Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(29)
Halaman 141-145
“Aku tidak senang dengan kata-kata berhubungan dengan kata-kata pejabat. Apa pedulinya kita dengan itu semua. Yang pasti mana lebih berhak, dia atau kita tentang puteri kita.”
“Tentu kita lebih berhak, tetapi apakah kita tidak bisa lebih lembut dengan orang lain aku tidak berniat menakut-nakutimu dengan menyebutkan kata-kata pejabat. Tetapi paling tidak, hal tersebut akan menjadi urusan antar negara, apabila kita salah dalam mengambil tindakan.”
“Apa sampai sejauh itu ?”
“Inilah yang aku sayangkan dari kau sejak dulu. Pergaulanmu dari dulu itu ke itu juga, sehingga masalah hubungan antar negara tidak pernah dan tidak mau kau ketahui. Mereka punya perwakilan negaranya di sini. Sehingga bila ada hal-hal yang merugikan warganya, mereka pasti turun tangan. Ini yang harus dipikirkan.”
“Kenapa bisa begitu ? Ini kan urusan keluarga kita, bukan urusan negara ?”
“Benar, tetapi dia memiliki ijin menetap, ijin mengikuti pendidikan di negara kita. Dia bayar pajak, dia belanja dan dikenakan pajak, dia bayar uang kuliah. Artinya, dia bukan penduduk liar atau pendatang haram ! Jadi jangan samakan pergaulan di pelabuhan, di kapal, dan di tempat judi dengan di rumah kita ini.”
“Nah itu, itu yang aku maksudkan, itu justru yang akan aku bicarakan padamu.”
“Apa dari tadi kita belum bicara ?”
“Belum, belum pada sasaran yang aku inginkan.”
“Aku jadi tidak mengerti arah pembicaraanmu. Tolong katakan sajalah. Kau sedang tidak mabuk kan ?”
“Jangan memancing kemarahanku dengan kata-kata mabuk itu. Aku masih waras, masih sadar saat ini. Kau saja yang tidak mengerti, padahal kau sudah mengatakannya tadi.”
“Kata-kataku yang mana ? Sebentar, aku ingin mengingatnya.” Nyonya Wong coba mengingat-ingat kata apa yang barusan telah diucapkannya. ”Oh ya, soal judi !” tegas Nyonya Wong.
“Ya, akhirnya ingatanmu pulih juga. Ya, tentang judi !”
“Terus, apa kaitannya judi dengan masalah ini semua ?”
“Justru sangat erat sekali. Lelaki asing itu telah menutupi keberuntunganku di meja judi. Kalau dia terus-terusan ke sini, maka usaha yang kita bangun berpuluh-puluh tahun, akan hancur berantakan. Huh, berantakan !”
“Menutup bagaimana maksudmu, dan usaha kita akan berantakan karena kehadiran Hidayat ?”
“Begitu lancarnya kau Cheng menyebut nama lelaki itu.”
“Maksudku, sebut saja namanya demikian, dari pada kau menyebutnya lelaki itu-lelaki itu terus.”
“Oke, oke, aku akan menyebut nama itu ! Tetapi, apakah kau tidak bisa membujuknya untuk tidak berhubungan lagi dengan puteri kita ?”
“Apa alasannya ? Apa kata Lulu nanti, tolong jangan benturkan aku dengan mereka. Aku tidak sanggup melakukannya. Bahkan aku tidak dapat membayangkan, kalau tiba-tiba saja memisahkan mereka.”
“Itu artinya, aku sendiri yang harus mengatakannya. Kalau itu yang kau harapkan, aku akan mengatakannya.”
“Haruskah kita memisahkan mereka ?”
“Sebenarnya, aku tidak mengerti soal-soal beginian. Yang aku tahu, ada tirai hitam menutup dari arah Selatan masuk ke rumah ini. Gelombang itu datang, terus bergerak, akhirnya menutup rumah ini. Kartuku gelap terus. Seseorang menyuruhku untuk pulang dan menyelidiki apakah ada orang asing yang sering datang ke rumah kita ini.”
