Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(28)
Halaman 136-140
Ini suatu perjuangan yang sangat berat yang terus berkecamuk setiap kali bertemu dengan Hidayat. Kegalauan hati terus menerpa yang tidak sanggup aku bendung. Bentengku demikian tipisnya, ombak itu datang terus menerus menerpaku. Perasaan itu akan hilang apabila aku melihat Lulu, tetapi begitu bertemu Hidayat, hati ini terus kencang berdebar. Setiap kali Lulu mengajakku untuk bermain dengan Hidayat, aku tidak dapat menolaknya. Ingin rasanya menolak agar aku tidak bertemu dengan Hidayat. Namun, apa alasanku kalau aku menolaknya. Besok pagi aku akan bertemu kembali dengan Hidayat. Lulu demikian lugu dan baik. Tidak pernah dia berpikir yang tidak-tidak padaku apalagi sampai curiga kalau aku berdekatan dengan Hidayat.
“Maafkan aku Lu membawa Hidayat dalam angan dan mimpiku. Hanya itu yang berani aku lakukan,” desah Ang Mei sembari memeluk erat bantal guling.
Ang Mei kalah cepat dengan Hidayat. Ketika dia akan memarkirkan mobilnya, dia sudah melihat mobil Hidayat di sana. Sepagi ini Hidayat sudah menemui Lulu ? Atau jangan-jangan dari kemarin Hidayat tidak pulang. Mungkinkah Bibi Wong merelakan puterinya tidur bersama Hidayat ? Semakin dekat ke rumah Lulu, Ang Mei semakin penasaran. Toko belum buka, tetapi pintu telah terkuak lebar. Ang Mei langsung ke ruang belakang. Suasana sepi. Hanya ada Hidayat seorang diri di sana. Sangat serius dia membaca surat kabar. Ang Mei mengendap-endap dan melambatkan langkahnya, agar Hidayat tidak terusik. Ini kesempatanku memeluk Hidayat dari belakang.
“Aku akan mencuri kesempatan ini,” desah Ang Mei dalam hatinya.
“Hayo ketahuan, kamu kemarin tidak pulang !”kata Ang Mei mengejutkan Hidayat dan memeluknya dari belakang. Hidayat terkejut dan spontan memutar kepalanya ke belakang. Hidungnya menyentuh pipi Ang Mei. Ang Mei tidak mengangkat kepalanya, tetapi malah memutarnya ke kanan. Tanpa sengaja, bibirnya beradu dengan bibir Hidayat. Ang Mei tersentak. Pandangannya langsung gelap, seakan lampu ruangan mati tiba-tiba. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kakinya gemetar, sekujur tubuhnya seakan terkena sengatan listrik. Tak kuasa lagi dia berdiri di sana. Dilepasnya pelukannya dan terus berputar melangkah ke samping. Berjalan lagi ke depan, tetapi baru tiga langkah, Ang Mei kembali lagi mendekat ke meja makan. Ditariknya kursi, tetapi dia tidak jadi duduk. Malah ditatapnya langit-langit kamar. Ang Mei kian gelisah. Seumur hidup, itulah pertama kali bibirnya bersentuhan dengan bibir seorang pria. Dan itu Hidayat orangnya ! Orang yang membuat jantungnya berdebar-debar, yang membuatnya susah tidur dan orang yang kemarin malam dikhayalkannya, dirindukannya. Tetapi dia tidak pernah menyangka kejadian barusan. Selama ini dia hanya merindukan pelukan. Yah, hanya pelukan ! Tidak seperti apa yang dirasakannya barusan, yang demikian cepat dan mengagetkan.
“Apa yang kau tatap di atas sana ? Bukankah tadi kau menanyakan apakah kemarin malam aku tidak pulang ?” Hidayat mengulang pertanyaan Ang Mei demikian tenangnya, seakan tidak terjadi sesuatu hal di antara mereka beberapa menit yang lalu.
“Aku hanya menduga-duga, karena sepagi ini kau sudah berada di ruangan ini. Tetapi sudahlah, aku sedang menatap cicak yang berwarna hitam,” jawab Ang Mei sekenanya dan terus melihat ke atas. Belum sanggup dia menatap wajah Hidayat.
“Mana ? Aku tidak melihatnya,” ujar Hidayat berdiri dan melangkah mendekati Ang Mei.
”Sudah lari ke sana,” kata Ang Mei melangkah ke pintu kamar Lulu. Ang Mei sengaja menghindar. Begitu dia mau membuka pintu, ternyata Lulu telah membukanya terlebih dahulu. Kembali Ang Mei tidak berani menatap wajah Lulu. Ada perasaan bersalah yang dirasakannya.
“Huh ! Kau mengejutkan aku saja, Mei.”
“Sama, kau juga mengejutkan aku, Lu.”
