Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(34)
Halaman 166-170
Kabar gembira ini akan segera dikabarkan pada Ang Mei. Sampai-sampai Chung Pha yang baru datang pun, mulanya tidak percaya kalau papa, mama, dan adiknya Lulu saling berpelukan.
“Ada peristiwa apa, sehingga aku dapat melihat pemandangan yang mengharukan ini. Ada apa ini, Ma ?”
“Kau tidak perlu bertanya-tanya, tetapi kemarilah,” ajak Nyonya Wong.
“Benar Nak, ke sinilah, papa ingin minta maaf padamu. Kau pun tentunya mau memaafkan papa, kan ?” Pinta Wong Chung Hwa kepada putera satu-satunya yang mengikuti jejaknya di bidang bisnis. Chung Pha tertegun sejenak. Dia tidak biasa terhadap sesuatu yang dianggapnya basa-basi, apalagi bermanja-manjaan.
Terhadap mamanya saja dia jarang berpelukan, kecuali adiknya Lulu. Kini papanya juga ingin dipeluk ? Dia masih ragu untuk melangkah. Tetapi mamanya menganggukkan kepalanya, dan memintanya untuk datang sehingga hatinya luluh juga. Akhirnya Chung Pha mendekat. Nyonya Wong melepaskan pelukan suaminya, untuk memberi kesempatan agar Wong Chung Hwa suaminya dapat merangkul Chung Pha.
“Maafkan papa, ya Chung ? Papa telah begitu jauh darimu selama ini,” ujar Wong memeluk puteranya.
“Chung Pha juga minta maaf, Pa” kata Chung Pha terbata-bata tidak dapat meneruskan kata-katanya. Dipeluknya papanya erat-erat, seakan tidak akan dilepasnya. “Papa tidak akan meninggalkan kami lagi, kan Pa ?” Pintanya.
“Tidak, papa berjanji pada kalian, papa tidak akan pergi-pergi lagi. Papa akan selalu berkumpul bersama kalian semuanya. Percayalah.”
“Papamu benar, dia tidak akan meninggalkan kalian lagi. Kami sudah tua-tua, sudah saatnya kami terus bersama kalian, iya kan Wong ?” Tutur Nyonya Wong terus memeluk Chung Pha.
“Apa yang dikatakan mamamu benar. Sejak saat ini, kami akan selalu bersama-sama,” Wong Chung Hwa meyakinkan Wong Chung Pha.
Maimunah tidak ingin ketinggalan dia ingin menyatu dengan keluarga yang selama ini telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga besar Wong Chung Hwa. Tetapi dia ragu, apakah dirinya juga layak mendapat pelukan dari Wong Chung Hwa ? Apa kata Nyonya Wong, Lulu dan Chung Pha nantinya. Akhirnya Maimunah memberanikan diri untuk mendekat ke arah Nyonya Wong.
“Nyonya, apakah saya siapkan makanan sekarang ?” bisiknya.
“Oh ya, siapkanlah Munah. Kita perlu merayakan peristiwa ini, tetapi aku tidak dapat memutuskannya sekarang karena sekarang ada tuan besar di sini. Bagaimana tuan besar, apakah kita makan sekarang ?” Nyonya Wong coba bercanda pada suaminya.
“Kalau untuk merayakan ini, nanti kita akan buat acara khusus di rumah ini. Semua anak-anak, cucu-cucu, harus berkumpul semuanya. Kita akan buat pesta untuk keluarga besar Wong Chung Hwa. Nah sekarang aku ingin mengajak kalian makan di Wah Lok Restoran, spesial makanan Kanton.”
“Aku setuju, Pa. Restoran yang ada di Carlton Hotel, kan ?” potong Chung Pha.
“Hebat, koko Chung tahu restoran Kanton segala. Hebat sekali, memangnya restoran itu di mana, sih ?” Tanya Lulu penasaran.
“Restoran itu tidak jauh dari sini, karena letaknya dekat persimpangan di ujung jalan ini, ya itu di Bras Basah Road, benar kan Pa ?”
“Benar, apa yang dikatakan kokomu. Papa sengaja yang dekat-dekat saja, biar kita bisa jalan kaki ke sananya. Setuju, kan Cheng ?”
“Kalau papa kalian yang sudah memutuskan, mama setuju-setuju saja. Jadi Munah, kau siapkan saja makanan itu untuk sarapan besok pagi, masih bisa kan ?”
“Bisa, bisa Nyonya,” ujar Maimunah. Sebelum Maimunah pergi, Wong Chung Hwa menyapanya.
“Munah, maafkan aku ya ? Apa kau tidak ikut sekalian bersama kami ?” Kata Wong Chung Hwa menjulurkan tangannya pada Maimunah dan Maimunah menyambutnya.
“Tidak, tidak Tuan, saya lebih baik di rumah saja,” ujar Maimunah sedikit gugup dan langsung melepaskan tangannya dari genggaman Wong Chung Hwa. Munah berharap, inilah sentuhan terakhir tangan Wong Chung Hwa terhadap dirinya.
