Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(46)

“Kalau begitu tidak ada masalah Jef. Kapan saja kau ingin berangkat, aku akan mengatur semuanya. Pokoknya kau tinggal datang ke Jakarta, Sumarna akan menjemputmu dan mengurusmu untuk tinggal di Bandung.

“Aku harus mengatakan apa untuk semua ini, Kek. Aku bangga dan bersyukur dapat berkenalan denganmu.”

“Tidak kau tidak perlu pikirkan itu Jef. Aku sebenarnya merasakan hal yang sama. Kau telah kuanggap sebagai cucuku juga, kau telah menjadi keluarga besar kami, Jef. Keluarga Besar Tjoa Hong Beng. Irene juga telah menganggapmu sebagai kokonya sendiri. Dia sangat sayang padamu, Jef.”

“Terima kasih, terima kasih Kek,” ujar Jefri meraih tangan Kakek Hong Beng dan bertubi-tubi menciuminya.

“Kalau ada umur, aku juga ingin berkunjung ke Bandung. Tetapi kau tahu sendiri Jef, bagaimana statusku di Hongkong ini. Aku berharap, setelah Inggris hengkang dari sini, ada perubahan yang membuatku memiliki jati diri.”

“Kakek harus bersabar, karena peristiwa itu tidak akan lama lagi. Dengan pengaruh Ketua Lim, aku yakin kakek akan dapat mengunjungi kota-kota di dunia ini. Termasuk Bandung tentunya.”

“Aku berharap demikian Jef. Setelah Sumarna maju, kau juga harus maju Jef. Kalau kita maju, uang banyak, segalanya mudah diatur Jef,” Kakek Hong menepuk-nepuk bahu Jefri.

“Mudah-mudahan Kek.”

“Di lingkungan CYC, tidak mudah berbicara dengan orang lain. Apakah itu orang tua, saudara, apalagi orang asing. Tidak mudah Jef. Tidak saja keluarga, seperti cucu Kakek, Irene. Tetapi begitu juga dengan keluarga teman-teman Irene. Pokoknya orang-orang yang bekerja di kelompok CYC, harus berhati-hati.”

“Kenapa harus demikian, Kek ?”

“Kakek juga tidak mengerti. Tetapi demikianlah peraturannya, dan kami semua mematuhinya. Irene memperingati kami, kalau ingin selamat, memang itulah jalan yang terbaik. Kami mematuhinya, karena banyak pengalaman terjadi pada keluarga lain, teman-temannya Irene.”

“Demikian tertutupnya ?”

“Sangat, sangat tertutup. Tidak ada hari yang tidak terpantau bagi kelompok CYC. Seakan-akan di setiap sudut kota, setiap jengkal ada saja kamera yang merekamnya.”

“Tetapi bagaimana dengan saya ?”

“Inilah yang namanya keajaiban, Jef. Selama ini kami berhubungan denganmu, kami tidak pernah sekali pun mendapat teguran. Sehingga kami berkesimpulan, berhubungan denganmu, aman-aman saja.”

“Padahal, apalah keistimewaan saya ini, Kek.”

“Bagimu memang tidak istimewa, Jef. Tetapi bagi CYC atau Ketua Lim, kau itu istimewa. Dan Kakek yakin, teman-temanmu tidak mendapatkan kepercayaan ini. Tetapi setelah beberapa kali pertemuan kita, ditambah cerita Irene, aku kira CYC tidak salah memberimu keistimewaan Jef.”

“Akh Kakek bisa saja. Aku tidak punya keahlian apa-apa Kek. Pendidikanku juga pas-pasan dan kerjaku juga biasa-biasa.”

“Bukan, bukan itu yang mereka lihat Jef. Tetapi aku dengar dari Irene, kau adalah orang kepercayaan perusahaan kapal di Singapura. Bahkan yang kudengar, kau sebenarnya dikirim ke Hongkong ini, bukan untuk bekerja, tetapi hanya mengantarkan teman-temanmu.”

“Irene dan Kakek tahu dari mana cerita ini semua ?”

“Di situlah ketulusanmu itu Jef. Orang lain percaya orang lain membuatmu istimewa tanpa kau sadari. Kalau Ketua Lim saja bisa percaya padamu, Jef, kenapa aku yang tua ini tidak percaya ?”

