Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(47)
Halaman 231-235
BAGIAN KEEMPAT
Meninggalkan Ever Blue
Setahun sudah Jefri bekerja di kapal Ever Blue. Itu berarti, masa kontraknya telah berakhir. Hanya tiga orang yang tidak memperpanjang masa kontraknya. Mereka adalah Kapten Martin, Jefri dan Jafar. Jefri sendiri, rencananya akan mengunjungi kota Bandung. Salah satu kota yang sangat ingin dikunjunginya. Ditambah, dia ingin memenuhi permintaan Kakek Tjoa Hong Beng, untuk menguruskan harta bendanya yang ada di kota Bandung. Kapten Martin rencananya selain ingin istirahat, dia ingin mempersiapkan resepsi pernikahan puteranya Berney Marquesto. Sementara Jafar, sebagaimana keinginannya selama ini, dia akan melanjutkan pendidikan di Akademi Pelayaran. Hanya dia belum menentukan, apakah dia akan menetap di Semarang atau di Surabaya.
Pihak perusahaan CYC sengaja mengadakan acara perpisahan untuk melepas Kapten Martin, Jefri dan Jafar. Selama setahun bernaung di bawah bendera CYC, ini kedua kalinya Jefri dan teman-temannya melihat kehadiran Ketua Lim.
“Saya menghargai keputusan yang diambil saudara Martin, Jefri dan Jafar. Kerja kalian semuanya baik. Untuk itu kapan pun kalian ingin bergabung kembali ke CYC, pintu kantor kami selalu terbuka. Perusahaan telah mencatat nama baik saudara-saudara sekalian. Kalau pun nanti nuansa Hongkong ini berubah, perusahaan tidak akan merubah keputusan saya ini,” tegas Ketua Lim pada saat menyebut nama Martin, Jefri dan Jafar sangat jelas sekali. Bagi Jefri itu kebanggaan tersendiri, karena Ketua Lim sangat dihormati dan disegani oleh berbagai kalangan di Hong Kong.
Martin yang mewakili, dalam kesempatan yang sama, menyampaikan sambutannya. Setelah memberi hormat pada Ketua Lim dan para pejabat CYC, Martin menatap hadirin dengan penuh percaya diri dan tenang.
“Di dalam malam yang indah ini, dengan segala kerendahan hati, saya atas nama teman-teman mengucapkan terima kasih pada jajaran CYC, terutama Ketua Lim. Pada jajaran perwira maupun crew, saya minta maaf kalau dalam kepemimpinan saya selama ini kurang baik. Di dalam tubuh kita mengalir darah pelaut. Saya percaya suatu waktu kita akan bertemu kembali. Terakhir, pada kesempatan yang baik ini, sudilah kiranya pihak perusahaan menunjuk saudara Peter Chang Lung sebagai pengganti saya menjadi Kapten Ever Blue. Terima kasih,” ujar Martin menunjuk ke arah Peter. Baru selesai menyebut nama Peter, semua jajaran perwira dan crew serentak bertepuk tangan. Bahkan ada yang berteriak.
“Hidup Mr. Peter ! Sukses Mr. Peter !”
Sebelum Martin duduk kembali, Peter menghampirinya. akhirnya mereka berdua saling berpelukan. Semua yang hadir saat itu juga serentak berdiri dan bertepuk tangan. Di tengah suasana yang demikian meriah, Ketua Lim melangkah kembali ke depan.
“Tenang-tenang. Saya berharap saudara-saudara duduk kembali. Terima kasih, terima kasih. Saya sangat terharu melihat kejadian yang barusan. Kalian, khususnya yang bekerja di Ever Blue, demikian akrabnya satu dan lainnya. Atas nama pribadi dan perusahaan, saya angkat topi. Di tengah kekerasan dan pergulatan jiwa pelaut, kalian ternyata demikian akrab dan penuh persaudaraan. Melihat kejadian barusan, saya dan jajaran CYC sangat terharu. Kejadian ini belum pernah terjadi pada kapal-kapal kami yang lain. Mengenai usulan Kapten Martin, saya kira tidak ada alasan untuk tidak menyetujuinya. Saya setuju, saudara Peter Chang Lung sebagai Kapten Ever Blue. Karena yang lebih tahu siapa yang pantas dan cocok memimpin kalian, adalah kalian sendiri. Terima kasih,” tegas Ketua Lim kembali melangkah ke kursinya semula.
