Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(35)
Halaman 171-175
BAGIAN KETIGA
Menuju Hong Kong
Baru saja Kapten Martin masuk kamar mandi, tiba-tiba telepon berdering. Ternyata telepon dari Lili yang memberitahukan Asun telah menuju ke mess ingin menjemputnya. Lili sendiri langsung ke Bandara Changi. Mereka berjanji untuk bertemu di gate Silk Air. Setibanya Asun di mess, dia menemui Jefri, dan teman-temannya. Bertemu dengan Asun yang lemah gemulai, pastilah ramai.
“Halo anak-anak muda, apa kalian sudah siap untuk berangkat ?”
“Alamak, ke mana aja Sun, kok kelihatannya tambah lincah,” canda Jefri.
“Ke mana aja ? Hus, kamu yang ke mana aja handsome. Baru kenalan, sudah mau berangkat lagi.” Ujar Asun mendekat ke sisi Jefri.
“Jef, kau peluk dululah si Asun itu. Kalian kan mau berpisah, wah mana tahaan ?” Kata Udin merangkul, dan mencoba mencium pipi Asun. Tetapi Asun menampiknya.
“Kekasihnya bukan aku Bang, tetapi si Ahmad,” elak Jefri menunjuk ke arah Ahmad.
“Tak mungkin, pasalnya aku ini tidak handsome. Beda dengan Jefri. Tidak tahu kalau Bang Udin, Asun pasti mau, pasalnya Bang Udin strong” sanggah Ahmad menunjuk ke Udin.
“Forget it, Oke ? Kalian siap-siap turun, aku mau ke Kapten Martin dan nanti kita bertemu di bawah,” kata Asun meninggalkan Jefri dan teman-temannya.
Sesampainya di Bandara Changi, Asun, Kapten Martin, Jefri, dan teman-temannya langsung menemui Lili di gate Silk Air. Lili kemudian menyerahkan satu persatu paspor, tiket Singapore Airlines, boarding pass, dan amplop yang telah diketik rapi nama mereka satu persatu. Perusahaan telah mempersiapkannya sedemikian rupa.
“Kus, sampai di Bandara Kaitak nanti, tolong kau angkat kertas ini tinggi-tinggi. Aku harap, begitu ada yang melihat kertas ini, mereka akan menemui kalian. Mr. Tan sudah mengabarkan keberangkatan kalian,” pinta Lili pada Kusnadi, yang tubuhnya paling tinggi di antara rombongan yang berangkat ke Hong Kong.
“Siap, Boss ! Cuma begini kan ?” Ujar Kusnadi menerima kertas yang bertuliskan aksara Cina. Kemudian Kusnadi membentangkan dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Good, good job !” kata Lili seraya mengacungkan jempolnya.
Selain rombongan dari Tan Hau Shipping, sore itu banyak juga penumpang lain yang akan berangkat menuju Hong Kong. Pemeriksaan paspor, boarding pass dan barang-barang bawaan, berjalan dengan lancar. Satu persatu para penumpang memasuki koridor menuju pesawat. Berada di dalam pesawat Singapore Airlines jenis Boeing SQ 747, benar-benar menakjubkan. Kalau selama ini Jefri hanya melihatnya di iklan, baik itu di media cetak maupun televisi tentang kelebihan Singapore Airlines atau Silk Air, kini dia telah membuktikannya sendiri. Ini pengalaman pertama baginya naik pesawat terbang milik perusahaan asing. Pramugari-pramugari nan cantik, ramah, anggun ditambah seragam biru tua bermotif batik yang mereka kenakan sungguh serasi. Satu persatu penumpang mereka sambut dengan senyum, dan ramah. Termasuk rombongan Jefri dan teman-temannya walau hanya di kelas ekonomi.
