Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di taman Merlion Singapura-(6)
Halaman 26-30
“Ya kalau Bapak tinggal tunggu perintah Kapten Martin. Kelihatannya dia juga belum membawa pakaiannya. Jadi kita pulang sama-sama lagi lah. Okey, Jef, kau istirahat saja dulu, Bapak mau ke bawah lagi ya.”
“Baik, baik Pak. Terima kasih atas saran-sarannya.”
Pak Hasan meninggalkan Jefri di kamar seorang diri. Jefri merebahkan badannya di tempat tidur. Kedua tangannya dijadikan bantal. Pikirannya menerawang. Jauh dekat, jauh dekat, jauh, eh ternyata dekat. Dekat berarti Azizah. Ya, Azizah. Azizah hadir di pelupuk matanya. Penampilannya yang lugu, manis, dan manja. Rambutnya yang hitam sedikit melewati bahunya. Senyumannya demikian menawan, suaranya hampir tidak terdengar saat berbicara, sehingga setiap saat Jefri mendekatkan telinganya ke pipi Azizah. Parfumnya yang khas, sulit bagi Jefri untuk melupakannya. Mudah-mudahan malam ini Azizah dapat menemaninya belanja. Sekalian malam perpisahan sementara. Karena Jefri tidak tahu kapan kapal akan mendarat lagi, setelah dari Malaysia. Apakah dari Malaysia ke tempat lain lagi dan jauh dari Singapura, Jefri belum mendapatkan informasi. Seandainya kuucapkan cinta, Apakah tidak terlalu cepat ? Atau jangan-jangan Azizah telah punya kekasih ? Atau inikah cinta pandangan pertama ? Atau……
“Jef, Jef !” Jafar membangunkan Jefri seiring dengan ketukan pintu.
“Ya, ya,” jawab Jefri Bangkit dari tidur agak sempoyongan dan sedikit pusing.
“Aduh, sepagi ini kau sudah tidur, Jef. Kau begadang terus ya ?”
“Akh nggak, nggak. Cuma…..”
“Cuma, apa ? Aku memanggilmu dan mengetuk pintu, masak tidak kedengaran. Kalau kau tidak tidur, pasti aku panggil satu kali saja, kau pasti sudah dengar.”
“Sorry lah, sorry. Ayo masuk dan duduklah,” tawar Jefri terus duduk di sisi tempat tidur dan Jafar di kursi.
“Jefri aku hanya ingin kenal lebih jauh dengan kau. Karena ada beberapa orang baru di sini aku belum kenal. Kalau tingkat perwira aku takutlah kenalan, apalagi orang asing. Tapi kalau orang kita, apalagi crew biasa ya aku berani. Apalagi, aku kan yang paling rendah jabatannya di kapal ini. Katanya sih, office boy, padahal ya jongoslah……”
“Akh, sama saja itu, Far. Yang penting kita sudah dapat kerja, apalagi di luar negeri. Tidak semua orang bisa kerja di luar negeri lho, bukankah itu hebat, Far ?”
“Kalau itu aku mengerti Jef. Tetapi di usia kita yang muda-muda ini bekerja di kapal adalah bekerja yang menyeluruh.”
“Maksudnya apa ?” Jefri penasaran.
“Artinya, tidak bisa main-main. Karena kerja di kapal itu adalah kerja keras yang benar-benar keras. Keadaan yang membuatnya demikian Jef, keadaan. Berhari-hari terkadang kita tidak bisa makan atau tidur, karena ombak yang menggunung menghempas menggulung-gulung, lambung kapal seperti ditampar-tampar. Mengerikan sekali, Jef.”
“Kalau Jafar sudah berapa tahun kerja di kapal ?”
“Baru empat tahun Jef. Baru dua kali selesai kontrak. Tetapi bukan di kapal ini, di kapal dagang yang rutenya Taiwan, Jepang, dan Singapura. Begitulah terus Jef.”
“Terus, bagaimana kok bisa pindah ke Bay Tank ini ?”
“Aku kerja di sini secara tidak sengaja Jef, kau tahu Pak Sabar juru masak kapal ini adalah tetanggaku di Surabaya. Waktu aku main-main ke daerah Queen Street, aku bertemu dengannya. Aku menunggu kapal yang akan dipersiapkan untukku dari perusahaanku dulu, tetapi dengan tawaran Pak Sabar, aku tertarik juga, walaupun jabatanku hanya sebagai jongos.”
“Di kapal yang dulu, sebagai apa ?”
