Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(41)
Halaman 201-205
“Sekali lagi, kalau Bang Rahmat datang, katakan bahwa teman Abang ada yang bernama Komaruddin atau Udin, sangat mengenal Bang Rahmat. Coba katakan padanya, Zizah.”
“Nanti akan Zizah coba katakan pada Bang Rahmat, Bang.”
“Zizah, sudah dulu, ya ? Maaf sekali lagi, abang baru bisa kontak sekarang. Soalnya dulu begitu sampai, abang tidak boleh pulang lagi dan terus kapal berangkat ke Filipina. Salam buat Bapak, Ibu, dan adik Fuad, ya ? Abang sayangkan Zizah.”
“Baiklah Bang. Zizah senang Abang baik-baik saja dan Zizah percaya pada Bang. Zizah juga sayangkan Abang. Jangan lupa kontak Zizah lagi, ya Bang ? Selamat malam Bang dan jangan lupa mimpikan Zizah.”
“Selamat malam Zizah,” ujar Jefri langsung menutup telepon. Jefri terkejut juga mendengar penuturan kata-kata terakhir dari Azizah. Jangan lupa memimpikannya ? Apakah dia merasakan hal sama, tentang mimpi ? Jangan-jangan dia juga memimpikan aku.” Hati kita memang sudah menyatu Zizah. Kau merasakan apa yang aku rasakan,” desah Jefri kembali merebahkan dirinya ke atas ranjang. Tidak hanya wajah Azizah yang muncul tetapi terbayang juga wajah Pak Hasan yang kini terkulai lemah di pembaringan menahan derita.
Sebelum pelayan ke kamar, Jefri telah duluan turun ke lobby. Dia mengambil posisi di depan. Dipesannya secangkir kopi dan beberapa potong roti bakar. Baru saja selesai menikmati sepotong roti, terlihat Udin dengan teman wanitanya terburu-buru berbicara dengan supir taksi. Ternyata Udin hanya mengantarkan sampai ke taksi, kemudian kembali lagi menuju ke pintu lift. Tetapi tanpa sengaja, dia melihat ke arah Jefri. Melihat itu, Jefri pun mengangkat tangannya, seraya memanggil Udin.
“Aduh tuan besar lagi sarapan ni. Nyonya-nya ke mana, apa sudah pulang ?” Tanya Udin, kemudian duduk berhadapan dengan Jefri.
“Sudah, dia sudah pulang kemarin malam.”
“Pulang kemarin malam ? Memangnya dia tidak tidur bersamamu di atas, Jef ?”
“Tidak. Dari tempat yang hingar-bingar, Irene mengantarkan aku ke sini, setelah itu, aku memintanya untuk pulang.”
“Berarti, kau tidak….”
“Tidak Din, ada hal penting yang lebih dari sekedar hal itu. Dia akan mengenalkan kakeknya padaku, dan aku mengundang mereka ke sini.”
“Kau ini ada-ada saja Jef. Padahal, kau kan tahu Irene dan teman-temannya sengaja dibooking Bos, karena mereka itu sangat spesial dan bukan dicopot di pinggir jalan. Yah, kau tahu sendiri lah penampilan mereka, berbeda dari biasanya, kan ?”
“Ya, aku tahu itu. Tetapi kewajiban menemani kita, buka berarti harus begitu, kan ? Sudahlah, kita kan masih lama di Hongkong ini, buat apa buru-buru.”
“Jangan-jangan, kau akan menjadikannya kekasih, Jef.”
“Ya, tidak sejauh itulah. Tetapi paling tidak, aku punya saudara baru di kota ini.”
“Saudara, Jef ?”
“Ya, saudara lah. Apa menurutmu aku terlalu lugu atau bodoh, Din ?”
“Tidak, aku tidak menuduhmu demikian. Tetapi aku ini sudah karatan sebagai pelaut dan aku baru menemukan orang seperti kau, Jef. Semua teman-teman kita masih terlelap indah di atas sana. Di atas peraduan mereka masing-masing.”
“Termasuk Jafar?”
“Ha…,ha…,ha…, kau ini benar-benar polos, Jef. Kalau aku katakan semuanya, itu artinya termasuk lah sahabatmu itu. Kalau tidak percaya, aku akan bangunkan dia dan pasti dia akan turun dengan pasangannya, dan aku akan perintahkan dia menghadap kau, Jef. Bagaimana kau setuju ?” Kata Udin berdiri langsung bendiri.
“Jangan, jangan lakukan itu, Din. Aku percaya padamu,” Jefri coba memegang tangan Udin.
“Oke lah Jef, aku mau ke atas dulu. Selamat bertemu dengan si dia dan kakeknya.”