Serentak para perwira dan crew Ever Blue berdiri memberikan tepukan meriah. Peter berdiri, memberikan apa-apa agar teman-teman duduk kembali. Peter menyatukan kepalan tangannya, diangkatnya ke atas. Peter membungkukkan badannya dan mengangguk-anggukkan kepalanya menghadap ke depan, ke kiri, ke kanan dan ke belakang. Itulah cara Peter memberi hormat.
Acara malam itu cukup meriah, dan sangat berkesan. Makanan beraneka ragam memenuhi meja yang sangat tertata sangat apik. Diselingi lantunan merdu dari artis-artis lokal yang sengaja dihadirkan pihak perusahaan. Irene dan teman-teman tidak ketinggalan meramaikan suasana. Di tengah lantunan lagu dan hentakan musik, ternyata tidak dapat menghibur Jefri. Baginya, ini kemeriahan sekaligus kesedihan. Karena malam ini adalah malam perpisahan baginya. Dia tidak saja meninggalkan teman-temannya di Ever Blue, tetapi dia juga kan berpisah dengan Irene, dan Kakek Tjoa Hong Beng. Tidak heran ketika Irene mengajak melantai sebagai teman-temannya yang lain, Jefri menolak dengan halus.
“Maaf, aku tidak siap Irene,” kata Jefri.
“Baiklah. Tetapi kau tidak keberatan aku terus menemanimu di sini, kan ?”
“Tidak, tentu saja Irene, silahkan. aku akan meninggalkanmu dalam satu dua hari ini. Besok aku akan menghadap ke kantor untuk menyelesaikan segala sesuatunya. Tetapi aku berharap, aku tidak langsung terbang ke Jakarta besok. Alasanku, aku akan membeli beberapa keperluan.”
“Kalau begitu, aku besok datang ke hotel Jef. Dan aku minta kau tidak keluar hotel sebelum datang. Aku akan menemanimu belanja. Siapa tahu aku dapat memberimu hadiah.”
“Hadiah ? Apa kau tidak ada kegiatan besok.”
“Itu gampang diatur lah Jef. Paling tidak, setelah belanja, kita akan mengadakan perpisahan kecil-kecilan. Karena yang pasti, aku dan kakek akan sangat kehilangan kau Jef.”
“Itulah juga lah yang sedang aku pikirkan saat ini, Irene. Aku juga merasakan hal yang sama. Aku akan sangat kehilangan orang-orang yang baik seperti kalian.”
Irene benar-benar menepati janjinya. Tanpa membuang waktu begitu tiba di hotel, dia langsung menghubungi Jefri.
“Jef, sebaiknya kau segera turun aku menantimu di bawah.”
“Siap Bos !” kata Jefri langsung turun ke bawah menemui Irene.
Di Kowloon, seperti juga di Hongkong untuk belanja saja tidak sulit. Bahkan tidak jauh dari tempatnya menginap pun banyak barang yang dapat mereka beli. Sehingga mereka tidak perlu naik taksi lagi. Jefri tidak banyak membeli barang. Baginya cukup beberapa potong pakaian dan kaos t-shirt dan koper yang beroda. Cuma itu ! maka dia sangat kaget, ketika Irene memberinya seperangkat kamera lengkap dengan tasnya.
“Aku kira, kau memerlukan ini Jef. Jangan lupa nanti kau abadikan kota Bandung, keluarga Pak Sumarna dan lahan-lahan yang merupakan milik Kakek. Atau minimal dengan alat ini kau dapat mengabadikan aku, kakek, dan kota ini.”
“Aduh, aku harus mengatakan apa dengan pemberian ini. Tetapi benar juga idemu tadi, paling tidak, Pak Sumarna akan lebih mempercayai aku.”
Selesai berbelanja, Irene menemani Jefri ke kantor CYC. Di sana telah hadir Kapten Martin dan Jafar. Pihak perusahaan telah menyiapkan segala sesuatunya sedemikian baik. Termasuk bonus-bonus yang mereka dapatkan dan tiket untuk tujuan mereka masing-masing. Kapten Martin langsung ke Filipina, sementara Jafar dan Jefri tujuan Jakarta. Begitu juga dengan paspor mereka telah di cap pihak imigrasi, sehingga untuk pemberangkatan mereka besok tidak ada masalah lagi.” Tentu saja di kantor CYC mereka tidak perlu menemui Ketua Lim. Cukup mereka berpamitan pada orang-orang yang berada di kantor CYC. Jefri mendekati Kapten Martin.
“Kap, saya sangat kehilangan Kapten. Saya berharap kita dapat bertemu kembali di Singapura nantinya. Mudah-mudahan kita berada di satu kapal lagi. Maaf Kapten Martin, ini beberapa foto dan surat untuk Betty,” ujar Jefri memberi amplop besar yang sengaja dibawanya.
