Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(55)

“Apa Des, kalau Bapak boleh tahu. Bapak akan mengabulkan permintaanmu, percayalah pada Bapak”

“Benar, Bapak akan mengabulkan permintaan Desy ?”

“Des, kau jangan mempermainkan Bapak, dia orang tua kita Des, ingat itu”

“Tadi kan sudah Desy katakan, Desy minta. Nah ternyata Bapak mau mengabulkannya, jadi Kak Andi tenang sajalah. Desy sudah kehilangan kasih sayang Bapak, Kak Andi, dan Kak Deddy. Mungkinkah itu kembali ?”

“Desy maunya apa, katakanlah, Bapak akan dengarkan, dan….”

“Pak, Desy menginginkan Bapak kembali pada Ibu, dan ceraikanlah isteri-isteri muda Bapak. Beri saja mereka hadiah rumah dan sejumlah uang, Desy kira mereka tidak keberatan Pak. Mereka masih muda, Desy yakin tidak sulit bagi mereka untuk mendapatkan jodoh. Tolonglah Pak,” pinta Desy terbata-bata, dan tidak kuasa menahan air matanya.

“Des, kau tidak

“Sudahlah Kak Andi, biar Bapak yang menjawabnya,” potong Desy.

“Bapak akan pikirkan itu Des. Tetapi tidak bisa buru-buru, ya Bapak minta waktu. Maafkan Bapak, Des,” ujar Pak Sumarna mengelus-elus rambut puterinya.

“Desy berharap Bapak akan menepati janji Bapak. Janji ya Pak, ?°” desak Desy memandang ke Bapaknya.

“Aku heran, kenapa baru sekarang kau mengatakan ini semua Des, padahal, masalah Bapak kan sudah lama kau tahu. Apa karena campur tangan anak muda tadi ? tanya Andi pada Desy.

“Anak muda itu punya nama, Kak, dan tidak ada kaitannya dia dengan apa yang Desy mohonkan pada Bapak. Bagi Bang Jefri. Bapak mau isteri berapa juga tidak ada urusannya tetapi kau belum menceritakan soal yang kami khawatirkan tadi,” desak Andi.

“Desy sudah katakan tadi, kalau Desy masih berperasaan untuk tidak mengatakannya.”

“Katakan saja lah Des, rapat ini kan tertutup, dan hanya kita berempat, jadi apa salahnya.

Aku rasa Bapak siap mendengarkannya. Soal yang barusan saja Bapak mau mendengarkan, dan mau memikirkannya, apa lagi masalah lain ? Katakanlah Des,” desak Deddy bersemangat.

“Oke lah. Pertama, Tuan Hong sudah mulai tidak percaya dengan kita, karena kita tidak pernah melaporkan kegiatan kita padanya, walaupun itu tidak dimintanya. Kedua, ternyata Bapak belum pernah melaporkan soal peti dan segala isinya pada Tuan Hong. Padahal, pada Ibu, Bapak mengatakan sudah melaporkannya. Di saat perusahaan kurang baik saat ini, kalau Tuan Hong menuntut semua harta miliknya, khususnya barang-barang milik isterinya yang telah Bapak jual, apakah tidak bahaya ?”

“Tetapi Des, sekejam itukah Tuan Hong ?” tanya Pak Sumarna memandang puterinya.

“Jangan-jangan itu rekayasa si Jefri saja ! Kalau dari Tuan Hong, minimal ada surat dari Tuan Hong untuk Bapak, karena soal itu, soal jumlah uang yang tidak sedikit,” tandas Andi sedikit kurang percaya atas pernyataan Desy.

“Lagi-lagi Kak Andi tidak percaya pada Bang Jefri. Ingat Bang, setingkat Tuan Hong saja percaya padanya, kenapa kita tidak. Padahal, kalau kita pintar mengambil hatinya, apa pun yang terjadi di sini, Tuan Hong tidak akan tahu. Nah itu tergantung Bang Jefri. Kalau semua temuan yang ada di tangannya dilaporkannya kita bisa apa sih ?”

“Tuan Hong punya bukti apa sihk untuk hal ini semua? Secara hukum pun, aku kira kita tidak akan kalah. Jadi aku kira, jangan besar kepala si Jefri itu “tegas Andi sedikit emosi.