Sebagaimana yang telah disiapkan pihak perusahaan pada mereka. Pada boarding pass, mereka ditempatkan sejajar di Zone C. Tidak berapa lama mereka duduk, pramugari datang menawarkan berbagai jenis minuman, termasuk yang berkadar alkohol. Karena penuh ramah, sampai pesawat mengudara pun, teman-teman Jefri terus saja minum dengan jenis-jenis minuman yang berbeda. Kapten Martin sendiri tenang menikmati hiburan yang tersedia di masing-masing kursi. Kalau pun ada film yang disuguhkan tetap saja teman-teman asyik sendiri, penuh canda dan tawa. Walaupun tidak sampai mengusik penumpang lainnya. Jefri sendiri pun, tidak sempat mengutak-atik fasilitas yang ada karena dia dilibatkan dalam senda gurau teman-temannya.
Tiba di Bandara Kaitak, suasananya sangat ramai. Pemeriksaan imigrasi dan kepabeanan berlangsung sangat cepat, karena banyaknya penumpang. Pada saat bersamaan, pesawat-pesawat penerbangan lain pun memasuki Bandara Kaitak, Hong Kong. Setelah mengambil tas dan kopornya masing-masing kini giliran Kusnadi mengeluarkan kertas, dan membentangnya. Sampai sepuluh menit berlangsung, tidak seorang pun datang menjemput. Tetapi begitu Kusnadi memutar ke arah lain, tiba-tiba dua orang datang menghampirinya. Mereka mengajak Kusnadi berdialog dengan bahasa Mandarin. Kusnadi mencoba berbahasa Inggris, ternyata keduanya tidak mengerti.
“Jef, tolong Jef, ini urusan lu ini,” teriak Kusnadi pada Jefri yang juga melihat-lihat kalau ada orang yang mencari mereka.
“Benar, benar, kami dari Tan Hau Shipping Singapura,” jawab Jefri dengan bahasa Mandarin, pada kedua orang yang menemui mereka.
Tidak ada kata sambutan, tidak ada salam perkenalan, keduanya langsung mengajak ke luar Bandara, kemudian menuju ke tempat parkir. Ternyata di sana telah siap dua mobil sedan Volvo berwarna hitam.
“Katakan Jef, kita mau dibawa ke mana ? Dan katakan kalau aku ini kapten,” pinta Kapten Martin pada Jefri.
Akhirnya, Jefri menanyakan ke mana mereka mau dibawa. Jawabannya, bahwa tugas mereka hanya menjemput ke Bandara dan langsung mengantarkan ke kapal.
“Kau bilanglah Jef, ini kan hampir malam, masak langsung kerja. Wah, kacau kita kalau begini. Memangnya kita ini, apa Jef ?” Ketus Udin bernada tinggi.
Jefri berusaha membujuk, kalau bisa jangan langsung ke kapal, karena sudah hampir malam. Tetapi, mereka bersikukuh, kalau tugas mereka hanya mengantar sampai ke kapal. Setelah di kapal mau pergi ke mana, nanti urusannya di kapal, di sana ada Chan Hong Kee. Dengan perasaan jengkel termasuk Kapten Martin, akhirnya semua menuruti kedua penjemput tersebut, dan satu-satu masuk ke dalam mobil.
“Bagaimana perusahaan mengirim orang-orang sekaku ini,” gerutu Kapten Martin seraya menutup mobil agak keras.
Suasana Hongkong dengan sejuta lampu yang gemerlapan dari lampu-lampu kapal, perahu-perahu sampai ke gedung-gedung pencakar langit yang bertengger di antara perbukitan sebenarnya suatu pemandangan yang sangat indah. Tetapi tidak seindah hati Jefri dan teman-temannya. Kapten Martin yang selama ini terkenal baik dan pendiam pun sampai mengungkapkan kemarahannya. Jefri telah berusaha membujuk agar diberi hiburan sebelum dikirim ke kapal. Sampai di kawasan Tsim Sha Tsui, langsung diajak jalan ke pelabuhan. Di sana perahu motor telah menunggu. Sehingga begitu sampai, langsung ada yang menyambut. Barang-barang yang dibantu angkut oleh beberapa orang yang sibuk dengan bahasa Kanton, yang tidak dimengerti Jefri. Seperti dua orang penjemput, orang yang membantu di perahu motor pun sama kakunya. Tidak ada keramahan sedikitpun dalam menyambut kehadiran mereka yang baru tiba di Hong Kong.
