Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di taman Merlion Singapura-(3)
Halaman 10-15
“Nak Jefri, bapak ini sebenarnya orang Indonesia. Kalau tak salah dia tu orang Jawa, bukan begitu Pak,” Bu Salma membuka obrolan malam. Diceritakan begitu, Pak Hasan mengangguk pelan.
“Orang tua Bapak dulunya datang kak Singapura ini masih muda. Singapura, barangkali, barangkali belum seramai sekarang ini. Bahkan dulunya masih bersatu dengan Malaysia. Sehingga menikah dengan orang sini, beranak pinak, satu diantaranya ya Bapak. Tetapi orang tua Bapak sangat tertutup menceritakan masa lalunya,” papar Pak Hasan sedikit trenyuh.
“Yah, bangsa apapun sama. Pada hakekatnya kita berasal dari sumber yang satu, sehingga kita ini sebenarnya semua bersaudara. Tapi, kalau tidak salah di Singapura ini ada kampung Jawa. Ini kan suatu penghormatan tersendiri,” potong Jefri untuk mencairkan kekakuan sejenak. Dia ingin makan malamnya berjalan dengan suasana nyaman.
“Tidak apa-apa Jef, Bapak tu suka sedih kalau cerita masa lalunya. Tetapi kalau dengar lagu keroncong, senanglah dia ini, suka goyang sendiri,” kata Bu Salma mengangkat tangannya sedikit bergoyang.
“Ha…ha…, bisa saja dia Jef. Hei, Zizah, mana pula goreng pisang dan minuman itu,” Pak Hasan sedikit meninggikan suaranya, mengalihkan pembicaraan.
“Sebentar Pak,” terdengar sahutan Azizah dari dapur.
“Cepat sedikitlah Zizah, nanti keburu pulang pula nak Jefri,” Bu Salma mengulangi permintaan suaminya dan terus berdiri menuju dapur.
“Sudah Bu, jangan repot-repotlah,” pinta Jefri pada Bu Salma.
“Tenanglah Jef, Bapak telah katakan acara malam ini pada mereka sejak siang tadi. Dan Bapak sengaja membeli pisang tu untuk acara kita ini,” ujar Pak Hasan.
“Wah, saya jadi malu Pak, seperti tamu besar saja,” tutur Jefri menunduk malu diperlakukan sedemikian hormat oleh keluarga Pak Hasan.
“Ini dia goreng pisang dan kue gaya Azizah,” kata Bu Salma meletakkan piring-piring yang berisi goreng pisang dan kue-kue di atas meja. Tak lama, Azizah muncul membawa minuman dan diletakkannya di atas meja. Dibagikannya satu-satu. Ketika di depan Jefri, Azizah bertanya.
“Abang tu nak teh atau kopi ?”
“Apa sajalah, asal jangan kedua-duanya sekaligus, bisa pingsan Abang,” canda Jefri.
“Tak lah, oleh sebab itu Zizah tanya dulu pada Abang. Terkadang orang tidak semua nak minum kopi. Bukan begitu Mak ?” Zizah minta dukungan ibunya.
“Ya, tapi Abang kau ini tak pula pilih-pilih, apa saja minuman yang kau berikan dia tak pula menolaknya. Tak iya, Jef ?”
“Benar, benar Bu,” jawab Jefri.
“ kata Bapak, kau tu nak jadi pelaut Jef, padahal begitu aku tengok kau, kau tu tak pantas jadi pelaut. Lebih pantas kau tu jadi…..”
“Bintang film Mak, atau TV Star !” potong Azizah tiba-tiba.
“Ya, Mak setuju tu Zizah,” sambung Bu Salma lagi.
“Hei… hei, lupakan merepek kalian tu. Dia ni nak jadi pelaut dan besok tu Dia nak teken kontrak. aku ni telah diamanatkan Mr. Tan nak bawa Dia besok kak kantor,” sanggah Pak Hasan memotong pembicaraan isteri dan puterinya Azizah.