“Hei, kenapa kau tidak menemani Hidayat saja di sana.”
“Dia lebih senang berteman dengan surat kabar dari pada aku.”
“Benar begitu Dayat ?” Kata Lulu agak meninggikan suaranya, agar didengar Hidayat. Sayangnya, Hidayat hanya mendengar kata benar. Dia menyangka Ang Mei menceritakan kejadian yang tidak disengajanya tadi.
“Benar apanya ? Aku kan cuma…………. “
“Cuma apa Yat ?” desak Lulu yang jalan bergandengan dengan Ang Mei mendekat ke meja makan. Lulu dan Ang Mei hampir bersamaan menarik kursi untuk segera duduk berhadapan dengan Hidayat.
“Cuma apa ya, aku jadi lupa,” jawab Hidayat.
“Yang tadi barangkali,” ujar Ang Mei.
“Yang tadi ?” Hidayat bertambah gugup.
“Memangnya, tadi ada apa sih Mei ?”
“Itu, aku tadi melihat cicak hitam di atas sana,” jawab Ang Mei seraya menunjuk ke langit-langit.
“Bukannya koko Chung Pha, yang kau maksud di atas sana.”
“Hus ! Kau ini bagaimana Lu, masak sih kokomu kau katakan cicak hitam.”
“Ya, memang tokoh idolanya Spiderman. Kau lihat saja di kamarnya ada poster Spiderman.”
“Kau ini ada-ada saja Lu, dia sebentar lagi akan meraih master, mana mungkin idolanya Spiderman. Sudahlah, yang penting mana sarapan kita ini ?”
“Lho, Munah belum membuatkan minuman buat kamu, Dayat ?”
“Sudah, sudah. Malah sudah kosong nih !” Jawab Hidayat terus mengangkat gelasnya yang telah kosong.
“Munah, tolong siapkan makan pagi. Atau kau beli bubur dan cakwe di seberang tempat langganan kita. Ini uangnya,” pinta Lulu pada Maimunah yang akan membersihkan kamar Lulu.
“Berapa mangkuk, Non ?” Tanya Maimunah.
“Ya, empat lah, atau kalau Munah mau, Munah juga pesan saja. Kalau bisa, cepat sedikit, kami mau keluar.”
“Baik Non,” ujar Maimunah terus bergegas keluar.
Terlihat Nyonya Wong menuruni anak tangga. Dia terus menuju ke ruang makan. Dia menarik kursi yang berada di sebelah Hidayat. Nyonya Wong mengambil gelas yang ada di meja makan dan terus menuangkan air putih.
“Ini sudah pada sarapan atau belum ?” Tanya Nyonya Wong seraya minum.
“Lulu sudah minta Maimunah membeli bubur langganan kita, untuk Mama juga sudah Lulu pesankan.”
“Bagaimana kalau kita mulai saja membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan Paman Kuo dengan Hidayat ?” Kata Nyonya Wong sedikit serius.
“Akh, mama terlalu serius, seperti rapat pemerintah saja. Biasa-biasa saja, Ma !”
“Ini memang serius, Lu. Mama tidak ingin kesalah-fahaman ini berkelanjutan.”
“Tetapi percuma Ma, karena papa sampai saat ini belum datang.”
“Kita tunggu saja, tetapi setelah sarapan nanti papamu belum juga datang, kalian pergi saja, biar mama yang menghadapi papa.”
“Tetapi Lulu masih bingung Ma, apa hubungan kekalahan papa dengan kehadiran Hidayat. Kalaupun akhirnya Hidayat tahu papa seorang penjudi, Lulu pasrah saja, Ma.”
“Ya, itulah papamu dan pamanmu. Mama sudah menduga, kalau perkataan pamanmu itu akan sama dengan perkataan papamu, dan itu tidak jauh dari ungkapan seorang peramal.”
“Peramal, Ma ? Memasuki milenium, globalisasi, hal-hal seperti itu masih ada ?”
“Tentu, tentu Lu. Perlu kalian tahu, hal-hal yang berkaitan dengan ramalan, perkiraan supranatural, termasuk magic atau mistik dan sejenisnya, itu tidak akan hilang di muka bumi ini. Mama rasa di Indonesia juga ada hal-hal seperti itu, ya kan Dayat ?”
“Benar Bu. Bahkan sekarang di sana lagi trend, di samping ada pengkaburan makna antara dukun dengan supranatural yang Ibu katakan tadi. Tidak saja menimpa rakyat kebanyakan, tetapi orang-orang penting pun sangat tergantung pada hal-hal yang demikian.”
“Apakah dengan perbintangan atau astrologi juga sama, Ma ?”
“Kalau horoskop, bagaimana Bi ?” Ang Mei ikut juga menanyakan pada Nyonya Wong.