“Oleh karena itu, kau berulangkali mengutus Kuo Wei untuk menyelidikinya, kan ?”
“Tepat ! Ternyata memang ada tirai hitam dan gelombang hitam itu ke sini.”
“Tadi lelaki itu, sekarang tirai hitam, gelombang hitam. Sudahlah, lebih baik berterus terang, bahwa kau berulangkali kalah di meja judi atau permainan, apa pun namanya. Kemudian Kuo Wei menyarankanmu untuk menemui seorang peramal, iya kan ? Dan aku tahu siapa dia !”
“Kau mengetahuinya ?” Tanya Wong Chung Hwa kaget.
“Apa kau lupa, kalau Kuo Wei itu masih saudaraku. Aku mengenalnya sejak kecil, sehingga aku tahu kebiasaannya. Seseorang yang kalian temui itu, berada di kawasan Bukit Timah, iya kan ? Apa perlu aku menyebut nama peramal itu ?” pancing Nyonya Wong.
“Berarti kau mengenalnya atau……. “
“Sudahlah, kita sudah tua Wong. Sejak kecil kita berada pada lingkungan yang sama. Dari rumah satu ke rumah lainnya, dari arena satu ke arena lainnya. Sampai kita dijodohkannya juga di meja judi. Menurutku, kekalahanmu ada dalam dirimu sendiri.”
“Pada diriku sendiri ? Itu artinya, kau menghinaku. Barusan kau katakan, kita dari kecil berada di lingkungan dunia perjudian, itu artinya aku bukan anak kemarin kan dalam soal permainan judi ?”
“ Benar. Tetapi ada yang kau lupa, yaitu kodrat alam yang tidak bisa kau lawan. Lihat dirimu, lihatlah. Pikiranmu, fisikmu, dan penglihatanmu, semuanya berubah. Kau lelah, Wong. Kau bukan lagi Wong Chung Hwa yang kukenal puluhan tahun yang lalu. Yang gagah, gesit, dan selalu memanjakanku. Belakangan ini, hal itu kian hilang darimu. Aku isterimu, Wong, tataplah aku, tataplah Wong,” desah Nyonya Wong berdiri kemudian menunduk, meletakkan kedua lututnya di lantai. Kedua tangannya diletakkannya di lutut suaminya.
“Cheng, kau tidak harus melakukan ini. Duduklah,” kata Wong Chung Hwa memegang pundak isterinya sampai isterinya duduk kembali.
“Aku masih Cheng-Cheng yang dulu, Wong. Kutinggalkan keindahan alam Bali hanya untuk pertemuan ini. Bagiku, apalah artinya keindahan dunia ini tanpa kau berada di sisiku. Padang-padang kering, rerumputan kering, tanpa pernah kau siram.”
Wong Chung Hwa berdiri. Dia melangkah mengitari meja makan. Sesekali dengan jari tangan kanannya disisirnya rambutnya. Ditariknya perlahan dari depan ke belakang. Dia gelisah. Pikirannya berkecamuk. Masa kecil yang diingatkan kembali oleh isterinya telah menyentuh lubuk hatinya yang dalam. Masa di mana dia bersenda gurau di antara gemericiknya suara mahyong, pengapnya asap rokok, dan keributan-keributan antar penjudi. Tetapi, apakah benar bahwa kami dijodohkan di meja judi seperti yang aku dengar barusan ? Atau aku salah menafsirkannya. Seingatku, bukan karena orang tuanya kalah judi kemudian menyerahkan puterinya pada orang tuaku. Itu artinya, kawin paksa. Bukan, bukan begitu ! Cinta kami mengalir sejak kecil, remaja, dan kian tumbuh saat menjelang dewasa.
“Sudahlah Wong. Sebaiknya kau pangkas rambut, cukur kumis dan juga janggutmu, kemudian mandi. Ganti pakaianmu dengan pakaian khas dari Bali, yang sengaja aku beli untukmu,” bujuk Nyonya Wong, ketika Wong melintas di sisinya.