“Berapa lama kontraknya, Jef ?” selidik Bu Salma.
“Saya belum tahu Bu, karena baru besok saya menghadap Mr. Tan. Tetapi biasanya, kontrak itu paling cepat satu tahun, dan saya belum tahu bekerja di kapal apa,” jelas Jefri.
“Kalau tak salah dengar, kau tu nak ditempatkan di kapal Bay Tank. Ya, kapal tanki yang pelayarannya dekat-dekat sini saja,” ungkap Pak Hasan.
“Alhamdulillah. Sekarang kapalnya ada di mana Pak ?” Jefri bersyukur dan penasaran ingin mengetahui keberadaan Bay Tank.
“Sekarang lagi perbaikan di Jurong. Satu dua hari ini sudah dapat berlayar, tetapi Bapak tidak tahu apakah sudah ada yang mengontraknya,” ujar Pak Hasan.
“Selamat ya Jef,” Bu Salma memberikan salamnya pada Jefri. Begitu pula dengan Azizah. Kembali Jefri meremas lembut tangan Azizah yang mukanya sedikit menunduk dan tersenyum manis.
“Terima kasih, terima kasih. Saya tidak akan melupakan jasa Bapak, Ibu, maupun Azizah yang begitu baik pada saya. Kiranya Allah SWT membalas semua kebaikan keluarga ini.
“Amin !” ucap Pak Hasan, Bu Salma, dan Azizah hampir serentak.
Malam kian larut. Jefri beranjak meninggalkan rumah Pak Hasan. Terkesan !
Jefri tidur terlentang, memandang langit-langit kamarnya. Terbayang ketulus-ikhlasan keluarga Pak Hasan menerima kehadirannya. Terbayang pula wajah Azizah, gadis yang beranjak dewasa, lincah,dan anggun.
Saat Jefri meremas tangannya waktu bersalaman, sedikit malu mencuri pandang menatap Jefri. Begitu manisnya, apalagi saat tersenyum. Sulit Jefri memejamkan mata.
Flat tempat Jefri di lantai 6 cukup nyaman dan strategis. Tidak terlalu jauh ke pusat kota. Tetapi mana ada di Singapura yang tidak ramai ? Di seberang, berdiri megah Hotel Merlion. Dari Asun, kepala mess, Jefri baru tahu di lantai 6 ada 3 ruang milik perusahaan untuk para tamu. Di antara penghuni, menurut Asun, ada Martin dari Filipina dan Chen Kian Seng dari Taiwan. Di ruang 601, Jefri tinggal bersama Asun, Ahmad Daud, seorang pemuda Malaysia bertugas sebagai pembantu umum. Ciri khasnya, selalu berpeci, ramah, dan murah senyum. Jefri mengenalnya sepintas, pada berpapasan di pintu, ketika akan masuk pertama kali. Asun pada saat itu sempat mengenalkannya.
Singapura, luas wilayahnya 646 kilometer. Jalan rayanya 3.100 kilometer termasuk 132 kilometer jalan bebas hambatan. Panjang rute totalnya 83 km. rute jalan bawah tanah 10 km., jalan layang 602, km., jalan permukaan 3,8 km., dengan 48 tempat stasiun. Perinciannya, bawah tanah ada 15, layang 32, dan permukaan 1. Kedalaman stasiun 14,7 meter rata-rata dan 21,3 meter maksimumnya. Jumlah rangkaian kereta api 85 set, jumlah kereta api 510 unit, dengan kapasitas 1920 penumpang per set. Kecepatan 45 km./jam dengan rata-rata 80 km./jam maksimum. Yang mengurus itu semua Badan Otorita Angkutan Darat (Land Transport Authority), dibentuk tahun 1995 sesuai dengan sistem transportasi kelas dunia (world class). Di kota yang megapolitan inilah Jefri akan memulai hidup barunya. Ketika membaca agenda yang ada di meja kecil dengan tempat tidurnya, barulah Jefri tahu ketidak seimbangan luas wilayah dengan populasinya. Hal-hal inilah yang dirasakan Jefri ketika berada di Singapura. Lainnya, seakan di tanah air saja, karena tidak merasa kesulitan mengenai bahasa. Warna kulit juga rata-rata banyak sama, sehingga tidak ada yang menganggap Jefri sebagai orang asing di Singapura.