“Padahal saya kerja lurus-lurus saja Kek. Saya tidak pernah mengharapkan ini semua. Apalagi kepercayaan ! Sungguh suatu karunia Illahi dan aku bersyukur pada-Nya.”

“Kepatuhan ini pula lah Jef yang aku taati, sehingga berulangkali Sumarna ingin berkunjung ke Hongkong ini aku larang. Aku tidak ingin rencanaku gagal, hanya karena keteledoranku sendiri.”

“Benar Kek, lebih baik kakek sedikit bersabar, tetapi baik ke depannya.”

“Itulah Jef. Kesabaran yang telah berlangsung puluhan tahun.”

“Negeri Cina lebih lama lagi Kek. Hongkong menjadi bagiannya kembali, setelah menunggu ratusan tahun. Kini tinggal di pelupuk mata, tinggal menghitung hari, Hongkong kembali ke ibu pertiwinya, Cina. Dan Cina akan membuka dirinya ke seantero dunia, salah satunya tentu dari Hongkong ini, Kek.”

“Wah, wah kau hebat juga Jef.”

“Lho, siapa dulu dong Kakeknya, kalau bukan Kakek Tjoa Hong Beng !”

“Akh, kau ini bisa saja Jef. Tetapi kau jangan artikan Tjoa dengan hal-hal negatif Jef,” pinta Kakek Hong.

“Ha, ha, mana Tjoa yang negatif Kek. Lambang kesehatan saja ular Kek, jadi aku kira, nama Kakek memang berkaitan dengan penolong. Menolong Pak Sumarna, juga menolong saya.”

“Barangkali orang tua kami dulu mengharapkan seperti apa kata pepatah, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.”

“Di daerah kami ada pepatah yang berkaitan dengan ular Kek. Marbisuk ma ho songon ulok, alai marroha mo ho sangon darapati. Artinya, berusahalah seperti lincahnya ular, tetapi berhati bagaikan burung merpati.”

“Oh ya Jef, Kakek dengar kau akan ke bank bersama Irene. Kakek bangga kau bisa menyimpan uang untuk persiapan masa depanmu. Baguslah Jef, Kakek akan mendukung dan membantumu, dan itu sudah kami bicarakan dengan Irene.”

“Akh tidak banyak Kek. Aku hanya takut tidak punya hasil dari perjuangan di Hongkong ini. Itu saja Kek.”

Pagi-pagi sekali saat sarapan pagi Jefri dikejutkan dengan ketukan pintu kamarnya. Jefri coba mengintai dari lubang kaca di pintu. Ternyata Irene.

“Maaf kalau aku mengganggumu sepagi ini Jef,” sapa Irene langsung menuju ke dalam kamar.

“Akh tidak, tidak apa-apa. Aku hanya kaget saja, sepagi ini sudah didatangi wanita cantik yang enerjik. Maaf, apa aku perlu pesankan kau minuman?”

“Tidak usah Jef. Kau selesaikan saja sarapanmu. Biar aku menonton TV,” ujar Irene mengambil remote dan memilih channel berbahasa Kanton.

Dari hotel, Irene dan Jefri naik taksi menelusuri Nathan Road, terus menuju ke kawasan Tsim Sha Tsui. Taksi berhenti di dermaga Jordan Road, kemudian jalan menuju ke antrian kapal penyebrangan, menuju Hong Kong. Demikian banyaknya kapal penyebrangan antara Kowloon-Hong Kong. Tetapi setiap kapal penyebrangan, ada jalurnya masing-masing, sehingga tidak ada yang bertabrakan. Termasuk ada jalur khusus pengangkutan kendaraan. Salah satunya jalur Wan Chai. Kapal penyeberangannya juga bermacam-macam modelnya. Dengan nama-nama, HK Ferry Pier, Morning Star, Man On, North Point, Twinkling Star. Tiba di dermaga Wan Chai. Berhadapan langsung dengan tempat kreasi kolam renang, Wan Chai Sport Ground, dan tidak jauh dari Convention & Exhibition Center. Dari sana mereka langsung naik taksi menuju ke daerah Leighton. Di daerah ini sebenarnya ada Konsulat Jenderal Republik Indonesia. Hanya saat itu, mereka bukan melapor, sehingga mereka tidak singgah di sana.

“Menurutku ada baiknya kau membuka rekeningmu di bank BNI saja Jef. Pak Sumarna pun kalau mengirim uang ke sini, menggunakan fasilitas yang sama.”