Mendengar kata-kata isterinya, Wong Chung Hwa berhenti. Dengan tangan sebelah kiri, dipegangnya bahu isterinya. Dia mulai mencoba untuk menimbang-nimbang, antara kembali ke arena judi atau kembali ke sisi isterinya. Ditariknya kembali tangannya. Dengan kedua telapak tangannya perlahan, diusapkan ke wajahnya, terus naik ke kening, rambut, terus ke belakang, berhenti, dan dibiarkannya bertengger di pundaknya. Tak lama dilepaskannya kembali. Ditariknya kursi, dan duduk berdampingan dengan isterinya.
“Kalau aku tidak salah dengar, kau membelikan aku Baju Bali,” ujar Wong dengan suara yang datar.
“Benar. Ada dua baju dan dua t-shirt yang khusus aku belikan untukmu,” kata Nyonya Wong memutar badannya agar berhadapan dengan suaminya.
“Tetapi, aku………. “
“Sudahlah. Apa tidak bisa kita buat lembaran baru. Lupakan dan hentikanlah segala hal yang berbau judi. Bila perlu kita berlibur berdua atau beramai-ramai dengan teman-teman seusia kita. Atau apalah, asal tidak lagi di arena judi,” desak Nyonya Wong.
“Tetapi, aku sudah kalah banyak. Satu kapal motor kita sudah aku gadaikan, dan bagaimana dengan Kuo Wei ?”
“Masalah kapal motor yang kau gadaikan, akan segera kita tebus. Kalaupun harus dijual aku rasa tidak masalah, anggap saja itu kesialan terakhir. Masih banyak kapal motor kita yang lain. Bila perlu sebagian dijual saja, dan belikan kapal yang agak besar.”
“Tetapi bagaimana dengan saudaramu She Kuo Wei ?”
“Di situlah salahnya kau Wong. Sudah baik dulu kita tempatkan dia di bagian pembukuan dan keuangan. Tetapi kau bawa terus dia menjadi keuanganmu, mendampingimu, sehingga dia tidak bekerja apa-apa selain mendampingimu ke manapun kau pergi.”
“Tetapi tanpa dia, aku………….”
“Sudahlah, kalau kau setuju, kita jadikan saja dia pengawas atau apalah, yang penting kalian harus berpisah dulu.”
“Apa katanya nanti, kalau dia tidak boleh bersamaku.”
“Itu urusanku. Karena dia saudaraku, aku kira apabila dia bersamamu, dia bisa menggantikan aku untuk mengawasimu, tetapi malah sebaliknya, dia melindungimu. Terakhir, malah dia menjerumuskanmu ke hal-hal yang berbau mistik atau apalah namanya, yang hampir-hampir membuatmu gelap mata untuk mengganggu Hidayat.”
“Aduh, nama itu lagi yang kau sebut. Aku sudah mulai mereda, memikirkan, untuk meninggalkan arena perjudian. Tetapi begitu kau sebut nama itu, hatiku kembali mendidih.”
“Kau kan belum mengenalnya. Bahkan bertemu juga belum. Bagaimana kau bisa demikian membencinya ? Aku berharap, beberapa hari ini kau tidak keluar rumah, dan berkenalanlah dengannya.”
“Jadi aku dikurung di rumah ini, hanya karena lelaki itu ? Hebat sekali dia ?”
“Bukan lelaki itu, tetapi Hidayat ! Namanya, Hi…da…yat !”
“Yah, si Hidayat itulah !”
“Nah begitulah. Orang baik-baik, sopan, ramah, dan handsome, kenapa harus kita musuhi ? Terlebih-lebih, puteri kita sangat mencintainya. Itu yang harus kita jaga, kita awasi. Kalau sedikit saja kita berbuat kurang baik, aku takut, malah puteri kita yang jadi korban.”