Ketika meninggalkan dermaga Tsim Sha Tsui, Jefri melihat ke gedung-gedung yang menjulang tinggi di antara perbukitan. Di balik gunung yang menjulang itu tentunya Tiongkok, yang biasa juga menyebutnya negeri tirai bambu. Negeri yang populasi penduduknya paling banyak di dunia. Negeri yang penuh dengan dongeng, penuh dengan sejarah yang salah satunya yang cukup terkenal sampai saat ini adalah sejarah Perang Candu. Perang yang kelak mengharumkan nama Hong Kong, Kowloon dan Macao, kota bagai pelabuhan dan kota perjudian. Kian jauh kapal motor meninggalkan Tsim Sha Tsui, kian jauh pula Jefri menerawang ke masa silam, masa menurut cerita yang masih diingatnya. Suatu masa di mana candu dapat memporak-porandakan suatu tatanan pemerintahan. Bermula dari perang candu pertama (1839-1843), di mana pemerintahan Tiongkok yang saat di bawah Kaisar Tao Kuang. Pada masanya lah dia dapat menyaksikan bagaimana persilisihan dengan Inggris. Atau orang-orang East India Company Inggris yang berdagang di Tiongkok. Salah satu jenis dagangan masa itu adalah candu. Padahal candu sendiri sebenarnya bukanlah tanaman asli Tiongkok. Banyak sinshe menggunakan candu untuk diramu sebagai obat. Mereka menyebutnya “fu shau kao” yang juga berarti “obat kebahagian dan panjang umur”. Bagi orang-orang tertentu, terutama kelas menengah dan atas, atau para pejabat saat itu, candu selain memberi kenikmatan, juga memberikan keuntungan besar. Tidak heran sejak 1789, Kaisar Yung Cheng, yang mencium perbuatan itu, mengeluarkan amanatnya untuk melarang penghisapan candu dan memperdagangkannya. Tetapi karena menguntungkan, larangan tersebut tidak dipatuhi. Terutama di pelabuhan Kanton, perdagangan candu berjalan dengan lancar. Tentunya cara perdagangan gelap dan penyelundupan. Dalam cacatan sejarah, kurun waktu 1816 saja, di Tiongkok telah diisap candu sebanyak 3210 peti dengan harga 3.657.000 dollar Spanyol. Empat belas tahun kemudian (1830), naik menjadi 18.760 peti, dengan harga 12.900.031 dollar Spanyol. Lin Tse Hsu, Gubernur Tiongkok Tengah, ketika ditugaskan ke Kanton, melakukan operasi besar-besaran terhadap tata niaga candu yang demikian pesatnya. Di bawah kepemimpinannya, operasi saat itu berhasil menyita 20.291 peti, dengan isi 2 juta kati candu. Lin Tse Hsu memerintahkan untuk memusnahkan candu hasil operasinya dengan jalan membakarnya, mengaduknya dengan air laut, kemudian membuangnya ke tengah laut. Ternyata tindakan Lin ini memicu keributan tidak saja sesama rakyat terutama yang terlibat dalam persekongkolan penyelundupan tetapi menggoyahkan juga perdagangan Inggris di kawasan tersebut.