“Semua itu tergantung pada pribadi kita masing-masing. Yang jelas, semua itu terjadi di depan kita, tergantung kita mempercayainya apa tidak. Jadi apapun nama dan istilahnya, itu sama saja, yaitu menguji peruntungan kepada orang. Bukan kepada Tuhan.”
“Kami terkadang membaca juga perbintangan seperti Leo, Sagitarius, Aries, dan seterusnya, di majalah atau surat-surat kabar. Kemudian ada shio hewan, apa itu juga sama Ma ? Bagaimana itu bisa tercipta dan digemari banyak orang dan di banyak negara di dunia ini ?”
“Kalau yang mama ketahui, masalah shio, itu ada kaitannya dengan legendanya. Kalau astrologi atau perbintangan, mama kurang mengetahuinya.”
“Legenda bagaimana, Ma ? Tetapi kenapa simbol-simbol hewannya sangat terbatas. Dan anehnya, setiap akhir tahun atau awal tahun, demikian maraknya diekspos, bahwa tahun depan adalah tahun Naga, Kuda, Kambing, atau apalah. Ceritanya bagaimana, Ma ?”
“Mama sendiri sebenarnya tidak begitu mengetahuinya. Hanya, pengalaman mama yang berhubungan dengan banyak orang atau pelanggan, dan ditambah buku-buku yang mama baca ketika menjaga toko saat sepi, membuat mama tahu sedikit tentang hal itu.”
“Sedikit juga tidak apa Bi, ceritakan saja, kami ingin mendengarnya,” pinta Ang Mei.
“Benar Bu, sepertinya menarik juga,” tambah Hidayat.
“Lho, kenapa kalian malah tertarik dengan hal-hal yang demikian. Bukankah kalian ini produk modern ? Sekarang malah mendesak mama, untuk menceritakannya.”
“Yah, kami penasaran saja Ma, khususnya soal hewan-hewan tadi, sebenarnya yang masuk katagori ke dalam perbintangan dan perhitungan tersebut, hewan apa saja.”
“Kalau jumlahnya, ya tentu 12, sesuai dengan kalender umum, yang berarti 12 bulan setiap tahunnya. Tetapi, kalau salah, mama minta maaf ya dan kalian boleh percaya atau tidak, mama serahkan pada hati nurani kalian. Ceritanya, pada suatu hari Budha mengundang semua hewan untuk datang merayakan tahun baru bersamanya. Sayangnya, yang datang dan yang memenuhi undangan tersebut, hanya 12 jenis hewan.”
“Hewan apa saja itu, Bi ?” Ang Mei kian penasaran.
“Yang pertama kali datang adalah Tikus, disusul kemudian Kerbau, Harimau, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing, dan yang terakhir datang, Babi. Begitulah urut-urutannya, mulai bulan ke satu hingga bulan ke dua belas.”
“Kemudian penyelarasannya dengan tingkah laku atau watak manusia oleh siapa ?” Tanya Hidayat yang mulai tertarik dengan cerita Nyonya Wong.
“Untuk mengucapkan terima kasihnya, Budha memutuskan untuk menamai setiap tahun sesuai dengan nama hewan-hewan tersebut, sesuai dengan kehadiran pada saat undangan. Seperti urutan yang mama sebutan barusan. Kalau soal kajian perwatakan, menurut mama, telah terjadi perubahan-perubahan. Tergantung, sejauh mana yang bersangkutan mendalaminya,” jelas Nyonya Wong.
“Berarti Mama tahu, kita ini Shio Kambing, Monyet, atau Ayam ?” Tanya Lulu lagi.
“Kalau itu, sangat mudah, karena telah ada hitungan kalendernya. Kalian tinggal menyesuaikan tanggal dan tahun kelahiran kalian.”
“Mama memiliki kalender tersebut ? Kami jadi ingin tahu, shio apa saja kami ini.”
“Sudahlah, kalian jadi terhanyut dengan cerita mama. Padahal, mama sendiri belum tentu benar. Mama takut ah, takut salah. Lupakanlah, kita pindah ke cerita lain sajalah.”
“Tetapi barangkali Mama tahu, kalau shio-shio kami ini bisa berkumpul dan berteman selamanya apa tidak ?” Lulu coba merayu mamanya.
“Kalau itu, mama tidak tahu. Tetapi, kalau sebentar lagi kita akan makan bubur dan cakwe, mama tahu. Kemudian, setelah makan bubur, perut menjadi kenyang, itu mama bisa lebih tahu lagi,” canda Nyonya Wong mengalihkan pembicaraan yang kian serius.
“Bawa sini, Munah,” kata Nyonya Wong melambaikan tangan kanannya memanggil Maimunah.
“Huh ! Mama, kami begitu terlambat mengetahui hal-hal itu, sehingga kami ingin tahu lagi lebih banyak lagi sekarang.”