“Dulu, aku sebagai kelasi biasa. Bersih-bersih kapal, mencat, atau apa sajalah di bagian palka yang diperintahkan Kapten atau perwira lainnya. Tetapi, aku sesekali diperbolehkan juga memegang kemudi di anjungan, kalau otomatisnya tidak dipasang
“Bisa begitu, Far ?”
“Bisa saja Jef, tergantung perwira ataupun juru mudi yang istilah lainnya Quarter Master atau disingkat QM. Perwira jaga itu, selalu didampingi QM setiap tugasnya. Itu bekerja empat jam- empat jam.”
“Maksudnya, Far ?” Jefri penasaran ingin tahu lebih jauh.
“Begini, Chief Officer atau Mualim Satu. Dia tugasnya dari pukul 04.00 sampai 08.00. Mualim Dua, 08.00 – 12.00, dan Mualim Tiga, 12.00 – l6.00. Nah, pukul l6.00 sampai 20.00 malam, kembali lagi ke Mualim Satu. Begitulah waktu kerjanya dan itu berlaku selama kapal berlayar Jef.”
`”Bagaimana dengan di bagian mesin, apa juga sama ?”
“Sama Jef. Hanya istilahnya Bas Satu, Bas Dua, dan didampingi penjaga mesin yang biasa disebut juga Oilman,” papar Jafar tentang sebagian rincian tugas di kapal.
“Berarti, sekarang jabatan kau turun Far ?”
“Jabatan sih iya Jef, tetapi soal gaji, walaupun jabatanku begini, jauh lebih besar dari perusahaan yang dulu. Di perusahaan ini gajinya memang jauh lebih baik dengan perusahaan-perusahaan lainnya di Singapura ini. Kalau kerja seperti aku ini Jef, asal rajin, banyak uang tipnya. Apalagi, kapalnya baru Jef, dan aku pingin kerja di kapal tanker seperti ini.”
“Aku jadi ingin banyak belajar dari kau Far,” bujuk Jefri perlahan.
“Kita sama-sama saja Jef. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun di atas kapal, kalau kita tidak banyak belajar, ya kita nanti begini-begini saja, benar nggak Jef ?”
“Persis, Far. Itu yang aku inginkan. Tetapi sebenarnya aku jadi ingin ke bagian juru mudi, Apakah mungkin Far ?”
“Kenapa tidak ? Apalagi kudengar Kapten Martin dekat denganmu. Pak Sabar juga pernah cerita, kalau nanti ada awak baru di bagian mesin, masih keponakan Kapten Mustafa. Nah, Pak Sabar itu koki yang paling disayang pamanmu, Jef.”
“Lho, kenapa ?”
“Karena Pak Sabar itu, paling tahu selera makan pamanmu. Dia itu koki yang paling pengalaman dan menu makanannya tidak terbatas Jef.”
“Kok bisa begitu Far ?”
“Habis, Pak Sabar itu, masakan apa saja bisa Jef. Variasi menunya sangat disenangi orang-orang di sini. Mau masakan Eropa, Amerika, Cina, atau apalah, pokoknya Pak Sabar bisalah Jef. Sebentar lagi kau akan menikmati masakan Pak Sabar. Lihat saja nanti. Oh ya, Pak Sabar juga ingin sekali bertemu denganmu Jef.”
“Akh, bisa saja kamu Far.”
“Benar Jef, aku serius. Dia itu orang tua kita di kapal ini. Kalau kita dekat dengan dia, wah pokoknya kita nggak pernah kelaparan lah. Apalagi kalau kita diajaknya belanja, selain makan, kita juga diservice Jef.”
“Service apa Far ?”
“Sudahlah Jef, nanti kau tahu sendiri lah. Kalau nanti dia mengajakmu belanja, kau jangan menolak.”
“Tapi besok kita kan mau berangkat, berarti Pak Sabar sudah belanja dong.”
“Ya tidak di sini saja. Bisa saja nanti di Malaysia atau di manapun, yang belanja kan dia juga, dan itulah tugasnya selain memasak untuk kita-kita.”
“Kamar Pak Sabar, di mana Far ?”
“Itu, tu yang di ujung sana dekat gudang.”
“Lho yang di depan kamar mandi itu?”
“Benar Jef, itulah kamarnya. Wah, seperti kamar perwira saja Jef. Ada TV, radio tape, video, dan kulkas. Wah, ginilah pokoknya,” ujar Jafar mengacungkan jempol tangannya.”
“Oh, kalau begitu yang lagi memutar lagu Rhoma Irama itu ?”