“Tolong Din, jangan bangunkan Jafar, ya ?”
“Tenang saja. Aku benar-benar mau istirahat kok Jef,” jawab Udin langsung melangkah meninggalkan Jefri seorang diri.
Pada saat Jefri sedang asyik membaca majalah, tiba-tiba dia dikejutkan sapaan lembut. Jefri kenal betul dengan suara itu.
“Chau an ?” Ujar Irene.
“Chau an, chau an,” jawab Jefri membalas ucapan selamat pagi dari Irene.
“Jef, kenalkan ini kakekku,” kata Irene memegang bahu seorang tua yang terlihat sangat bugar dan sehat.
“Selamat pagi Kek, silahkan duduk. Kenalkan nama saya Jefri,” ucap Jefri seraya mengulurkan tangannya.
“Selamat pagi. Namaku Tjoa Hong Beng. Kau boleh memanggilku, Kakek Hong Beng, atau cukup Kakek Hong,” kata sang kakek menyambut tangan Jefri.
Mereka saling bersalaman. Kemudian Kakek Hong menarik kursi, dan duduk saling berhadapan dengan Jefri. Irene menarik kursi dan duduk berdampingan dengan kakeknya.
“Irene, bagaimana kalau kita ngobrol sambil minum. Kau tidak keberatan untuk memanggil pelayan, kan ?” pinta Jefri menunjuk ke arah Irene.
“Siap Bos,” jawab Irene langsung berdiri, melangkah menuju ke petugas hotel yang sedang jaga.
“Kakek Hong, saya dengar dari Irene, kalau Kakek pernah tinggal di Indonesia, ya. Kalau boleh tahu, Indonesianya di mana dan apakah Kakek masih bisa berbahasa Indonesia ?”
“Benar. Saya dulu tinggalnya di Bandung,” jawab Kakek Hong dengan logat Indonesia yang masih fasih, hanya sedikit agak kaku.
“Oh, di Bandung. Wah kota yang menyenangkan,” ujar Jefri sekenanya.
“Jefri berasal dari Bandung ?”
“Tidak, tidak Kek, saya dari Sumatra Utara. Bahkan saya belum pernah berkunjung ke Bandung. Hanya kata orang-orang, Bandung itu indah dan udaranya sejuk.
“Medan, ya. Hm, saudara kakek, yang dari Medan juga ada yang tergusur ke daratan.”
“Tepatnya bukan di kota Medan, tetapi yah tidak begitu jauh lah”
“Wah, lu Medan lang ehiau kong Hokkian, lah.”
“Ya ehiau tampuk-tampuk lah” jawab Jefri, bahwa dirinya dapat berbahasa Hokkian sedikit-sedikit.
“Sesekali, kalau ada kesempatan bertemu dengan orang Indonesia, saya ingin sekali berbincang-bincang. Dengan begitu lepas rasa rindunya.”
“Bukankah di sini ada konsulat kita ?”
“Ada memang, tetapi terlalu kaku. Kakek takut ada buntutnya lah. Kakek sendiri di kota ini baru setengah resmi. Belum berani tampil bebas ke permukaan. Kakek adalah salah seorang dari sekian ribu pelarian di daratan Cina.”
“Pelarian Kek ?”
“Ya, pelarian. Kakek adalah salah satu dari sekian ratus ribu orang-orang yang dipaksa untuk meninggalkan Indonesia pada permulaan tahun 1960. Yah sejak pemerintahan Sukarno mengeluarkan Perpu Nomor 10 tahun 1959.”
“Oh ya, saya pernah dengar cerita itu Kek, dari Ayah saya.”
“Begitulah Jef. Pada saat itu, sebenarnya pihak Cina sendiri kurang senang pemulangan kami yang mendadak, dengan jumlah yang sangat besar.”
“Tetapi kenapa Pemerintah Cina tidak protes ke Bung Karno ?”
“Tidak, karena pada saat itu mereka sama-sama anti Barat, jadi tidak mungkin bermusuhan.”
“Terus, bagaimana ceritanya sampai Kakek berada di Kowloon ini ?”
“Karena tidak tahan menderita, Jef. Terutama pada saat pecahnya Revolusi Kebudayaan. Saat itu, tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan daratan. Ada melalui laut, ataupun darat, dengan tekad antara hidup dan mati. Tidak saja kaum buruh, tetapi kaum intelektual pun berlari bersama kami.”
“Diantaranya Liang Heng, kan ?”
“Dari mana kau tahu itu, Jef ?”
“Saya pernah membaca bukunya, Kek. Judulnya, Reformasi Tanpa Keterbukaan, dengan sub judul, Cina Sesudah Revolusi Kebudayaan. Liang Heng menulis bersama isterinya Judith Shapiro.”