Menjelang fajar, suara gaduh membangunkan Jefri dari tidurnya yang lelap. Dia tidak ingat kapan dia terlelap. Yang jelas, larut malam.. Sepagi ini yang telah sibuk kerja, tentu saja Ahmad. Selesai mandi dan shalat subuh, Jefri menuju ruang tengah. Ternyata Ahmad memang ramah, lincah, dan senang bergaul. Hal itu dirasakan Jefri, pada Ahmad yang menemaninya sarapan.
“Mad, Malaysianya di mana ?”
“Tak jauhlah, saya ini datang dari Johore Bahru,” jawab Ahmad sambil menuangkan kopi ke gelas yang ada di depan Jefri.
“Sudah lama kerja di sini ?”
“Belum Bang, baru satu tahun lah,” ujar Ahmad.
“Tetapi, kata Asun kau tu pintar masak, dan jago pijit. Wah, hebat juga kau ni Mad,” puji Jefri.
“Akh, Bang Jefri bisa saja.,”
“Ini buktinya, lihat. Nasi gorengnya sudah habis, ludes. Kalau tidak enak mana mungkin habis, iya kan ?” Jefri memberi alasannya.
“Tadinya, saya nak siapkan makan malam buat Abang, tetapi kata Asun malam kemarin Abang makan malam di rumah Pak Hasan. Dari pada tidak dimakan, ya saya buat nasi goreng saja,” Ahmad mengingatkan kalau malam kemarin dia menyiapkan makan malam buat Jefri.
“Aduh maaf Mad, saya memang makan malam di rumah Pak Hasan. Saya diundang makan, sekalian dikenalkannya dengan keluarganya. Kemudian cerita panjang lebar sampai jauh malam. Menyenangkan memang Mad,”
“Berarti Abang juga berkenalan dengan Azizah ?” potong Ahmad.
“Tentu Mad,”
“Bagaimana Bang, Abang bicara tak sama dia, Azizah itu gini ya Bang ?” canda Ahmad mengangkat jempolnya memuji kecantikan Azizah.
“Hus, kau ni ada-ada saja Mad, baru juga kemarin aku mengenalnya. aku tak sempat berbicara dengannya. Apalagi kelihatannya dia itu pemalu. Kalau soal cantik, sebenarnya relatif Mad, tetapi…..”
“Ayo, teruskan, teruskan Bang,” desak Ahmad
“Kenapa Mad, kelihatannya kau ni nak tahu banyak soal si Azizah tu. Jangan-jangan kau ni menaruh hati padanya,” Jefri coba menebak
“Tak mungkinlah Bang, aku ni apalah, hanya seorang pelayan,” Ahmad seakan pesimis
“Cinta kan tidak memandang soal status,” Jefri memberi harapan.
“Akh, tak mungkinlah. Kecuali Bang Jefri, aku yakin dia mau sama Abang, pasalnya Abang tu handsome, gagah lah,” kata Ahmad memuji ketampanan Jefri
“Sudah, sudah, berapa dollar ni nasi goreng satu piring, dan kopi satu gelas,” kata Jefri pura-pura merogoh kantong celananya.
“Lima dollar,” ujar Ahmad menunjukkan lima jarinya
“Hutang dulu, boleh nggak ?”
“Tidak ! Harus kontan sekarang, kalau tidak aku tagih ke Azizah nanti,” ancam Ahmad bercanda.
“Apa hubungannya dengan Azizah ?”
“Ya dia kan….”
