Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(61)
Halaman 301-305
Kenangan sehari bersama Jefri. Mungkinkah ? Desy takut kalau pagi-pagi Jefri keluar hotel, maka pagi-pagi sekali Desy telah keluar rumah.
Melihat itu, Bu Sumarna buru-buru menemui Desy. Tidak biasanya Desy keluar rumah tanpa pamitan padanya.
“Kalau Ibu boleh menebak, pasti Desy akan menemui Bang Jefri, iya kan ? Sudahlah Des, dia tidak mungkin akan menunda keberangkatannya,” ujar bu Sumarna memegang tangan Desy yang sedang mencoba membuka pintu mobil.
“Kok Ibu bisa tahu kalau Bang Jefri tidak akan menunda keberangkatannya ?”
“Lho ibu kan pernah bicara dengannya.”
“Bicara dengannya ?”
“Kapan ?”
“Ya waktu kau terbaring di rumah sakit. Pada saat itu, karena perhatian yang sangat besar padamu, ibu jadi simpati padanya. Ternyata orangnya cepat akrab, sehingga kami sering mengobrol. Sampai masalah pribadi Ibu tanyakan padanya.”
“Kalau soal kekasihnya, apa dia mau menceritakannya pada Ibu ?”
“Kalau yang satu itu, dia menjawab tersenyum saja, Jadi lbu tidak tahu. Hianya soal penundaan keberangkatan, walau Ibu tahan, dia tidak mau.”
“Alasannya apa sih, Bu ?”
“Alasannya, dia mau mengembangkan usaha.”
“Cuma itu, Bu.”
“Ya. Cuma it.”
“Kalau bcgitu, ijinkanlah Desy untuk menemuinya pagi ini, Bu.“
“Kau akan mengajaknya ke mana, Des ?”
“Ibu tahu saja Desy akan mengajaknya main. Desy akan memintanya untuk menemani Desy satu hari ini, Bu. Pokoknya dari pagi, siang, dan malam dia harus bersama Desy.”
“Kau ini ada-ada saja Des. Apakah dia mau ?”
“Ibu lihat saja nanti di sini,” kata Dcsy menunjuk kc kamera yang dibawanya.
Desy memacu mobilnya ke hotel. Dia sengaja tidak menelepon Jefri terlebih dahulu. Desy benar-benar akan membuat kejutan, dan paksaan bila Jefri tidak mau memenuhi permintaannya. Desy gembira, karena dari keterangan resepsionis yang ditemuinya mengatakan kalau Jefri masih berada di kamarnya. Desy malah minta dihubungkan ke kamar Jefri.
“Bang, pokoknya, Desy ingin pagi, siang, dan malam ini Abang harus menemani Desy.”
“Mau ke mana, Des ?”
““Pagi ini, kalau Abang tidak keberatan, kita ke Tangkuban Perahu. Kita ke gunung, Bang.”
“Wah, Bagaimana, ya ?”
“Bagaimana, gimana, Bang ? Apakah Abang ada acara ?”
“Tidak, tidak ada. Hanya……..”
“Ahk, pokoknya Abang turun, Desy tunggu di bawah,” ujar Desy langsung mengembalikan telepon pada resepsionis.
Jefri tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti kemauan Desy. Bagi Jefri sendiri sebenarnya ada hal yang juga akan disampaikannya pada Desy. Sudah lama dia ingin menceritakan sesuatu pada Desy. Sehingga bagi Jefri, ini kesempatan yang harus juga dimanfaatkannya. Tidak ada salahnya kalau dia menceritakan tentang pribadinya pada Desy. Desy sangat gembira, ketika dia berhasil membawa Jefri ke luar hotel.
Desy langsung memacu mobilnya ke arah Utara kota Bandung. Di Lembang, Desy menghentikan mobilnya di depan sebuah toko. Dia mengajak Jefri turun untuk membeli makanan ringan, dan minuman ringan. Dari sana Desy kembali memacu mobilnya ke arah Tangkuban Perahu. Memasuki kawasan Tangkuban Perahu, walaupun hari biasa, ternyata banyak juga pengunjungnya. Termasuk wisatawan mancanegara. Beberapa pedagang cendera mata menghampiri mereka, Begitu juga dengan pedagang asongan lainnya, termasuk penjual strawberi. Setelah memarkir mobilnya, Desy mengajak Jefri naik ke bukit. Di sana ada batu-batuan yang dapat mereka jadikan tempat beristirahat.
“Keberangkatan besok sudah tidak dapat ditunda lagi, Bang ?”
“Lho, memangnya ada acara penting yang harus Abang hadiri ?”