“Kalau Munah tidak ikut, bagaimana kalau aku mengajak Ang Mei ? Aku sudah berjanji dengannya, kalau dibolehkan kerja, aku akan menelponnya,” potong Lulu karena dia ingat janjinya pada Ang Mei.
“Tidak hanya Ang Mei, kau boleh mengundang kedua orang tuanya, Lu. Katakan, kalau papa mengundang mereka. Suruh saja langsung ke restoran Wah Lok,” jawab Wong Chung Hwa.
“Benar, Pa ?” Tanya Lulu kurang yakin atas jawaban papanya.
“Benar lah, papa kan sudah lama juga tidak bertemu dengan keluarga Ong Wen Piaw. Kalau mamamu, malah pernah pergi ke Bali dengan isterinya, kan ?”
“Kalau begitu, aku akan menelepon Ang Mei, sekarang,” ujar Lulu langsung menuju meja telepon di depan kamarnya.
“Bagaimana Lu, kau sudah mengatakan semuanya, kan ? Apa kata Ang Mei ?” Tanya Nyonya Wong.
“Sebentar Ma, Ang Mei akan mengatakannya dulu pada kedua orang tuanya. Nanti dia akan menelepon kemari, jadi kita tunggu saja. Kalau Ang Mei sih, sangat senang, Ma.” Mereka akhirnya terdiam sejenak, menunggu, kalau-kalau ada telepon dari Ang Mei. Tanpa ada yang memberi komando, secara serentak mereka memandang ke arah meja telepon. Ketika telepon berdering, mereka sama-sama terkaget. Lulu langsung berlari mengangkat telepon. Betapa kecewanya Lulu, karena ternyata telepon dari She Kuo Wei.
“Bagaimana Lu ? Apa mereka bersedia ?” Tanya Wong Chung Hwa.
“Pa, ini dari paman Kuo Wei. Katanya, dia mau bicara sama Papa,” jawab Lulu.
“Ya, katakan saja padanya, kalau papa dan mama mengundangnya makan, suruh saja langsung ke sana, ya !”
“Iya, Pa,” kata Lulu mengulang permintaan papanya yang mengundang paman Kuo Wei. Kini giliran Lulu yang kaget, karena begitu diletakkannya telepon, langsung berdering. Kelihatan wajahnya ceria dan gembira. Dia mengulang-ulang kata-katanya.
“Benar, benar, ya Mei ? Kami tunggu, lho,” kata Lulu.
Di salah satu sudut restoran Wah Lok, salah satu restoran khas Kanton di Singapura, berkumpulah keluarga Wong Chung Hwa, Ong Wen Piaw dan She Kuo Wei. Dua keluarga besar yang semula tidak saling mengenal, disatu-padukan oleh keakraban puteri mereka Lulu dan Ang Mei. Berbahagialah !
Hari-hari Lulu dan Ang Mei penuh dengan berbagai macam kegiatan. Dari pagi sampai sore kegiatan mereka sangat padat sekali. Rukiyah terus mendampingi mereka. Akhirnya panitia mempercayai mereka bertiga menjadi satu team work. Rukiyah sendiri senang mendapat dua teman wanita yang lincah dan gesit. Kian hari hubungan mereka bertiga kian akrab. Sejak awal kerja, Ang Mei pun tidak pernah lagi menggunakan mobilnya kecuali kalau ada acara-acara malam atau sampai larut malam pada jadwal kegiatan mereka. Mereka lebih senang menggunakan kendaraan umum menuju obyek-obyek wisata yang ditugaskan pada mereka. Begitu pula dengan penunjang kepariwisataan lainnya, seperti hotel dan restoran. Selain membagikan formulir, tugas mereka adalah membagikan booklet, leaflet, maupun majalah yang sengaja diterbitkan panitia penyelenggara Tourism awards. Dari satu tempat keramaian ke tempat keramaian yang ada, di seluruh sudut kota Singapura. Termasuk diantaranya Kantor Pos Besar Singapura. Suatu tempat yang selalu saja ramai pengunjungnya. Baik warga Singapura maupun bagi wisatawan asing. Secanggih apapun teknologi komunikasi dan informasi, pengiriman surat khususnya pos card, tetap digemari orang. Mengunjungi kantor pos merupakan kesan tersendiri. Begitu pula yang terjadi pada Lulu. Kunjungannya kali ini membuka tirai baru bagi kehidupan pribadinya. Gedung tua peninggalan masa lalu tersebut, bukan saja asset sejarah bagi bangsa Singapura, tetapi juga bagi Lulu. Hidayat bagi Lulu tidak sekedar sebaris nama yang pernah terukir indah di hatinya, tetapi sekaligus sebaris nama yang juga melukai hatinya yang dalam. Nama yang sebenarnya hampir dapat dilupakannya, tetapi tiba-tiba muncul sosok seseorang menggugah hatinya. Orang itu bernama Jefri Darmawan.