“Dia kan apa ?”
“Ya, ya, apa ya….”
“Heh, apa-apaan ini, pagi-pagi sudah ribut,” tiba-tiba Asun mengagetkan Jefri dan Ahmad
“Itu si Ahmad, mau ngajak bercanda pagi-pagi,” Jefri menunjuk ke arah Ahmad
“Sudahlah Mad, Jefri itu mau berangkat ke kantor. kau do’akan saja biar dia cepat kerja,” Asun mengingatkan
“Oh ya, Saya berangkat dulu, takut Pak Hasan menunggu terlalu lama nanti di bawah. Okey ya, aku berangkat dulu. Terima kasih Mad, nasi gorengnya the best !” puji Jefri, terus meninggalkan Ahmad dan Asun di ruang makan.
Melihat Jefri datang, Pak Hasan langsung memanggil Azizah.
“Zizah, tolong kau buatkan kopi untuk Jefri,” sahut Pak Hasan.
“Terima kasih, terima kasih Pak. Saya sudah sarapan tadi, Ahmad menyiapkannya,”
Di dalam rumah, Azizah melongkok ke depan bertatapan dengan Jefri.
“Tak payahlah Zizah,” Jefri mencoba berlogat Melayu
“Benarkah Bang ?” Kembali Azizah bertanya.
“Benar, Abang tu sudah sarapan,”
“Sepagi ini, Abang sarapan apa ?”
“Nasi goreng buatan Malaysia,” canda Jefri
“Oh, aku tahu. Pasti si Ahmad tu lah yang membuatnya, tak iya Bang ?”
“Tepat sekali Zizah, seratus nilai buatmu. Memang kau ni pintar menebak dan untuk itu kau layak mendapat hadiah,”
“Hadiahnya apa Bang ?” Azizah penasaran.
“Sudahlah Zizah, Jefri nak berangkat bersama Bapak ke kantor,” potong Pak Hasan meninggalkan Azizah diiringi Jefri menuju ke lift. Sempat-sempatnya Jefri melambaikan tangannya pada Azizah dan Azizah membalasnya, tersenyum lagi.
Dengan kendaraan mini bus, Jefri dan Pak Hasan berangkat menuju ke gedung Robinson, di mana pada lantai 12, Tan Hau Shipping berada. Pada saat tiba, Mt. Tan belum berada di ruangannya. Pak Hasan langsung menghadap Lie Giok Wei, yang biasa dipanggil Lili, sekretaris Mr. Tan. Tak lama Pak Hasan datang, dan memberitahukan pada Jefri bahwa dia disuruh menghadap sekretaris Mr. Tan.
“Jef, kau tu dipanggil Bu Lili,” Pak Hasan memberitahukan agar Jefri menghadap
“Terima kasih Pak,” ujar Jefri langsung ke ruangan Bu Lili.
“Ini diisi dulu Pak Jefri,” kata Lili menyerahkan formulir dan menunjuk ruangan untuk digunakan Jefri mengisi formulir.
“Terima kasih,” balas Jefri sambil mengambil formulir yang diberikan Lili dan menuju ruangan kosong yang ditunjuk Lili.
“Jef, bapak pergi dulu, nak mengantarkan barang ke kapal. Mr. Tan belum datang, tetapi kau tunggu sajalah. Kalau mau keluar, jangan jauh-jauh, nanti kesasar lagi dan tunggu saja sampai Bapak datang, kita pulang sama-sama nanti,” pinta Pak Hasan.
“Baik Pak,” jawab Jefri sedikit menunduk-nundukkan kepalanya memberi hormat.