“Persis, Jef. Dia itu penggemar berat Rhoma Irama atau lagu-lagu dangdut lah dan kalau mutar lagu, tidak pernah pelan, pasti keras-keras.”
“Kalau jogetnya bagaimana, Far ? Apa dia hebat juga ?”
“Orang gemuk seperti Pak Sabar itu, bagaimana mau joget Jef, jalan seratus meter saja sudah ngos-ngosan begini,” kata Jafar menirukan orang yang sedang sesak napas dan terus tertawa.
Melihat tingkah Jafar, Jefri juga ikut tertawa. Suasana yang semula serius akhirnya cair dengan kegembiraan. Keduanya begitu gembira mengisi kehidupan yang jauh dari orang tua, saudara, dan kampung halaman.
Inilah masa-masa suka pelaut yang terkadang dapat saja bergembira dengan cerita-cerita kecil. Cerita yang mengantarkan pada sisi-sisi kehidupan anak manusia bagai gelombang laut yang terkadang di a atas, terkadang di bawah. Menghempaskan kapal, menggoyang kapal dan terkadang bagai rumah di darat, yang tenang tanpa alunan ombak. Tenang dikelilingi laut yang biru tanpa batas. Memunculkan matahari dan menelan matahari di waktu senja demikian jelasnya terlihat. Kegembiraan pelaut itu bukan karena baru singgah di darat, atau mampir di rumah-rumah bordir, bar ataupun panti pijat. Tetapi dapat saja karena bercengkerama dengan sesama pelaut. Sebagaimana yang dirasakan Jefri dan Jafar saat ini.
“Sebaiknya aku permisi dulu Jef, aku akan siap-siap untuk acara kita siang nanti. Aku kasihan nanti si Abeng sendirian kerja, Dia kan jabatannya sama denganku. Hanya dia bagian pelayan perwira, sedangkan aku untuk para kelasi.”
“Baiklah Jafar, sampai ketemu lagi kita nanti.”
Sepeninggal Jafar, Jefri mencoba mengunjungi kamar Pak Sabar, kalau-kalau dia ada. Jefri teringat apa yang dikatakan Jafar, kalau Pak Sabar ingin bertemu dengannya. Sampai saat itu, Jefri belum tahu berapa jumlah awak Bay Tank. Baru beberapa yang dikenalnya. Sebagai orang baru, sudah selayaknya dialah yang berinisiatif untuk memperkenalkan diri. Begitu Jefri akan mengetuk pintu, seseorang yang baru keluar dari kamar mandi menyapanya.
“Mau ketemu siapa ya ?”
“Ini Pak, mau ketemu Pak Sabar,” jawab Jefri agak sedikit menunduk hormat.
“Saya sendiri, ah ini pasti Dik Jefri ya ?” Tebak Pak Sabar memandang Jefri mulai dari bawah sampai ke atas.
“Iya, iya Pak,” ucap Jefri sedikit terbata-bata memberikan tangannya untuk bersalaman dengan Pak Sabar.
“Wah, sampeyan itu Dik, jauh dari pamanmu.”
“Jauh apanya, Pak ?”
“Yah, jauh cakepe. Lha iyo, pamanmu iku kulitnya agak gelap dan rambutnya keriting. Kalau sampeyan kan putih.”
“Memang benar Pak. Karena saya itu anak dari kakaknya paman Mustafa yang perempuan, jadi warna kulitnya agak berbeda, dan ibu saya memang cantik Pak,” Jefri memuji kecantikan ibunya.
“Tapi pamanmu baik-baik saja kan ?”
“Baik Pak. Dia kelihatannya segar-segar saja dan fit kelihatannya.”
“Baguslah. Kau siap-siaplah Jef, sebentar lagi kita kan ada pertemuan di atas. Atau kalau kau tidak ada kerjaan, kau main saja ke atas. Nanti aku segera menyusul.”
“Kalau begitu, saya permisi dulu Pak.”
“Okey Jef, Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya ?”
Jefri memberanikan diri untuk naik he atas. Dia mencari ruang makan perwira, tetapi tidak ditemuinya. Semua ruangan dalam keadaan tertutup, sehingga dia tidak tahu di mana tempat pertemuannya. Jefri melihat-lihat di anjungan, tetapi tidak satu pun orang. Dipandangnya keluar, pekerja galangan kapal demikian sibuknya dengan aneka kegiatan, terlihat demikian aktifnya bekerja di bawah sinar matahari. Suara-suara ketukan palu, deringnya mesin grenda, suara truk yang meraung-raung dan pijaran api dari orang-orang yang sedang mengelas, begitu mewarnai suasana pelabuhan Jurong. Perpaduan antara galangan-galangan kapal, pabrik-pabrik, gudang dan tumpukan kontainer, sangat bertentangan dengan suasana di Clifford Pierre atau taman Marina.