“Aku juga berharap begitu Jef. Karena akupun akan kembali ke Mr. Tan setelah liburan nanti. Oh ya, terima kasih, aku akan menyerahkan ini pada Betty. Pasti dia sangat senang menerima ini Jef,” balas Kapten Martin.
Malamnya, Irene kembali datang menemui Jefri di hotel. Irene datang bersama kakeknya. Mereka bersama menuju restoran Tin-Tin. Jefri tidak menyangka kalau kakek Hong Beng Sampai menitikkan air mata dan memeluk erat tubuhnya.
“Aku sangat percaya padamu Jef. Carilah rumah atau usaha di Bandung atau di mana pun kau suka. Kami akan membantumu. Kami tidak tahu bagaimana nasib kami nantinya setelah kota ini kembali ke Cina. Aku titip Irene, saudara-saudaranya dan juga orang tuanya. Untuk itu, kau harus maju Jef,” pinta Kakek Hong Beng penuh haru.
“Terima kasih Kek. Aku sangat berterima kasih atas kepercayaan ini semua. Tetapi bagaimana dengan Pak Sumarna ?” Tanya Jefri.
“Dia baik-baik saja, tetapi aku sudah lama sekali tidak bertemu dengannya. Kau tahu itu kan ? Kami hanya berhubungan melalui surat ataupun telepon. Selama ini memang baik, tetapi bagaimana kenyataannya aku tidak tahu. Oleh karenanya, apapun nanti yang terjadi selama kau di sana ceritakanlah. Kalaupun nanti ceritanya pahit. Aku sudah siap menerimanya.”
“Tetapi Kakek sudah menghubunginya tentang kedatanganku ke Bandung.”
“Belum, belum Jef.”
“Sebaiknya Kakek tidak perlu menghubunginya. Yang penting aku minta alamatnya.”
“Tapi kan dia sudah tahu kalau kau akan datang Jef,” potong Irene.“Benar ! Dia sudah tahu tentang aku, dan akan kedatanganku ke Bandung. Tetapi dia belum tahu tanggal berapa dan hari apa kan ? Nanti kalau aku sudah di Bandung dua atau tiga hari, aku kabari aku menginap di mana, baru aku kabari pada mereka, biar kejutan lah.”
“Bagaimana baiknya saja, Jef. Kami percaya kau akan melakukan yang terbaik buat kami,” kata Irene seraya memeluk dan menciumi pipi Jefri.
“Tenanglah, tenang,” kata Jefri membalas mencium pipi Irene dan memeluknya. Jefri berdiri, kemudian memeluk kakek Hong Beng.
Mereka bertiga saling berpelukan. Mereka tidak peduli dengan orang-orang yang memadati restoran Tin-tin. Jefri mencoba mengabadikan Irene dan Kakek Hong Beng. Irene kemudian bergantian mengabadikan Jefri dan Kakek Hong Beng. Terakhir, Irene dengan bahasa Kanton nya meminta pelayan mengabadikan mereka bertiga berulang-ulang dengan berbagai posisi. Dari tangisan yang berderai, akhirnya mereka tertawa-tawa. Tidak tahu siapa yang memulai tertawa, yang jelas akhirnya mereka bertiga tertawa.
“Baiklah Jef, aku kira besok aku tidak dapat mengantarmu ke bandara. Tetapi Irene sudah menyiapkan kendaraan untuk mengantarmu. Bukankah begitu Irene ?”
“Benar Jef. Perusahaan telah menyiapkan kendaraan untuk mengantarmu ke bandara besok. Dan aku kira kau bersama dengan Jafar, kan ?”
“Iya, kami sama-sama menuju Jakarta. Nanti setelah di Jakarta, baru kami berpisah, karena berbeda pesawat.”
Malam itu adalah malam yang paling berkesan bagi Jefri, Tjoa Hong Beng dan cucunya Irene. Pertemuan yang sebenarnya tidak pernah mereka bayangkan yang lalu. Pertalian persaudaraan Jefri dengan mereka juga tidak ada, tetapi mereka menjalin persaudaraan karena ketulusan hati mereka masing-masing. Ketulus-ikhlasan telah melintas batas etnis, batas negara, agama dan batasan hubungan darah. Hati-hati yang tulus bersatu, tentu berat saat berpisah. Tetapi siapa yang dapat menahannya apabila perpisahan itu terjadi. Karena pada gilirannya kelak, setiap anak manusia di perut bumi yang fana ini akan juga saling berpisah. Kata orang bijak, di mana ada pertemuan di situ ada perpisahan. Keyakinan inilah barangkali yang masuk ke relung hati mereka masing-masing sehingga tidak perlu ada air mata ketika mereka harus berpisah. Pada saat itulah, tanpa kesepakatan mereka dapat tertawa. Mereka percaya, tertawa adalah langkah kebesaran jiwa dan gambaran optimisme hidup dan kehidupan.