Di ruangan yang sejuk dan nyaman, Jefri mengisi formulir yang baru saja diberikan Lili padanya. Termasuk formulir kontrak yang harus dibacanya perlahan-lahan, sebelum ditandatanganinya. Ini pertama kali Jefri kerja, dan ini kesempatan yang harus dilaksanakannya. Sehingga ada beberapa kalimat yang kurang difahaminya, karena keterbatasan dalam vocabulary bahasa Inggrisnya, ditandatanganinya saja. Dia percaya, kemurahan pamannya, kebaikan Mr. Tan. Begitu pula Pak Hasan, tidak akan menjebaknya pada kontrak yang merugikannya. Dengan keyakinan itu, Jefri tidak ragu-ragu menandatangani formulir, termasuk surat kontrak kerjanya.
”Sudah Jef ?” Ucap Lili sambil menerima formulir yang diberikan Jefri. Setelah membaca dengan teliti, kemudian Lili menyarankan pada Jefri agar menanti sampai Mr. Tan tiba.
”Eh Jef, barusan ada telepon dari Mr. Tan, katanya dia ada urusan dengan imigrasi, paling juga kemarinya jam 10.00 lah. Terserah Jefri mau keluar dulu, atau menunggu di ruang tamu, silahkan saja,” tambah Lili.
“Okey lah, saya permisi dulu,” ujar Jefri melangkah keluar.
“Jefri melihat jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 09.15. Dia harus menunggu Mr. Tan sekitar 45 menit lagi. Akhirnya Jefri memutuskan menunggu di ruang tamu. Begitu duduk, seorang pelayan menghampirinya dan menawarkan pilihan minuman yang disukai Jefri. Seperti biasanya, Jefri memesan kopi. Dengan udara yang sejuk. Musik yang mengalun mendayu-dayu, kantuk Jefri mulai menerpanya. Harapannya, dengan kopi hangat, kantuknya akan hilang.
Sambil meneguk kopi hangat, Jefri mulai membuka-buka majalah dan koran yang ada di atas meja. Sedang asyik-asyiknya, Lili datang menghampirinya.
“Pak Jefri, Bapak ditunggu Mr. Tan di ruangannya,” ujar Lulu mengagetkannya.
“Lho, Mr. Tan sudah datang ?”
“Sudah, baru saja.”
“Saya tidak melihat Mr. Tan datang tadi,” jawab Jefri keheranan.
“Habis, Pak Jefri menutup muka Pak Jefri dengan koran, jadi tidak kelihatan kalau Mr. Tan datang. Mr. Tan juga kalau tidak saya beritahu, dia tidak akan tahu kalau Pak Jefri datang. Dia mengira tamu biasa yang tidak berkepentingan dengannya. Sudahlah, Mr. Tan sudah menanti Pak Jefri di dalam sana,” jelas Lili sembari menggerak-gerakkan tangannya menunjuk ke arah ruangan Mr. Tan.
“Terima kasih, terima kasih,” kata Jefri sambil melangkah menuju ruangan Mr. Tan
“Chau an,” (selamat pagi) kata Jefri begitu dia memasuki ruang kerja Mr. Tan yang demikian luas, nyaman, dan harum.
“Chau an. Chau an, ha choulah,” Mr. Tan membalas salam Jefri dan mempersilahkan duduk.
“Sie-sie,” ujar Jefri menghaturkan terima kasih.
“Maaf, aku terlalu cepat memanggilmu kemari. Bukan apa-apa, kalau tidak langsung aku urus keberadaanmu, aku takut malah visamu keburu habis,” kata Mr. Tan begitu Jefri duduk menghadapnya.
“Tidak apa-apa, saya datang ke sini kan memang mau kerja,”
“aku tahu, tetapi kapal yang aku siapkan untukmu, belum sepenuhnya selesai. Paling lama satu minggu lagi lah. Tetapi, aku mengkhawatirkan ijin tinggalmu keburu habis, dan pihak imigrasi akan mengusirmu,” Mr. Tan memberikan penjelasan pada Jefri yang kelihatannya belum mengerti soal visa.