“Lho, kok sampeyan belum masuk, Jef ?”
“Apa acaranya belum dimulai ?”
“Kelihatannya belum Pak,” jawab Jefri sekenanya, menutupi ketidaktahuannya.
“Oh, nggak apa-apa, mari kita tunggu di dalam saja.”
“Ayolah,” ujar Jefri mengikuti Pak Sabar dari belakang.
Begitu masuk ruangan, betapa terasanya udara dingin merasuk ke badan Jefri. Kursi-kursi hampir penuh. Pak Sabar dan Jefri hampir serentak memberikan hormat pada Kapten Martin. Yang dikenal Jefri yang berada di sisi Kapten Martin, hanya Fredick dan Michell yang dikenal Jefri. Jafar dan Abeng sedang mengisi gelas yang ada di depan paserta rapat. Sekilas Jefri melirik ke kanan dan ke kiri untuk menghitung jumlah personil Bay Tank. Seluruhnya berjumlah 22 orang. Tepat pukul 12.00, acara dibuka langsung oleh Kapten Martin. Kapten Martin menjelaskan pelayaran pertama menuju Port Dickson, Malaysia. Jam kerja yang selama ini tidak sesuai dengan schedule, akan dikembalikan lagi dengan tugas dan fungsi masing-masing perwira baik yang di atas, maupun yang di mesin. Demikian pula dengan para juru mudi, juru jaga mesin yang biasa dipanggil oilmen atau oilier, oleh Usman Ibrahim selaku Mualim Dua bidang administrasi telah disusun daftar kerjanya sedemikian rupa.
“Marilah kita sejenak berdo’a dengan kepercayaan dan agama kita masing-masing agar pelayaran kita ini berjalan dengan baik dan lancar. Untuk job kita masing-masing, saya kira kita kembali seperti dulu lagi. Kalau pun ada yang baru, saya kira hanya beberapa orang dan itupun pada tingkat kelasi, yang sebentar lagi akan ditempelkan di papan-papan pengumuman dan akan dibagikan setelah acara ini. Atas nama perusahaan dan selaku Kapten saya mengucapkan selamat bekerja.” Demikian sambutan singkat Kapten Martin.
Acara makan pun dimulai. Di antara yang hadir, terlihat juga Pak Hasan. Yang tidak ikut serta dalam jamuan makan hanya Jafar dan Abeng, karena sibuk melayani para perwira. Apa yang dikatakan Jafar tentang kepiawaian Pak Sabar, tentang masak memasak, ternyata benar. Semua yang makan terlihat sangat serius dan sangat menikmatinya. Beraneka makanan yang dihidangkan seperti sayang untuk disisakan. Tidak ada yang beranjak dari duduknya walaupun Jafar dan Abeng telah membersihkan meja. Melihat hal itu, Jefri juga mencoba untuk bertahan duduk. Ternyata, setelah bersih, Jafar dan Abeng menyediakan buah-buahan. Abeng menyiapkan bir kaleng untuk Fredick dan Michell. Beberapa orang lainnya, termasuk Kapten Martin dan Jefri disuguhi minuman yang Jefri tidak tahu jenis apa yang diberikan Abeng ini. Pak Sabar menendang pelan kaki Jefri. Jefri melihat ke Pak Sabar. Ternyata Pak Sabar memberikan kode untuk segera meninggalkan ruangan makan perwira. Sambil berjalan, Pak Sabar mengangkat tangannya diarahkannya ke Kapten Martin. Kapten Martin membalas mengangkat tangannya. Terlihat Pak Hasan membisikkan sesuatu ke telinga Kapten Martin. Kemudian Pak Hasan keluar ruangan. Di anjungan Pak Hasan memanggil Jefri.
“Jef, kita pulang dulu ke kantor, setelah itu kita pulang ke rumah. Kau kan harus siap-siap untuk belanja.”
“Ya Pak. Tetapi saya mau lihat dulu papan pengumuman.”
“Oh ya, itu perlu Jef, supaya kau tahu kapan kau mulai kerja.”
“Tu, itu di situ papan pengumumannya Jef. Atau di bawah juga ada, ya terserah kau mau melihat yang mana lah.”