Di tengah kehiruk-pikukkan Bandara Internasional Kai Tak, Irene seakan berat melepaskan pelukannya. Dia tidak malu-malu terus memeluk Jefri. Berulangkali Jafar mengabadikan peristiwa itu dengan canda-candanya tetap saja Irene tidak melepas pelukannya. Sampai tiba pengumuman bahwa pesawat GIA jurusan Jakarta segera diberangkatkan. Tiket telah diperiksa, paspor telah dicap, dan saat akan memasuki gate, barulah Irene melepaskan pelukannya. Jefri melepas memeluk erat, dan dengan tangan lembut mencium kening Irene.
“Aku yakin, suatu waktu kita kan bertemu. Tidak di sini, di suatu tempat, kita akan bertemu. Percayalah,” kata Jefri mengelus-elus rambut Irene.
“Aku berharap demikian, Jef. Jangan lupa menghubungi aku begitu kau sampai di Bandung nanti ya ?”
“Pasti, pasti Irene !” Jefri perlahan melepaskan dekapannya. Perlahan-lahan tangan mereka terlepas. Berganti menjadi lambaian perpisahan.
Setibanya di Bandara Sukarno-Hatta, setelah pemeriksaan barang dan paspor, Jefri langsung menghubungi agen penerbangan lokal dengan tujuan Bandung. Demikian pula dengan Jafar dengan tujuan Surabaya. Jafar mendekati Jefri dan merangkulnya.
”Jef, ada yang ingin kukatakan sebelum kita berpisah. Soal kesedihan sebenarnya, tetapi aku harus mengatakannya padamu. Tahu nggak Jef, sebenarnya teman-teman kita yang lain, juga ingin pulang.”
“Lho, kenapa mereka tidak pulang ? Perusahaan kan dapat saja memberi mereka cuti dan kembali lagi. Bahkan tiket pulang pergi akan ditanggung perusahaan, begitu yang aku tahu. Ke manapun mereka tidak memanfaatkan hal itu ?”
“Di situlah masalahnya Jef. Tiket tidak menjadi masalah memang, tetapi apakah mereka dapat memberikan hadiah atau oleh-oleh untuk keluarga mereka ? Ini yang jadi masalah Jef. Memang sebagian ada yang mengirim gajinya untuk keluarga mereka, tetapi kau tahu sendirilah Jef, tingkat biaya kenakalan mereka sangat tinggi.”
“Biaya kenakalan ? Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Itulah salah satu biaya dan salah satu penyakit yang sebenarnya banyak terjadi di kalangan pelaut. Yaitu main wanita, judi dan minuman keras. Itu pula barangkali yang ditakutkan Rahmat, ketika kau mencoba mendekati adiknya Azizah.”
“Ya ampun, kau mengingatkan aku pada Azizah. Huh, aku harus berterima kasih padamu. Aku jadi ingin menghubunginya saat ini,” kata Jefri langsung menanyakan pada Satpam bandara, di mana dia menelepon ke luar negeri.
Betapa kagetnya Jefri ketika telepon rumah Azizah diangkat orang lain, yang tidak tahu menahu tentang Azizah. Kalau begitu, ke mana Azizah ? Jefri jadi lunglai.
“Kau kenapa, Jef ? Kelihatannya kau begitu kecewa, apakah Azizah telah….”
“Ya, dia telah pindah rumah, tanpa aku ketahui di mana mereka sekarang. Sepertinya, setelah Ayahnya meninggal dunia, mereka pindah rumah.”
“Sabarlah Jef, kau tidak lama di Bandung, kan ? Begitu kau sampai di Singapura nanti, kau dapat menghubungi Rahmat abangnya di markas kepolisian.”
“Okeylah, sudah saatnya kita berpisah di sini. Begitu kau sampai di Surabaya nanti, tolong kau kirim surat ke alamat ini,” ujar Jefri memberikan catatan alamat Pak Sumarna di Bandung.
Jafar dan Jefri saling berpelukan dan mereka hampir bersamaan meninggalkan bandara Sukarno-Hatta. Mereka tidak tahu kapan mereka akan bertemu kembali.
“Perpisahan lagi, perpisahan lagi,” guman Jefri begitu berada di dalam pesawat menuju ke Bandung.
**Bersambung…