Jefri memang belum mengerti soal visa atau ijin kunjungannya. Padahal kalau dia tahu, pihak imigrasi Singapura hanya memberinya waktu dua minggu yang tertera di paspornya. Sebagai orang yang berpengalaman dan bertanggung jawab, Mr. Tan harus buru-buru menerima Jefri, sehingga Jefri akan aman menetap di Singapura. Tentunya atas jaminan perusahaan Tan Hau Shipping.
“Oh ya, mana paspor dan buku kesehatannya ?” Mr. Tan mengingatkan Jefri.
“Ini, Mr. !” Jefri menyerahkan paspor dan buku kesehatan, yang biasa disebut juga buku kuning. Mungkin karena warnanya kuning, buku catatan kesehatan tersebut disebut buku kuning.
“Ya, baiklah, nanti Lili akan membuatkanmu kartu. Tentunya dengan jabatanmu Oilman di kapal Bay Tank. aku yakin dengan latar belakang pendidikanmu, kau akan betah dengan jabatan itu. Nanti aku telepon Kapten Martin, untuk menerimamu, dan mengenalkanmu dengan crew yang lain. Besok aku mintakan Pak Hasan mengantarmu ke pelabuhan Jurong. Pak Hasan juga ada di sana sekarang sedang mengantar beberapa peralatan dan makanan,” jelas Mr. Tan mengenai keberadaan Jefri di perusahaannya.
“Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih, dan saya benar-benar menjaga kepercayaan yang Bapak berikan pada Saya. Terima kasih, Mr. Tan.”
“Ya, selamat bergabung dengan kami, dan selamat bekerja. Oh ya, nanti kau terima sedikit uang dari Lili, takut kalau-kalau kau mau belanja untuk keperluan kerja atau apalah. Kalau mau istirahat ke mess, mau tunggu Pak Hasan, silahkan.”
“Terima kasih, Mr. Tan, saya mau ke Bu Lili saja,” pinta Jefri.
“Ya, ya silahkan.”
Jefri beranjak meninggalkan ruangan Mr. Tan. Dia tidak tahu harus mengucapkan apa pada Mr. Tan yang begitu memberikan perhatian padanya. Jefri tidak dapat membayangkan, bagaimana mungkin orang yang belum kerja sudah diberi uang. Tidak lama lagi, dia akan menerima dollar Singapura. Kalau selama ini Jefri hanya melihat, kini dia akan menerima dollar. Begitu pula gajinya. Dari surat kontrak yang baru saja ditandatanganinya, tentunya gaji bulanannya dalam bentuk dollar. Termasuk hak-hak lain yang akan didapatnya termasuk asuransi jiwa.
Jefri bertambah percaya apa yang dikatakan orang-orang di sekitarnya, tentang kemurahan hati Mr. Tan. Di usianya yang begitu muda, sebagai pewaris tunggal dari orang tuanya yang mengelola perusahaan perkapalan Tan Hau, puluhan tahun lalu dengan rute-rute hampir ke seluruh dunia, Mr. Tan begitu menghayati budaya kerja orang tuanya. Walaupun Mr. Tan sendiri lulusan perguruan tinggi yang terkenal di Inggris, Mr. Tan dalam tindak tanduknya sangat bernuansa Asia. Ini yang dirasakan seluruh jajaran Tan Hau Shipping, termasuk Jefri.
Jefri sendiri belum bertemu dengan orang tua Mr. Tan, tetapi pamannya Mustafa, begitu pula Pak Hasan, sangat mengenalnya. Bahkan mereka mengenal Mr. Tan sebelum menuntut ilmu di Inggris. Hubungan tersebut terpelihara sedemikian lama dan penuh persaudaraan. Sangat beruntung Jefri dikenalkan pamannya pada Mr. Tan yang baru saja memberinya pekerjaan, dan uang saku untuk persiapannya memasuki dunia pelaut. Sampai di depan Lili, Jefri masih penasaran berapa jumlah yang akan diterimanya.
“Jef, ini ditandatangani dulu, dan ini uangnya,” ujar Lili menyerahkan kwitansi dan sejumlah uang dalam amplop.