“Yang ini sajalah,” Jefri melihat sebentar papan pengumuman yang tidak jauh darinya. Dibacanya nama-nama yang tertera dan pada satu nama, Jefri melihat namanya tertera di sana, di samping sebelah kiri terlihat jam kerjanya, 04.00 – 08.00 AM dan 04.00 – 08.00 PM. Bay Tank diberangkatkan pukul 02.00 PM.
“Bagaimana Jef, sudah ada jadwal kerjamu ?”
“Sudah Pak, hanya kapal rencananya berangkat pukul l4.00 Saya nggak tahu kenapa berangkatnya harus sore-sore.”
“Ya memang biasanya begitu Jef, menunggu air laut pasang dulu baru berangkat. Tetapi sudahlah, besok kau kan dengan Martin dan Bapak yang mengantarnya. Sekarang kita ke kantor dulu sebentar, langsung kita pulang.”
“Baiklah Pak,” kata Jefri mengikuti Pak Hasan yang menuruni anak tangga.
“Ini karena belum ada muatannya Jef, kita turun tangga begini tingginya. Kalau nanti sudah ada isinya, tidak perlu ada tangga lagi.”
Jefri menemani Pak Hasan ke kantor Tan Hau Shipping. Tidak berapa lama Jefri menunggu di tempat parkir, Pak Hasan datang dan mereka langsung pulang. Jefri datang, dan terus duduk di ruang tamu. Melihat Jefri datang, Ahmad menghampiri Jefri dan duduk di sebelahnya.
“Kapan berangkat Jef ?”
“Rencananya sih besok, Mad.”
“Wah, kalau begitu kita pisah ya Jef ?”
“Yah, paling juga sementara, Mad. Soalnya yang aku dengar, rutenya sekitar sini-sini saja, nggak jauhlah, Mad.”
“Kalau begitu nggak ada acara perpisahan.”
“Akh, ya nggak usah lah.”
“Tapi bagaimana dengan Azizah, apa juga tidak ada acara perpisahan Jef ?”
“Tidak ada Mad, tetapi aku rencananya mau ajak dia menemani aku belanja, Mad. Hanya aku nggak tahu bagaimana mengajaknya.”
“Kau telepon saja Jef, tadi aku lihat dia ada di rumahnya.”
Atas saran Ahmad, Jefri coba menelpon Azizah. Ternyata yang menerima telepon Fuad. Jefri agak malu juga, ketika dia minta untuk dihubungkan ke Azizah, terdengar Fuad agak meninggikan suaranya. Jefri yakin, Pak Hasan ataupun Bu Hasan mendengar teriakan Fuad yang mengatakan ada telepon dari Jefri untuk Azizah. Di seberang sana terdengar suara lembut Azizah menerima telepon Jefri.
“Ada apa Bang, sore-sore begini telepon. Padahal, Abang tinggal turun, dan bisa ke rumah.”
“Bukan begitu Zizah, Abang mau minta pertolonganmu.”
“Pertolongan apa, Bang ?”
“Begini Zizah, kalau kau ada waktu, bagaimana kalau malam ini Kau temani abang belanja. Soalnya abang kan belum hafal jalan atau tempat belanja yang murah tetapi meriah.”
“Zizah mau Bang, tetapi abang permisi dulu sama Bapak atau Mak, ya Bang ?”
“Oh, tentu Zizah, tentu. Abang pasti ke sana nanti ya selepas Maghrib lah. Bagaimana ?”
“Baiklah Bang, Zizah tunggu di rumah ya Bang !”
“Okey, nanti abang ke sana. Begitu dulu ya, yok, daah !”
Baru saja Jefri meletakkan telepon, Ahmad sudah mendekat ke Jefri. Sudah sejak lama sebenarnya Ahmad ingin dekat dengan Azizah, jauh sebelum kehadiran Jefri. Ahmad selalu memendam perasaannya, apabila berdekatan dengan Azizah. Demikian besar gejolak hatinya, keterpautan hatinya pada Azizah. Azizah yang pada dasarnya memang orangnya ramah dan baik pada setiap orang, termasuk pada Ahmad. Hanya Ahmad menafsirkannya lain. Kepolosan hatinya dan lingkungan di kampungnya di Johor sana, membuat Ahmad bersikap demikian. Ketidak canggungan Azizah bila berdekatan dengan Ahmad, yang terkadang malah berani memegang lengannya, membuat Ahmad selalu salah tingkah. Ahmad menganggap, Azizah memberikan angin padanya. Walaupun menggebu-gebu, Ahmad tidak berani mengutarakan perasaannya pada Azizah. Azizah sendiri tidak pernah tahu kalau Ahmad menaruh hati padanya, walaupun sebenarnya Azizah senang berteman dengan Ahmad. Terutama kepolosan, kejujuran, dan kebaikan Ahmad selama ini padanya. Dengan kehadiran Jefri, sebenarnya Ahmad merasa terpukul juga, tetapi Ahmad tidak dapat berbuat apa-apa, karena memang antara dirinya dengan Azizah belum ada ikatan.