“Aku juga berpikir begitu. Bukankah aku tidak lama lagi juga kan berada di Bandung ?”

“Benar juga Jef. Tetapi bank apapun sebenarnya tidak ada masalah, termasuk Hongkong Bank. Tetapi sudahlah yang penting selamatkan dulu uangmu dan aku memerlukan nomor rekeningmu.”

“Nomor rekeningku ?”

“Tentu Jef, tentu. Aku bahkan sangat penting untuk mencatatnya.”

“Sepenting itukah ? Apa aku boleh tahu untuk apa itu kau lakukan.”

“Sudahlah Jef, nanti kau akan tahu sendiri kenapa hal itu penting bagiku.”

Setelah urusan membuka rekening selesai, Irene mengajak Jefri untuk istirahat makan siang di restoran yang tidak begitu jauh dari konsulat. Paling tidak, itulah makanan yang sesuai dengan lidah Jefri, karena tersedia makanan khas Indonesia. Dapat saja Irene mengajak Jefri ke kawasan Aberdeen, tempat pusat pemancingan ikan. Kita dapat memancing, langsung memasaknya di sana, yaitu restoran terapung. Kawasan Aberdeen memang jauh dari Leighton berada di Selat Lamma Timur, yang berhadapan dengan pulau kecil Lamma. Tetapi Irene tahu kalau Jefri pelaut, sehingga tidak mungkin Jefri tertarik menuju ke sana.

“Aku takut mau mengajakmu ke kawasan Aberdeen Jef, karena masih berkaitan dengan laut. Padahal, makan di sana itu enak Jef. Tetapi sudahlah, sebaiknya kita jalan-jalan ke Fung Ping Shan Museum sajalah, aku harap kau tertarik ke sana,” ajak Irene menarik tangan Jefri.

“Apakah jauh dari sini ?”

“Jauh Jef, jauh sekali. Sekarang kita berada di kawasan Causeway Bay atau Tung Lo Wan. Sementara museum yang akan kita tujuan itu berada di kawasan Banham Road, dan masih berada di lingkungan Universitas Hong Kong, daerah Sheung Wan. Aku sengaja mencari tempat yang jauh Jef, sehingga kau puas berkeliling dari ujung ke ujung Hongkong ini sebelum kau meninggalkannya.”

“Aku sangat berterima kasih atas semua ini Irene. Aku harus mengucapkan apa lagi selain kata-kata. Tetapi percayalah aku tidak akan pernah melupakan hal ini seumur hidupku.” Ujar Jefri mengikuti Irene masuk ke dalam taksi yang telah dipesan Irene.

Apa yang dikatakan Irene jauh, ternyata memang jauh. Jefri heran kenapa Irene tidak menggunakan kendaraan perusahaan saja. Padahal kalau dia mau, pastilah itu dapat dilakukannya. Jefri sebenarnya tidak tertarik berwisata di Hongkong atau Kowloon, karena wisata di mana-mana hampir sama. Hanya Hongkong memang memiliki daya tarik para wisatawan yang datang ke sana. Seperti juga kota-kota lain di perut bumi ini, masalah akomodasi tidak perlu khawatir. Istilah, dari kelas losmen, sampai bintang lima atau tujuh barangkali. Salah satunya Gold Coast Hotel. Begitu juga dengan belanja, terutama pakaian. Walaupun Hongkong tercatat sebagai salah satu pusat mode di Asia, Jefri lebih senang berbelanja di Kowloon, khususnya di daerah Temple Street. Terutama di malam hari. Tempat yang satu ini, bagi orang-orang Indonesia, sering juga disebut “Pasar Senggol”. Pada kenyataannya di tempat ini kalau malam hari sangat padat pengunjungnya. Tidak heran kalau tempat ini disebut pasar senggol. Semuanya ada di sini. Dari toko-toko, restoran dan pedagang kaki lima berbaur dengan kesibukannya masing-masing. Yang terkesan bagi Jefri, ada wanita pedagang ular rebus. Pembeli dapat memilih ularnya, langsung memotong-motong, langsung dimasukkan ke belanga, dengan sedikit ramuan. Biasanya pembeli langsung memakannya di sana, di keramaian orang yang berlalu lalang.    **Bersambung ….. Besok ke Bagian empat