“Kalau memang arahnya kesana, Desy serahkan saja pada Bapak. Hanya Bapak yang bisa memutuskannya. Maaf, Desy akan memanggil lbu, biar pertemuan ini lebih lengkap, dan jernih,” kata Desy terus berdiri, menggeser kursinya siap-siap meninggalkan ruangan.

“He Des, sabar, sabar dulu. Bukan Bapak tidak setuju lbumu ada di sini, tetapi lain waktu saja. Coba mengerti sedikit lah Des,”pinta Pak Sumarna, dan :menarik tangan Desy.

“Bapak dengar enggak, Kak Andi terus-terusan menyudutkan Bang Jefri, Padahal, kalau kita mau mengalah sedikit, Bang Jefri itu dapat kita jadikan dewa penolong kita. Orangnya baik, Pak. Kalau sampai kita kasari, percayalah dia akan melawan. Tadi di restoran, dikeroyok tiga orang anak buah Kak Andi, dia melawan.”

“Ya itu karena di tempat yang ramai, jadi banyak yang melerainya. Coba tempat yang sepi kalau dia tidak mampus !” hentak Andi.

“Main keroyok itu gaya pengecut ! Kenapa tidak di ring tinju saja, biar kita sponsori !”

“O, maunya begitu ? Oke kalau itu maunya, kapan ?”

“Terserah Kak Andi, kalau Bang Jefri, Desy kira kapan saja siap”

“Sudah, sudah. Kalian tidak memandang Bapak sama seka!i, coba hargai Bapak. Emosi tidak akan menyelesaikan masalah, coba tenang sedikitlah,”himbau Pak Sumarna.

“Desy maunya Pak, kira harus menyembah pada si Jefri, itu kan sudah keterlaluan,” tuduh Andi menatap ke arah Desy.

“Kapan Desy katakan begitu? Jangan ngawur lah.” jawab Desy membalas menatap Andi.

“Kalian ini mau dengar kata Bapak atau tidak. Kalau tidak, ya Bapak akan pulang sajalah,” kata Pak Sumarna berdiri, membereskan berkas-berkas yang ada di depannya.

“Desy kira lebih bagus begitu Pak. Kita tidak bisa barunding dengan preman.”

“Kau jangan sembarangan bicara Des, jaga mulutmu…”

“Ingat ! Apa kira mau sampai pagi di sini “? Tolong, tolonglah jangan ribut. Aku mohon kita selesaikan dengan kepala dingin Marilah kira duduk kembali,”cegah Deddy mencoba mendinginkan suasana. Di pegangnya bahu Andi, dan dimintanya untuk duduk kembali. Semuanya kembali duduk seperti semula,

“Bagaimana Des, kan ada jalan keluar yang baik untuk masalah ini semua ?”

“Menurut Desy, ada baiknya memang Bapak saja lah berbincang-bincang dengan Jefri. Karena bagaimana pun Bapak masih kepala rumah tangga, dan juga orang tua yang sangat kami hargai dan hormati.”

“Kebetulan, tadi Bapak sudah mengundangnya makan siang besok di sini, yah mudah­-mudahan dia menepati undangan Bapak “

“Desy kira, dia akan datang Pak. Tetapi kalau tidak menjadi masalah, biar Desy saja yang menjemputnya. Tetapi ya terserah Bapak saja lah.”

“Tidak Des, biar supir kita saja yang menjemputnya. Dulu waktu pertama kali dia kemari, kan supir kita juga yang menjemputnya.”

“Terus, apa kami tidak dianggap ?”tanya Andi.

“Bukan, bukan begitu Di. Biarlah Bapak sajalah yang menyelesaikannya-”

“Oke lah kalau begitu keputusannya, sekarang kita bubar saja, tetapi ingat, apa pun yang menjadi keputusan Bapak dengan si Jefri itu, kalau ternyata nanti kami kira tidak baik, khususnya untuk perusahaan kita, aku akan damprat si Jefri itu. Itulah permohonan kami Pak. Besok malam, kami akan kembali kemari.”

“Saya setuju dengan pernyataan Kak Andi barusan. Kami tidak akan mengganggu pertemuan Bapak, tetapi tolong, jangan ada yang disembunyikan, terutama yang berkaitan dengan kesepakatan-kesepakatan,” tambah Deddy.

“Kalian kelihatan sudah tidak percaya lagi pada Bapak. Apa selama ini ada yang Bapak sembunyikan pada kalian ? Bahkan hal-hal tertentu, sebelum Bapak beritahu, kalian sudah duluan mengetahuinya. Jadi tolonglah masalah ini jangan sampai berlarut-larut”

“Baiklah kalau begitu kami pulang dulu Pak,”ujar Andi, dan diikuti Deddy.