“Ya, tidak juga. Desy hanya menanyakan kalau-kalau saja Abang masih betah di Bandung, dan membatalkan keberangkatan Abang ke Singapura.”
“Yah, kalau mau mengikuti kata hati Abang, sebenarnya Abang bisa saja menetap di Bandung ini, dan ……..”
“Benar, Bang ? A…A…A… Abang akan menetap di Bandung ?” sambut Desy gembira, dan menatap wajah Jefri, langsung diraihnya kedua tangan Jefri.
“Sebentar, sebentar, Des. Itu kalau mengikuti kata hati,” lanjut Jefri menarik tangannya, kemudian diraihnya kembali kedua tangan Desy, dan dipegangnya erat-erat.
“Memangnya suasana hati Abang, kenapa apa ?”
“Sedang gundah gulana, sedang kacau Des, ya pokoknya, Abang bingunglah Des.”
“Desy baru tahu sekarang, kalau hati Abang sedang kacau. Padahal, selama ini Desy mengira, Abang itu tenang-tenang saja. Padahal, kalau Abang, tahu, justru hati Desy yang sedang kacau,” ungkap Desy menatap wajah Jefri yang terlihat sendu.
“Ahk, kau jangan main-mainlah Des. Abang kacau, kau ikut-ikutan kacau pula. Bukankah selama ini Abang lihat kau gembira terus, ya ceria terus. Abang tidak percaya, kalau pikiranmu sedang kacau.”
“Yah, Abang boleh saja mengatakannya demikian. Apa Abang lupa, kalau dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu. Buktinya, Desy sampai diopname, iya kan ?”
“Ha, ha. Kau ini bisa saja Des. Abang lagi serius, kau malah mau main-main.
“Lho, siapa yang main-main ? Desy serius Bang. Kalau tidak serius, buat apa Desy mengajak Abang jauh-jauh ke sini. Hati Desy di ambang kehancuran, Bang.”
“Di ambang kehancuran ? Kalau masih di ambang, berarti saat ini belum hancur, dong.”
“Belum memang, tetapi beberapa detik lagi, akan hancur berantakan. Sulitlah Desy untuk mengungkapkannya. Sulit sekali, sepertinya….”
“Apakah karena dia jauh sehingga kau sulit untuk mengatakannya ?”
“Tidak, tidak jauh. Malah sangat dekat, dekat dan dekat sekali.”
“Ya, kalau dekat, Abang kira tidak ada alasan untukmu mengatakannya.”
“Justru sebaliknya, karena dekatnya, jadi bertambah sulit untuk mengucapkannya.”
“Abang jadi bingung. Katakan sajalah Des, siapa tahu Abang dapat membantumu.”
“Abang serius mau membantu Desy ?”
“Serius ! Apa kau masih meragukan Abang untuk membantumu, hayo katakanlah.”
Didesak demikian. Dcsy tidak menjawab. Dia malah mcnundukkan kepalanya. Dia tidak dapat membendung air matanya. Jefri tidak tahu kalau Desy menangis. Tetapi begitu Desy menarik tangannya, kemudian mengambil sapu tangan, dan menyeka air matanya, Jefri terkejut. Ditatapnya wajah Desy.
“Ada apa sebenarnya, Des ?”tanya Jefri menggeser duduknya ke sisi Dcsy, kemudian meletakkan tangannya ke bahu Desy. Desy meronta, dan menepis tangan Jefri. Dia langsung berdiri, menatap serius ke wajah Jefri.
Jefri kaget, dan langsung berdiri. Diulurkannya kedua tangannya untuk meraih kembali bahu Desy. Desy meronta dan suara tangisnya kian meninggi.
“Hayo, katakanlah Des,”bujuk Jefri terus mencoba memeluk Desy.
“Baiklah, kalau memang Abang memaksanya Walau sebenaruya, Desy sudah tahu jawabannya, kalau itu Desy katakan. Percuma lah Bang.”
“Lho percuma bagaimana ? Kau belum mengatakannya, tetapi sudah tahu jawabannya. Itu berarti, tidak ada masalah, bukan ?”
“`Terbalik, justru dari jawahan itulah masalahnya. Masalah besar, malah !”
“Abang jadi bertambah bingung. Masalah Abang saja belum Abang ceritakan pada Desy. Kalau terus menangis, dan tidak mau mengatakannya, Abang kira sia-sia kita jauh-jauh ke tempat ini, ayo katakanlah Des,”desak Jefri.
“Desy senang, Abang Ternyata bisa juga marah.”