Ahmad juga tidak pernah mengutarakan tentang perasaannya terhadap Azizah pada Jefri. Sampai sore ini pun Jefri tidak tahu kalau Ahmad sangat menyenangi Azizah. Apalagi malam nanti dia akan mengajak Azizah belanja dan jalan-jalan. Jefri tidak dapat membayangkan bagaimana pertemuannya dengan Azizah malam nanti. Terlalu pagikah seandainya mengutarakan perasaan pada Azizah ? Apa kata Azizah nanti, seandainya Jefri mengutarakan perasaannya ? Kalau sekedar mengucapkan sayang, barangkali Azizah tidak akan marah. Membayang-bayangkan wajah Azizah, akhirnya Jefri terkantuk. Ahmad mencoba mengejutkan Jefri.
“Jef, kau tu ngantuk, termenung, atau sedang membayangkan Azizah ?”
“Membayangkan Azizah, Mad,” jawab Jefri spontan, tetapi kemudian disadarinya kalau kata-katanya barusan pengakuan bahwa dirinya jatuh cinta pada Azizah.
“Hah, betul lah kataku, kalau kau tu selalu memikirkan si Azizah tu. Nah, sekarang kau tidak bisa lagi memungkirinya Jef.”
“Tetapi kalau pun iya, kenapa Mad ?”
“Kenapa, ya. Aduh, maaf Jef, aku tidak tahu kenapa. Yang jelas, aku do’akan semoga kau tu benar-benar dapat memiliki Azizah.”
“Akh, jangan-jangan dia sudah punya boy friend lah.”
“Setahuku tidak Jef. Aku perhatikan dari dulu, belum ada lelaki yang menemuinya ataupun yang mengajaknya keluar.”
“Hebat juga kau Mad, sampai ada atau tidak adanya orang mengunjunginya pun kau tahu. Jangan-jangan kau malah menyenanginya juga, Mad.”
“Tak lah Jef. Aku tak…..”
“Ya tak bisa melupakannya, iya kan ?” Jefri coba menebak perasaan Ahmad
“Tidak, tidak!” Jawab Ahmad langsung berdiri meninggalkan Jefri di rung tamu.
“Eh, eh Mad, kau mau lari ke mana ?”
“Ini Jef, aku mau mandi dulu, mau siap-siap shalat Maghrib lah.”
Di kamar mandi, sengaja Ahmad menghidupkan shower yang keras. Dia coba melupakan wajah Azizah, tetapi semakin dicobanya untuk melupakan Azizah yang kini mulai dekat dengan Jefri, semakin kuat pula bayangan Azizah merangkulnya. Ahmad membayangkan, seandainya Azizah dijilbab, pastilah ayah dan maknya di Johor sana akan menerima Azizah dengan senang hati. Aku harus memboyongnya ke Johor. Dengan gajiku yang pas-pasan, mana mungkin aku dan Azizah tinggal di Singapura ini. Sebaiknya gedung-gedung dan pencakar langit digantikan dengan pepohonan, sawah ladang yang luas membentang, sehingga perbandingan kaya miskin tidak mencolok lagi. Kalau tidak, aku tidak akan sanggup membahagiakan Azizah. Tidak, tidak mungkin aku membangun keluargaku di Singapura ini. Kehidupannya sangat keras, sehingga setiap individu harus bekerja keras kalau mau hidup. Tetapi sekeras apapun yang kulakukan, tidak ada lagi peluang untukku meningkatkan diri. Salah satu jalan agar aku bisa memiliki rumah sendiri, aku harus pulang kampung . Aku rindu suara-suara burung, kokok ayam yang selalu membangunkanku di pagi hari. Aku akan beternak ayam dan bebek yang dapat kujual di pasar Johor Bahru. Dengan demikian, aku dapat membangun rumah tanggaku. Aku akan minta orang tuaku meminang Azizah dari Pak Hasan untuk kujadikan isteriku. Bersambung………