kita bisa berkumpul bersama-sama, penuh kecintaan, persaudaraan, dan kedamaian.”
“Mama memang wanita sejati, Lulu bangga memiliki Mama,” desah Lulu terus memeluk erat mamanya. Nyonya Wong membelai rambut puteri semata wayangnya. Dikecupnya kening Lulu penuh kemesraan. Lulu merasakan kedamaian. Akhirnya dia tertidur juga di pangkuan mamanya. Telepon berdering, ketika Nyonya Wong akan berdiri, Lulu terbangun.
“Jangan-jangan dari Paman Kuo atau malah dari papa, Ma,” Lulu coba menerka.
“Eh, kau Mei, sebentar ya !” jawab Nyonya Wong, yang ternyata telepon dari Ang Mei untuk Lulu.
“Thank you ya Lu atas idemu. Aku senang sekali menerimanya.”
“Ide yang mana Mei, aku tidak mengerti.”
“Itu, soal pencantuman nama di atas kanvas lukisan.”
“Oh, aku kira apa. Itu bagian dari apresiasi kita terhadap karya orang lain yang tidak kita kenal secara langsung, tetapi kita mengenal namanya.”
“Lukisan karya Antonio Blanco tersebut kita jadikan menjadi salah satu ikatan di antara kita. Bukankah kesamaan-kesamaan di antara kita perlu kita wujud nyatakan ?”
“Aku rasa memang demikian, Lu. Tetapi soal kekasih di luar etnis kita, hanya kau yang memilikinya. Sementara aku, masih sendiri, Lu.”
“Kau harus sabar, Mei. Kalau seandainya Hidayat kue, aku siap membaginya untuk kita berdua. Tetapi ini manusia, jadi tidaklah mungkin. Kecuali……………………………………………… “
“Kecuali, apa Lu ?”
“Kecuali, Hidayat mau memiliki kita berdua sekaligus.”
“Wow, sungguh mengasyikkan. Eh maksudku, sangat tidak masuk akal lah….. Oke lah Mei, sampai bertemu besok pagi, yok ah !”
“Jangan tinggalkan aku, sebelum aku datang, ya !”
“Kau tidak perlu khawatir Mei, kami dengan setia akan menanti kehadiranmu. Bila perlu, kau juga boleh ikut ke kampus besok. Jam kuliahku besok itu, hanya satu bidang studi. Begitu pula dengan Hidayat, sehingga kita cepat pulangnya.”
“Apakah kehadiranku tidak malah mengganggu kemesraan kalian ?”
“Tidak, Mei. Aku lebih senang ramai-ramailah. Jadi, kau tidak perlu sungkan-sungkanlah. Oke see you !”
“Shie-shie ni, lah ?” Kata Ang Mei kembali mengucapkan terima kasih.
“Phu khe chi, lah. Tak apa, tak perlu sungkan-sungkan.”
Betapa malunya Ang Mei pada Lulu karena keceplosan mengatakan, asyik dapat berbagi kekasih dengan Hidayat. Kalau besar begitu, artinya, Lulu kekasih Hidayat dan Hidayat juga kekasih Ang Mei. Terkadang aku iri bila aku melihat Hidayat hanya memeluk Lulu. Ingin rasanya aku merasakan apa yang dirasakan Lulu. Aku seakan ingin dekat terus dengan Hidayat. Beberapa jam yang lalu, aku duduk berdampingan dengannya. Sedikit saja tanganku tersentuh dengannya, jantungku demikian kencang bergetar. Orang bijak mengatakan, memandang dengan mata hati, tujuh puluh kali lebih baik dari pada memandang dengan mata biasa. Haruskah aku memperjuangkan apa yang berdebar di hati ini ? Bukankah ini suatu pemberontakan terhadap teman sendiri ? …..Bersambung……