Akhirnya Inggris mengirimkan suatu armada yang terdiri dari 15 buah kapal perang dengan anak buah kira-kira 15.000 orang. Juni 1840 armada Inggris sampai di muara sungai Kanton. Maka terjadilah peperangan yang kemudian terkenal dengan sebutan Perang Candu Pertama. Kedigjayaan armada Inggris tidak saja menaklukan Kanton, tetapi juga Amoy, Ningpo dan Woosung. Untuk tidak menimbulkan korban rakyatnya yang demikian banyak dan meluas serta merugikan pemerintah Ch’ing yang saat itu memerintah bersama Kaisar Tao Kuang, terpaksa menerima persetujuan pertama dengan pasukan Inggris. Persetujuan tersebut akhirnya terkenal dengan sebutan “Perjanjian Nanking”, penandatanganan berlangsung pada tanggal 29 Agustus 1842 di atas kapal perang Inggris “Cornwallis”. Dari tujuh butir persetujuan yang ditetapkan pada saat itu, nomor satunya adalah Pulau Hongkong diserahkan kepada Inggris. Selepas persetujuan yang telah menurunkan kewibawaan Tiongkok ini, terutama di mata internasional, perdagangan candu kian marak. Peluang ini dimanfaatkan Amerika Serikat, Portugis, Perancis, Belgia dan Swedia. Kesan mereka kalau Inggris bisa, kenapa mereka tidak ? Maka, dua tahun kemudian (1844), pemerintah Amerika Serikat mengutus Caleb Cusing, seorang komisioner, yang juga duta dengan kekuasaan penuh untuk bernegosiasi dengan Tiongkok. Caleb Causing berhasil menjalin persetujuan dengan Tiongkok. Perancis selain menyangkut dunia perdagangan, mereka meminta agar agama Katolik diperbolehkan untuk dikembangkan di Tiongkok. Kalau Portugis yang diingat Jefri tentunya keberhasilan mereka menduduki Macao.
“Sejarah, sejarah ! Sungguh mengagumkan,” desah Jefri kemudian tersentak, ketika perahu motor dari berlawanan arah merapat menimbulkan goncangan.
Kini, pada abad yang berbeda, Jefri telah berada di Hongkong yang dijadikan koloni Inggris. Pelabuhannya telah menjelma menjadi salah satu pelabuhan laut di kawasan Asia yang paling banyak dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia. Tanpa terasa waktu demikian cepatnya berlalu, seiring akan berlalunya masa kolonial Inggris terhadap Hong Kong. Tidak lama lagi Hongkong oleh Inggris akan dikembalikan ke Cina. Walaupun belum terjadi, nuansanya telah dapat dirasakan. Tidak saja bagi penduduk Hongkong yang selama ini memiliki paspor Inggris atau pendatang dari daratan Cina, bahkan bagi mereka-mereka yang selama ini menetap di Hong Kong. Baik yang legal ataupun pendatang haram. Indonesia sendiri menempatkan Konsulatnya di Hong Kong. Pengembalian tersebut telah menjadi topik pembicaraan para politisi dan pengamat ekonomi di seluruh dunia. Ada yang gelisah ada pula yang gembira apabila Hongkong kembali ke pangkuan Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC). Terutama bagi para penyelundup yang selama ini sangat menikmati kegiatan mereka, menjadi sangat was-was. Apalagi beberapa pengamat ekonomi dan politik dalam analisanya di berbagai media, menggambarkan bagaimana kelak Hongkong di bawah pemerintahan RRC.
Tidak heran sebelum terjadinya peralihan dari Inggris ke pemerintah RRC, kelompok ini memanfaatkan sebaik mungkin. Kelompok yang memiliki jaringan internasional. Sebagaimana digambarkan Robert Daley, dalam novelnya “Year Of The Dragon”, yang telah dilayar-perakkan. walaupun ceritanya berkisar di Chinatown, New York. Berkisar tentang seluk beluk mafia Cina. Bagaimana dengan perusahaan yang baru menerima Jefri dan teman-temannya bekerja, apakah masuk dalam kelompok yang was-was atau yang gembira ? Jefri sendiri belum tahu ! Sama belum tahunya mereka di kapal mana mereka akan dipekerjakan. Demikian banyak kapal-kapal yang berlabuh telah mereka lewati. Bahkan mereka melintasi kapal selama yang sedang berada di permukaan laut. Walaupun menjelang malam dengan sorotan lampu yang demikian terang, terlihat jelas bendera Amerika Serikat. Barangkali itu salah satu kapal selama armada laut Amerika Serikat yang muncul ke permukaan, bagaimana di dasar laut ? Atau di kawasan laut Cina Selatan lainnya ?