“Itu kisah nyata Jef. Mata dunia terbuka setelah membaca tulisan mereka. Dan itu baru sebagian dari mereka yang bisa mencurahkan kepiluan dalam wujud buku. Bagaimana dengan lainnya, termasuk Kakek ?”
“Sekarang kan Kakek dapat menumpahkannya pada saya, dan saya siap menjadi pendengar yang baik, Kek.”
“Terima kasih, terima kasih, Jef. Tetapi, apakah kau tidak berpikir kenapa tiba-tiba aku percaya padamu, Jef ?”
“Saya tidak tahu, Kek. Yang jelas, saya punya perhatian pada bidang-bidang sejarah, sastra dan kebudayaan. Kalau saya diberi umur panjang, suatu waktu kelak, saya ingin menjadi seorang penulis, Kek.”
“Cerita cucu saya ini yang meyakinkan saya, kalau kau itu orang yang tepat untuk aku percayai, Jef. Aku bangga, kalau kau mau menjadi penulis. Termasuk cerita dan harta kami yang ada di Bandung, perlu kau tulis, Jef” ujar Kakek Hong memegang tangan Irene yang baru datang bersama seorang pelayan hotel.
Sejenak Jefri memesan minuman kembali dan menawarkan minuman pada Irene dan kakeknya. Irene bergabung ikut mendengarkan cerita kakeknya.
“Sudah sampai di mana Jef, cerita Kakekku ini ?” kata Irene memegang bahu kakeknya.
“Wah, sudah jauh. Dari pengusiran Zaman Bung Karno, Revolusi Kebudayaan dan sampai ke kota ini dan soal hartanya yang ada di Bandung.”
“Harta di Bandung, Kek ?” Tanya Irene.
“Benar ! Maaf kalau aku belum menceritakan hal ini padamu tetapi Papa dan Mamamu sudah. Karena itu warisan Papamu. Rumah dan tanah kita cukup luas di Bandung. Kakek bangga, kalau orang kepercayaan Kakek dapat mengamankannya dengan baik, bahkan kini, menurut ceritanya, dia menjadi salah seorang pengusaha terkenal di Bandung.”
“Kalau pengusaha, kenapa dia tidak menemui Kakek?” desak Irene.
“Atau, barangkali Kakek yang ke Bandung,” tambah Jefri.
“Di situ masalahnya, yang selama ini Kakek pikirkan. Di usia senja ini, Kakek tidak memiliki identitas yang dapat Kakek gunakan untuk mengurus paspor dan lain-lain.
Tetapi, dengan menemukan alamatnya yang sekarang saja, dan berkomunikasi dengan Sumarna, kakek sudah senang.”
“Bagaimana dia sampai menjadi pengusaha Kek, bukankah Kakek katakan, kalau dia tadinya hanya orang kepercayaan ?” Tanya Jefri.
“Benar, dulunya memang demikian. Tetapi kau kan tahu Jef, setelah tiga tahun kepergian kami, Bandung rusuh dan terjadi tindak rasial. Dua tahun sesudah itu, meletuslah apa yang kita kenal Peristiwa 30 September. Lagi-lagi terjadi pembantaian dan kau tahu sendiri Jef, negara kita saling bermusuhan, dengan berbagai tuduhan. Sangat menyedihkan, Jef.”
“Kemudian, bagaimana dengan orang kepercayaan Kakek tadi ?”
“Dia dan orang tua menyelamatkan rumah dan tanah-tanah Kakek. Pada saat kota Bandung berkembang, tanah-tanah Kakek yang tadinya berupa ladang dan sawah, akan dikembangkan menjadi perumahan dan pertokoan.”
“Tanah dan sawah kakek dijual tanpa sepengetahuan Kakek ?” Tanya Irene.
“Oh, tidak, tidak. Pada saat tanah dan sawah itu akan dijual, kami sudah dapat berhubungan. Dan itu berkat seorang pelaut yang bernama Antoni, dan orang tuanya tinggal di Bandung.”
“Kakek menerima uang dari hasil penjualan sawah dan tanah Kakek tersebut ?”
“Tentu, tentu Jef. Kakek bekerja sama dengan Bank BNI yang ada di Hong Kong. Salah satu hasilnya, sekarang kami tidak lagi menjadi penghuni perahu motor lagi. Oleh Oon Sumarna, uang hasil penjualan sawah dan ladang dijadikannya modal usaha.”
“Kakek diberitahu berapa jumlah uang yang di peroleh dari hasil penjualan sawah dan tanah tersebut ?”