Sosok itu mirip, mirip sekali dengan Hidayat, ya Hi da yat. Lulu menarik napasnya dalam-dalam. Dicobanya menekan perasaan dan menguatkan tekadnya untuk tidak kaku, gemetar apalagi sampai bertindak gegabah. Dari sisa kekuatan yang ada, akhirnya Lulu memberanikan diri untuk mendekatinya. Sayangnya sosok itu tidak pernah menoleh ke belakang. Kini sosok itu melipatkan kedua tangan ke belakang. Terlihat jelas di tangannya ada amplop surat. Baru saja Lulu menunduk, ada wanita tua yang tergesa-gesa mendorongnya dari belakang. Lulu terjerembab menabrak orang-orang di depannya. Lulu langsung jongkok mengambil satu persatu barangnya yang berserakan di lantai. Ternyata, sosok itu pun melakukan hal yang sama. Mereka berjongkok berbarengan. di saat itulah mereka saling menatap dan saling memberi senyum. Lulu tidak sanggup menatapnya berlama-lama. Kalau dia mau jujur, dia harus mengakui, bahwa pria yang kini menatapnya benar-benar sangat mirip Hidayat.
“Sorry, I am Sorry,” ujar Lulu dengan suara bergetar dan menyerahkan surat yang baru saja diambilnya. Pada saat menyerahkan, Lulu sempat membaca di sampul surat ada huruf Bandung. Lulu tergetar mengeja huruf itu. Huruf yang mengingatkan pada sebuah kota, di mana kabar terakhir Hidayat berada. Untuk tidak penasaran, Lulu memberanikan diri melihat dari dekat, dan membacanya. Ternyata memang benar ! Pria yang kini berada di depannya, akan mengirim surat ke Bandung.
“Ban…dung,” desah Lulu, kemudian menyerahkan surat yang dipegangnya.
“Anda sepertinya begitu kaget membaca nama kota Bandung. Apakah Anda pernah ke Bandung atau…
“Benar ! Saya benar-benar kaget. Tetapi, saya belum pernah ke sana,” jawab Lulu agak gugup, karena dia tidak menyangka kalau desahnya terdengar.
“Sebentar, kalau saya boleh menebak, kelihatannya ada sesuatu hal yang berhubungan dengan kota Bandung. Anda keberatan menceritakannya ?”
“Akh, Anda bisa saja. A..apakah Anda berasal dari kota Bandung ?”
“Oh, tidak ! Tetapi saya baru saja datang dari kota Bandung. Saya tidak lama di sana, tetapi saya punya banyak teman di sana. Kalau seandainya Anda memerlukan bantuan, saya jamin, mereka siap membantu. Believe Me !”
“Are you sure ? Benarkah ?” potong Lulu gembira.
“Sure ! Tentu, tentu saya akan bantu. Oh ya kenalkan nama saya Jefri Darmawan. Anda boleh memanggil Jefri atau Jef,” ujar Jefri mengulurkan tangannya, dan langsung berdiri.
“Lulu ! Lengkapnya, Liu Ching Shia,” sambut Lulu membiarkan Jefri menarik tangannya. Sehingga mereka berdiri saling berhadapan.
Di tengah keramaian suasana kantor pos, mereka tidak peduli. Mereka saling menatap tanpa mengeluarkan kata-kata. Terlepas dari kemiripan sang pria dengan Hidayat, yang pasti, pria yang kini sedang menatapnya, telah memberikan kesejukan hati. Perasaan yang sama, ternyata juga dialami Jefri. Kalbunya bergetar. Tatapan mata itu benar-benar menusuk ke dalam kalbunya. Desy sendiri sampai hari terakhir di Bandung, tidak berhasil menggetarkan kalbunya. Dia hanya menganggapnya adik, ya hanya seorang adik, bukan kekasih. “Kekasih ? Kenapa tiba-tiba aku harus memikirkan kekasih. Tidak mungkin lagikah merajut cinta bersama Azizah ?”
“Hei !” sentak Lulu menggoyang tangan Jefri.
“Eh, sampai di mana tadi. Oh ya, kapan lagi kita bisa bertemu ?”
“Hm, bagaimana kalau besok saja. Kita bertemu di Taman Merlion, pada jam 5 sore. Oke ya aku tinggal dulu, soalnya……”
Baru saja Lulu melangkah, tiba-tiba di hadapannya sudah ada Ang Mei dan Rukiyah.
“Oh iya, Jef, ini kenalkan teman-temanku,” ujar Lulu menoleh ke arah Jefri.
“Ang Mei Lan,” kata Ang Mei menggenggam erat tangan Jefri dengan kedua tangannya.
“Kalau saya, Rukiyah,” sambut Rukiyah ringan.
“Oke, kami pergi dulu. Jangan lupa besok, tu..tu..tu, di sana,” kata Lulu menunjuk ke seberang, ke Taman Merlion.
“Ya, aku pasti ke sana. Ku menunggumu di Taman Merlion Singapura Liu Ching Shia,” desah Jefri melepas kepergian Lulu dan kedua temannya.***Bersambung…. Besok Bagian ketiga dimulai..