“Berani dia berbuat demikian pada puteri kita ? Apa dia belum tahu pergaulan orang-orang kapal, anak-anak buah kita. Bahkan anak buah kita banyak yang dari Indonesia, apa harus kita adu domba ?”
“Inilah bedanya dunia kita dari dulu. Beda kita dengan sebagian anak-anak kita, khususnya Chung Pha dan Lulu. Mereka berpendidikan, bergaul dengan norma-norma intelektual, tidak bisa kita bawa ke dunia, di mana perkelahian dan pembunuhan dijadikan lambang kejantanan.”
“ kata Kuo Wei, orangnya tidak mau dinasehati, bandel, dan keras kepala.”
“Kuo Wei terlalu berlebihan. Yang keras kepala itu, kalian-kalian ini, maunya ribut terus dan senangnya berkelahi. Dan…. cepat naik darah.”
“Bagaimana tidak, belum kenal saja, kita ribut terus di sini hanya karena dia.”
“Hidayat !”
“Yah, si Hidayat itulah !”
“Atau begini sajalah, coba sekarang berendam di kamar mandi, dinginkan kepala, setelah itu, kita makan bersama. Oh ya, apa aku perlu menyuruh Munah…….”
“Maksudmu memandikan aku ?”
“Heh, kau kira aku tidak tahu permainanmu dengan Munah selama ini, hah ? Kau mengendap-ngendap meninggalkan ranjang kita dan masuk ke kamar Munah, tidur di ranjangnya. Apa kau kira aku tidak tahu, Wong ?”
“Aku bercanda, Cheng. Begitu kau suruh aku mandi, tiba-tiba kau sebut Maimunah, jadi aku keterusan menyebut namanya.”
“Tetapi soal malam-malam meninggalkan aku kemudian turun ke kamar Munah, bukan bercanda kan ? Tetapi ber….cin….ta ! Sudahlah, aku menutup mata soal itu. Tetapi janganlah terulang lagi. Kalau suatu waktu puteri kita yang memergokinya, akan fatal akibatnya. Kalau kau sayang pada puterimu, hentikan semua permainan itu.”
“Tetapi aku sudah lama tidak melakukan itu lagi.”
“Ya, karena kau lebih senang hidup di antara teman-teman dan musuh-musuhmu di arena judi, jadi kau lupa untuk pulang.”
“Itu berarti, aku dapat meninggalkan perbuatan itu, kan ? Sehingga, menurutku perjudian juga dapat menghindari hal-hal yang kau katakan tadi.”
“Maksudmu, kamu mau mengatakan, boleh tidak berjudi, asal dapat berhubungan lagi dengan Maimunah, begitu maksudmu ?”
“Terbukti, kamu sebenarnya sudah tahu kalau aku berhubungan dengan Maimunah, tetapi kau membiarkannya, karena pada saat itu aku berada terus di rumah. Itu artinya, aku tidak main judi, kan ? Dan tentunya, kau senang kan kalau aku ada terus di rumah.”
“Ya, tidak bisa hitam putih seperti itu. Kalau ini boleh, yang itu tidak. Ya, tidak begitulah.” “Begini sajalah, tadi kalau aku tidak salah dengar, kau sudah setujui perahu motor yang aku gadaikan, bila perlu kita jual saja, iya kan ? Nah, bagaimana, kalau uang dan penjualan perahu motor itu aku pakai lagi untuk modal judiku yang terakhir. Kau setuju ?”
“Aku setuju, tetapi pengakuan dan pernyataannya, di depan anak-anak kita dan tertulis. Kuo Wei juga harus hadir, dan turut juga dia menandatanganinya sebagai saksi.”
“Aku setuju ! Tetapi ada satu permintaanku………….”
“Apa itu ?” potong Nyonya Wong segera ingin tahu.
“Selama aku main judi, atau selama beberapa hari ini, si Hidayat jangan main-main dulu ke sini.”
“Sampai berapa lama ?”