“Terima kasih,” kata Jefri menyerahkan kembali kwitansi yang baru saja ditandatanganinya dan mengambil amplop, dan dimasukkannya ke saku bajunya, tanpa melihat atau menghitungnya. Yang pasti, di kwitansi tadi, dia melihat angka 400 dollar Singapura.
“Pak Jefri mau menunggu Pak Hasan, kan ?” Lili mengingatkan Jefri.
“Tentu Bu, tetapi saya mau ke bawah dulu. Permisi, Bu,” Jefri pamit meninggalkan Lili.
Sampai di lift, ditekannya angka 1. Ketika akan membuka amplop yang baru saja diterimanya, tiba-tiba lift terhenti pada lantai berikutnya, sehingga dimasukkannya kembali amplop ke saku bajunya. Masuk dua wanita dan satu pria. Pada lantai berikutnya masuk lagi tiga orang wanita. Jefri terlihat kaku berada di tengah-tengah wanita yang rata-rata mengenakan rok yang cukup tinggi. Aneka harum parfum mengusik hidungnya. Angka 1 di dinding lift menyala. Jefri siap-siap keluar meninggalkan gedung Robinson. Jefri mengikuti dari belakang tiga wanita yang bersamanya di lift tadi, dengan harapan ketiga wanita tadi menuju restoran. Ternyata dugaan Jefri tidak meleset. Ketiga wanita itu memasuki restoran. Tanpa canggung, Jefri melihat kalau-kalau ada meja yang kosong. Ternyata tidak ada yang kosong. Jefri melihat ada seorang yang usianya tidak jauh dengannya di salah satu sudut. Jefri memberanikan diri untuk bergabung bersamanya.
“May I sit here ?” Sapa Jefri.
“Oh, please. Please sit down.”
“Where do you come from ?” Jefri mencoba menanyakan orang yang baru dikenalnya.
“Indonesia.” Sang pemuda menyebutkan negara asalnya.
“Oh, Indonesia. Indonesianya di mana ?”
“Di Pematang Siantar. Huh, tadi aku kira kau orang Filipina atau…..”
“Thailand, Malaysia, atau malah orang sini, iya kan ?”
“Oh ya, kenalkan namaku Khairul Siregar. Tapi panggil saja aku Regar, iya kan ?”
“Kalau aku Jefri Darmawan, orang Melayu campuranlah. Tapi, sejak kecil sampai tamat STM, di Siantar juga.”
“Lho, Siantarnya di mana ?”
“Di Kampung Melayu, ya Jalan Dr. Wahidin. Kalau kau ?” Tanya Jefri
“Aku di Timbanggalung, ya Kartini Ujung lah.”
“Wah, aku kan lulusan SMP 2.”
“Oh, kalau aku lulusan Taman Siswa,” balas Regar, yang kemudian tersentak, lupa menawarkan Jefri minum.
”Hei, terlalu sibuk kita cerita kampung halaman, sampai aku lupa menawarkan kau mau minum atau mau makan. Ke sana saja kau pesan, nanti kita ngobrol lagi lah,” Regar mengingatkan Jefri.
Jefri pun beranjak meninggalkan Regar memesan minumannya. Pada saat melewati gadis-gadis yang satu lift bersamanya tadi, Jefri menganggukkan kepalanya sambil mengucapkan “Hello”. Hampir serentak, ketiganya menjawab “Hello juga” pada Jefri.
“Aku minum di sana, tuh !” kata Jefri menunjuk ke arah Regar.
“Oh di situ,” ujar salah seorang, tetapi kedua temannya menoleh juga ke arah yang ditunjuk Jefri. Pembicaraan tidak dilanjutkan Jefri, karena dia ingin segera menemui teman barunya, Regar.
“Heh, ngomong-ngomong, kau sudah lama di sini ?” Tanya Jefri pada Regar sambil meneguk kopinya.
…bersambung