“Berapapun yang dikatakannya, Kakek harus percaya. Kakek sudah sangat merindukan hidup di Bandung. Mungkinkah itu, Jef ?”
“Kenapa tidak ? Saya baca di majalah ataupun surat kabar, tidak lama lagi Hongkong akan dikembalikan ke Cina. Bukankah itu peluang bagi orang seperti Kakek ? Dengan perubahan itu, tentunya dapat dimanfaatkan,” kata Jefri.
“Hal itu sedang diurus dan orang yang mengurusnya adalah Bos kalian. Dialah nanti yang akan membantu. Pada saat itulah pihak mereka meminta Irene bekerja di sana dan …”
“Sudahlah Kek, hal lama tidak usah diungkit kembali. Yang jelas, Kakek akan mempercayai Jefri untuk mengurus segala sesuatu yang belum tuntas di Bandung nanti. Sebelum itu, nanti kita kontak Pak Oon, agar dapat berdialog dengan Jefri,” potong Irene, kemudian mengalihkan pembicaraan ke soal Pak Oon Sumarna.
“Ide yang bagus juga itu Kek, apa tidak sebaiknya kita manfaatkan telepon hotel ini untuk menghubungi Pak Oon, Kek ? apakah Kakek ingat nomor teleponnya, agar saya hubungi sekarang.”
“Kakek tidak ingat nomornya. Tadi berangkatnya agak terburu-buru, buku catatannya tertinggal, jadi lain kali saja, ya Jef.”
“Wah, sayang sekali. Kalau besok, saya tidak bisa, karena besok giliran saya jaga di kapal. Paling juga, lusa kita dapat bertemu kembali. Saya tidak tahu apakah masih di hotel ini atau di mana. Tetapi nanti saya akan menghubungi Irene.”
“Tenang sajalah. Jefri masih lama di Hong kong, iya kan Jef ?”
“Benar, Kek. Saya telah menandatangani kontrak dengan Bos selama satu tahun. Sebelum satu tahun, kami tidak boleh keluar. Kecuali ada perubahan dalam perusahaan. Tetapi, dari tadi kita bercerita terus. Bagaimana, kalau Kakek memilih di mana kita makan siang ini ?”
“Kalau Kakek sih langganannya di King Restoran, yang berada di Nathan Road, Jef !”
“Tjoa Nio, jangan buat susah Jefri. Seharusnya, kita yang menjamunya bukan dia yang mentraktir kita.”
“Tidak, tidak apa-apa Kek. Saya senang bertemu dengan Kakek, dan siapa tadi Kek namanya ?” Kata Jefri menunjuk ke arah Irene. Padahal, dia masih ingat nama asli Irene.
“Jangan, jangan diberitahu, Kek,” sanggah Irene, memegang keras tangan kakeknya.
“Tetapi aku boleh tahu kan. Kita kan sekarang sudah saudara, jadi tidak ada rahasia lagi di antara kita. Bukan begitu, Kek ?”
“Namanya Irene, sebenarnya memiliki sejarah yang tersendiri bagi keluarga besar kami, Jef. Pada awal-awal kehidupan kami di kota ini, kami sangat prihatin. Kami hidup dari satu perahu motor, ke perahu motor lainnya. Orang-orang menyebut kami, dengan istilah the house boat. Karena keluarga kami dengan ribuan keluarga lainnya, memang hidup di atas perahu motor.”
“Sekarang juga, kehidupan seperti itu masih banyak kan, Kek ? tetapi hubungannya sama Irene tadi, ceritanya bagaimana Kek,” ujar Jefri ingin tahu lebih jauh.
“Ceritanya, ada seorang wanita yang berasal dari Inggris sedang mengadakan penelitian terhadap kehidupan manusia perahu motor. Pada saat wanita itu berada di perahu kami, cucu Kakek ini lahir.”
“Dan wanita itu bernama Irene, bukankah begitu Kek ?”
“Tepat, tepat sekali Jef. Wanita itu tidak keberatan namanya diabadikan untuk nama cucu Kakek yang manis ini. Bahkan dia memberikan hadiah Kalung dan sampai kini pun masih sering berhubungan dengannya. Di samping tentunya kebudayaan kami dalam mempertahankan marga Tjoa. Sehingga pada surat identitasnya, kami tetap mencantumkan, Irene.”
“Sungguh luar biasa. Apakah wanita itu punya keluarga dan apa pekerjaannya ?”
“Dia seorang dosen, yang cukup terkenal di Universitasnya. Dia sangat sayang pada cucu kakek ini. Pada saat dia meminta kami mengunjunginya ke London, permasalahan yang tadi menjadi penghalang.”***Bersambung….