Perahu motor mulai mengurangi kecepatannya dan mencoba merapat pada kapal berwarna hitam yang ukurannya tidak begitu jauh tonasenya dengan kapal Bay tank, yang baru mereka tinggalkan di kawasan Jurong Singapura. Di lambung kapal terbaca jelas susunan huruf berwarna putih, Ever Blue. Suatu nama yang cukup puitis dan memikat. Mesin motor terhenti. Bersamaan dengan itu tangga kapal turun perlahan secara otomatis. Demikian hebatnya hubungan komunikasi mereka, sehingga tanpa curiga begitu perahu motor merapat tangga langsung diturunkan.
Satu persatu kami menaiki tangga kapal yang terlihat masih sangat bersih. Di ujung tangga kami di sambut dengan sangat ramah, sopan, dan hangat. Mereka menyalami kami satu persatu dan mengucapkan selamat datang. Mereka kemudian mengajak kami ke ruang makan yang suasananya cukup nyaman. Di meja panjang telah tersedia berbagai macam makanan dan minuman. Kami mengambil posisi duduk kami masing-masing. Di depan terdapat tiga kursi putar. Dua di antara mereka mengambil posisi duduk di sana.
“Selamat Datang di Ever Blue. Nama saya Peter Chang Lung, saya Mualim satu di kapal ini. Tetapi, sebelum berbicara jauh, kalau saya boleh tahu, siapakah di antara anda yang bernama Kapten Martin, saya persilahkan untuk duduk di depan bersama kami di sini,” pinta Peter dengan bahasa Inggris yang cukup baik, tetapi sangat kental aksen Cinanya, dan tangan kanannya menepuk-nepuk kursi yang ada di sebelahnya.
“Saya sendiri,” jawab Kapten Martin langsung berdiri dan melangkah menuju ke kursi yang bersebelahan dengan Peter Cheng Lung.
“Terima Kasih Kapten. Mulai besok, andalah yang menahkodai kapal Ever Blue ini. Malam ini sebagai malam perkenalan, kita makan-makan, minum-minum sepuasnya. Saya sudah siapkan film-film yang membuat anda pasti senang melihatnya. Tetapi anda harus menahan emosi anda terlebih dahulu, karena di antara anda tadi ada yang ingin hiburan, ya sementara kita hiburan di kapal ini saja. Saya harap saudara-saudara tidak kecewa dulu.”
“Atas nama teman-teman, saya minta maaf, kalau belum apa-apa kami telah minta yang macam-macam pada perusahaan anda. Tetapi….
“Sudahlah Kap, saya memakluminya. Lebih baik kita saling kenal dulu, tahu job kita masing-masing, kemudian menurut jadwal kita besok pagi sudah muat barang dan malamnya kita menuju Filipina. Kalau perjalanan kita sukses, lima atau enam hari kita sudah berada di Hong Kong. Bagaimana kalian bersedia ?”
“Tentu, tentu kami bersedia. Kedatangan kami kemari kan ingin kerja, sehingga kapan pun dimulainya, kami sudah siap.” Tegas Kapten Martin.
“Hanya barangkali kami perlu penjelasan lebih lanjut tentang kerja kami, apakah tugasnya seperti biasa, atau hal-hal lain yang perlu kami ketahui, sebelum kami menandatangani kontrak kami. Bukan begitu, Kap ?” Tanya Udin pada Kapten Martin.***Bersambung….