“Ya tergantung, apakah aku dapat hoki atau tidak selama dia tidak main atau jalan dengan puteri kita.”
“Kalau seandainya kamu tidak pulang selama tiga bulan, itu artinya Hidayat tidak boleh main ke sini, atau bermain dengan puteri kita selama tiga bulan pula. Itu permintaan yang aneh, menurutku.”
“Aku kan sudah mengatakannya tadi, bahwa lelaki itu, eh maksudku si Hidayat itu, membawa kesialan pada kartuku. Cheng, kau mau percaya atau tidak, terserah. Kenyataan yang aku alami, huruf-huruf pada kartuku, selalu samar-samar menghilang dan bahkan pernah gelap, tidak ada lagi angkanya.”
“Aku kurang percaya, bagaimana kalau untuk permainan judi terakhir ini, aku ikut menemanimu. Aku akan menggantikan posisi Kuo Wei. Aku hanya ingin membuktikan, kalau kartu di tanganmu bisa hitam atau tidak ada angkanya sama sekali.”
“Waduh, janganlah Cheng. Apa kata teman-temanku nanti.”
“Apa perdulinya kita dengan mereka. Yang mau kita pertaruhkan uang kita sendiri, kenapa orang lain ikut campur soal siapa yang menemanimu.”
“Aku kira, ya tidak enak saja. Kemudian, masalah hitam dan gelap pada kartu, itu hanya aku yang dapat melihatnya. Kalau orang lain, dia akan melihat biasa-biasa saja.”
“Bagaimana dengan Kuo Wei, apa dia juga tidak dapat melihat warna hitam di kartu itu ?”
“Tentu ! Kuo Wei tidak akan melihat perubahan itu. Baik pada kartu biasa, ataupun kartu mahyong.”
“Kalau begitu, bagaimana orang lain mempercayaimu ?”
“Bagaimana dengan cerita dari mana asal nama Tiongkok. Menurut Gum dan Kuo Wei, bermula dari kacau balaunya alam ini, kemudian tiba-tiba melahirkan dua buah tenaga yin dan yang. Setelah beberapa abad, dari kedua tenaga itu muncullah suatu makhluk yang bernama Pan Ku. Kemudian Pan Ku menggunakan palu dan pahat, dia bekerja 18.000 tahun lamanya, membentuk dunia, matahari, bulan, dan bintang-bintang. Apakah kau juga tidak percaya dengan semua itu ?”
“Sudahlah, kau sudah mulai mencampur-adukkan antara dongeng dan cerita. Padahal, aku tahu dari mana mereka mendapatkan dongeng seperti itu.”
“Tentu kau akan mengatakan, bahwa Kuo Wei mendapatkannya dari Guru. Dan Guru, mendapatkannya dari daratan Tiongkok, kan ?”
“Kalau Kuo Wei mengatakan, bahwa Guru yang di Bukit Timah itu mendapatkan dongeng itu dari Tiongkok, aku tidak tahu. Seingatku, ada buku tua yang ditulis sekitar tahun 1949 dan 1950, oleh Nio Joe Lan. Buku itu, berjudul, Tiongkok Sepanjang Abad.”
“Kau sendiri, dari mana mendapatkan buku itu ?”
“Aku rasa, dari mana aku mendapatkan atau membaca buku itu, tidaklah penting. Tetapi yang aku ingat, dalam buku tua itu berisi cerita dan sejarah, dari zaman dongeng, sampai jatuhnya Kerajaan Ming, Kerajaan Manchu, dan terbentuknya Republik Rakyat Tiongkok, yang kemudian lebih populer dengan sebutan Republik Rakyat Cina.”
“Atau, jangan-jangan, kau bukan membacanya, tetapi mendapatkannya dari Guru itu juga. Buktinya, kau tahu kalau Guru itu berada di daerah Bukit Timah, dan kau mengatakan tahu nama Guru itu. Artinya, sebelum aku berkenalan dengan Guru, kau telah mengenalnya terlebih dahulu, iya kan ?”..Bersambung…..