“Lain kali sajalah. Mama sebenarnya dari dulu tidak mau memasuki ruang-ruang itu pada anak-anak mama. Jadi kalian harus memakluminya. Sudahlah, apa yang ada di hadapan kita ini dulu yang kita makan. Ayolah, bukankah kalian akan pergi ?”
Sampai Lulu, Ang Mei, dan Hidayat, meninggalkan rumah, papa Lulu, Wong Chung Hwa, belum juga datang. Tetapi Nyonya Wong tetap setia menantikan kedatangan suaminya. Dia mencoba menanti suaminya di depan, sekalian menjaga toko. Belum juga habis dia membaca surat kabar, dia dikejutkan oleh suara yang sangat dikenalnya.
“Cheng, kau sudah ada di sini ?” sapa Wong pada isterinya Cheng Yuen Ma.
“Eh, apa khabarmu. Kau terlihat kurus sekarang,” jawab Nyonya Wong terus berdiri dan mendekat dan mengambil tas tangan dari suaminya.
“Apa sudah makan ?” Tambahnya terus berjalan ke ruang belakang.
“Sudah, sudah. Aku dan Kuo Wei sudah makan di Clifford Pier.”
“Sebentar, aku panggil Maimunah untuk menjaga toko,” ujar Nyonya Wong berjalan lebih cepat mendahului suaminya.
“Munah, kau tinggalkan saja kerjamu, tolong kau jaga di depan, ya,” pinta Nyonya Wong pada Maimunah yang sedang berada di dapur.
Munah bergegas ke depan. Di koridor tengah, dia berpapasan dengan Wong Chung Hwa.
“Kau baik-baik saja, Munah ?” Tegur Wong menepuk bahu Maimunah.
“Baik tuan, baik. Maaf Tuan, Nyonya meminta saya untuk menjaga di depan,” kata Maimunah sedikit menundukkan kepalanya. Ditatapnya Wong sebentar, ada sesuatu yang kosong kelihatannya di mata Wong saat itu. Kegagahan yang dulu, terlihat mulai pudar. Mata Wong begitu cekung terlihat. Rambutnya yang dulu hitam karena sering disemir, kini terlihat hampir memutih semua. Demikian tak terurus kelihatannya. Maimunah tidak berani menanyakan lebih jauh. Bagaimanapun, Wong adalah majikannya. Majikan yang istimewa di mata Maimunah. Nyonya Wong menyiapkan kopi panas untuk suaminya dan diletakkannya di atas meja makan. Semula dia akan menyiapkan handuk dan pakaian untuk suaminya, tetapi Wong ternyata tidak sabar untuk mengajaknya berbicara.
“Tidak, aku takkan mandi, kau duduk saja di sinilah,” ketus Wong.
“Aku sudah dengar dari puteri kita apa yang disampaikan Kuo Wei. Bukankah itu yang akan kita bicarakan sekarang ?”
“Benar. Tetapi aku tidak melihat lelaki itu ada di rumah ini. Tetapi dari piring dan gelas yang berserakan di meja ini, aku yakin dia tadi ada di sini, kan ?”
“Memang benar kami tadi menunggumu. Maksudku, dia dan puterimu. Namun ada kegiatan di kampus pagi ini, sehingga beberapa menit yang lalu mereka telah pergi.”
“Tidak cukupkah Kuo Wei yang mengatakan tentang tidak perlunya hadir lelaki itu di rumah ini? Harus akukah yang mengatakan padanya atau padamu ?”
“Boleh saja kami mengikuti apa yang dikatakan Kuo Wei, tetapi paling tidak, aku ingin tahu apa alasannya kita mengusir dia dari rumah ini, atau dari hubungannya dengan puteri kita sendiri.”
“Justru dua-duanya yang aku inginkan. Dia tidak masuk ke rumah ini dan tidak berhubungan dengan puteri kita.”
“Kalau tidak datang ke rumah ini, mungkin aku dapat memberikan pengertian padanya. Tetapi kalau mengatakan dia harus meninggalkan puteri kita, aku tidak sanggup mengatakannya.”
“Berarti, harus aku yang mengatakannya, kan ?”
“Yah, terserah. Namun kalau aku boleh mengingatkan, jangan terlalu kasar padanya. Dia bukan orang sembarangan.”
“Kau mau menggertak aku, atau lelaki itu yang telah menakut-nakutimu, bahwa dia anak seorang pejabat penting di Indonesia. Begitu ?”
“Kamu salah Wong. Dia tidak pernah mengatakan dia anak siapa ketika bermain ke sini atau berhubungan dengan puteri kita. Tetapi dengan fasilitas yang diberikan orang-orangnya di Bali, dan betapa hormatnya mereka pada kami selama di Bali, baru aku tahu, bahwa sebenarnya dia putera seorang pejabat penting.”**Bersambung….