Di ruang tengah tingga! Pak Sumarna dan puterinya. Pak Sumarna mendekati Desy, dan dirangkulnya perlahan. Dikecupnya kening Desy, dan dibelainya rambut Desy perlahan-lahan Desy mcmbenamkan kepala di dada Bapaknya. Dia tidak dapat membendung air matanya. Dipeluknya erat-erat, seakan-akan dia tidak akan melepaskannya. Sudah lama sekali dia tidak merasakan belaian dan pelukan dari Bapaknya.

“Pak, berjanjilah Pak, bahwa Bapak akan kembali ke rumah ini. Apa yang Desy rasakan saat ini, jangan sampai berlalu esok hari ketika Bapak harus menguujungi isteri-isteri Bapak. berjanjilah, Pak.”

“Yah, kan Bapak sudah katakan, berilah Bapak kesempatan. Percayalah, Bapak akan menepatinya. Bapak juga merasakan, bagaimana bedanya getaran hari Bapak ketika berada di rumah ini. Sangat berbeda, sangat berbeda Des.”

“Mulai, mulailah lagi Pak, tidak ada kata terlambat. Pak, terus terang, Desy memang baru berkenalan dengan Jefri, tetapi dalam beberapa hal banyak pelajaran yang dapat Desy serap darinya Khususnya itu Pak, bangunan yang di belakang sana, perlu kita rombak. Ya, kita bangun mushola, bagaimana Pak ? Begitu juga dengan beberapa ruangan rumah kita ini perlu direnovasi”

“Yah, bagaimana baiknya saja. Kalau Bapak sihk setuju-setuju saja. Dasy tinggal lihatkan gambar atau foto-fotonya, atau apalah. Bagaimana pun rumah ini bakal milikmu juga kan Des. Hanya kau yang belum Bapak bangunkan rumah.”

“Bapak serius Pak ?”

“Tentu, tentu Bapak serius. Nanti kalau sudah ada konsepnya, serahkan ke Bapak, biar kita suruh tukang mengerjakannya.”

“Terima kasih, terima kasih Pak. Paling tidak, kelak. Bapak kembali, suasana rumah ini akan berubah. itu harapan Desy yang paling utama Pak”

“Iya, iya, Bapak faham. Tetapi, kau sendiri usiamu kian bertarnbah, Kau sudah dewasa Des, tetapi belum ada yang kau kenalkan ke Bapak. Apa kau keberatan mengenalkannya pada Bapak ?”

“Kalau yang satu itu masih kosong Pak. Bukannya Desy tidak man mengenalkannya pada Bapak. Desy masih sendiri, Pak,”jawab Desy merubah duduknya dan memandang Bapaknya.

“Tetapi bagaimana dengan Jefri ? Bapak lihat kau begitu mengaguminya”

“Enggak tahu lah Pak. Kelihatannya orangnya biasa-biasa saja. Udah ahk, Desy ngantuk, Desy masuk dulu ya Pak ?” Kata Desy berdiri, dan memeluk Bapaknya.

“Maafkan Bapak Des, kalau pertanyaan Bapak menyinggung perasaanmu.”

“Oh enggak, enggak soal itu Pak, Desy memang ngantuk. Mudah-mudahan Jefri memberikan jalan yang terbaik buat kita semua.”

“Mudah-mudahan Des. Oh ya, besok temani Bapak menjamu Jefri,ya ?”

“Kalau itu permintaan Bapak, tentu Desy akan menemani Bapak. Pagi-pagi sekali besok Desy akan mengajak ibu belanja ke Pasar Caringin. Desy akan siapkan masakan khusus untuk Bang Jefri, dan ibu, akan Desy minta untuk menyiapkan masakan khusus buat Bapak. Bapak kan sudah lama tidak merasakan masakan Ibu, iya kan Pak ? “Ahk kau bisa saja Des. Tolong sampaikan salam Bapak untuk Ibu.”

“Lho Bapak kan tinggal masuk ke kamar, dan langsung mengatakannya,”pancing Desy pura-pura tidak memahami permasalahan orang tuanya.

“Sudahlah, kau saja yang lah menyampaikannya.”

Oke Boss !” Kata Desy mengangkal tangannya, terus meninggalkan Pak Sumarna menuju kamarnya.

**Bersambung