“Bukan marah, Abang hanya sedikit kesal. Kesal, punya adik yang ternyata tidak percaya pada Abangnya. Adik seperti apa, itu !”
“Adik ? Hanya, se..ke..dar, adik ?”
“Ya, hanya sekedar adik. Terus“
“Nah, itulah jawahan yang Desy maksudkan. Abang tetap saja menganggap Desy sebagai adik. Tidak akan lebih dan itu, iya kan ?” Tegas Desy menatatap wajah Jefri..
“Maksudmu……..”
“Ya, Desy ingin lebih dari itu. Desy menyayangi Abang, tidak sekedar sayangnya seorang adik pada Abangnya. Desy………”
“Tidak, tidak mungkin Des. Abang tidak sebaik Yang kau duga selama ini. Abang…”
“Desy sadar Bang. Itulah yang Desy katakan tadi, bahwa Desy sudah tahu apa yang akan Abang katakan. Desy sudah memaksakan diri Desy untuk mengungkapkan ini semua, Desy sudah….”
“Maafkan Abang Des. Kalau saja Abang mengikuti naluri nafsu Abang, dengan berpura-pura mencintaimu, bisa saja. Tetapi itu tidak Abang lakukan, karena Abang sangat hormat pada keluargamu, terutama dirimu Des. Jadi, terimalah ketulusan dan kejujuran Abang ini, Des.”
“Asal tidak, jawaban klise saja. Bahwa Abang sebenarnya sudah punya kekasih di Singapura. Atau, jangan-jangan, karena keluarga Desy dulunya hanya seorang jongos dari Tuan Hong, jadi Abang malu !”
“Bukan, bukan klise Des. Abang benar-benar hormat, tulus, dan jujur, bahwa Abang menganggapmu sebagai seorang adik. Kalau pun ada kekasih Abang di Singapura, tidak ada hubungannya dengan masalah mi. Justru Abang mau menceritakan, kalau hubungan kami sudah berantakan, sudah hancur. Terus soal masa lalu keluargamu, Abang tidak menpermasalahkannya, karena yang Abang tahu, Kakek Hong tetap hormat pada orang tuamu. Lupakan itu ! Yang pasti, Abang besok berangkat, dan di sana menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak ada. Hancur, hancur hati ini Des.”
“Separah itu Bang? Abang keberatan menyebutkan nama kekasih Abang itu ?”
“Abang sulit untuk menceritakanya. Wanita itu bemama, Azizah. Ketika bapaknya meninggal dunia, kami sempat kontak. Tetapi setelah itu, semuanya hilang. Kau tahu Des, Abangnya sangat membenciku, sejak kami baru berkenalan. Seandainya bapaknya masih hidup, Abang masih punya harapan. Tetapi sekarang, Abang kira sudah tidak mungkm lagi.”
“Tidak mungkin bagaimana ? Dia kan masih ada di Singapura, dan Abang masih dapat menghubunginya, bahkan menemuinya, iya kan ?”
“Des, abangnya itu polisi…”
“Polisi ? Terus kalau polisi seenaknya saja dia mau menangkap Abang ?”
“Ya enggak juga, tetapi kalau di luar negeri, hal-hal sepele bisa saja direkayasa, dan dijadikan masalah. Terakhir kami kontak, saat dia mengabarkan bapaknya meninggal dunia. Itu pun, karena fasilitas perusahaan.”
“Terus telepon rumahnya kan Abang tahu ?”
“Flat yang mereka tempati adalah fasilitas perusahaan, jadi begitu pindah, langsung diisi penghuni yang baru lagi. Akh sudahlah, bagaimana nanti saja. Begaimana, sudah waktunya kita makan siang, kan ?” Kata Jefri coba mcngalihkan pembicaraan.
“Kalau begitu ceritanya, tidak ada alasan Abang untuk segera meninggalkan Desy. Desy bertambah yakin, sebenarnya ada alasan lain yang Abang coba tutupi dari Desy. Abang kurang terbuka,”tandas Desy meninggikan nada bicaranya.
“Kurang terbuka bagaimana? Abang kira, begitulah cerita yang sebcnamya.”
“Ya, kalau begitu, Abang tidak perlu ke Singapura, iya kan ? Menurut Desy, tidak ada orang yang mau mendatangi kekecewaan, tetapi justru menghindar. Nah kalau Abang, malah mendatanginya. Apakah itu tidak hal yang aneh ?”
“Tetapi Des, urusan Abang ke Singapura kan bukan hanya soal itu, masih ada hal lain yang perlu Abang kerjakan. Termasuk agen, atau mitra kerja kita di Singapura, kan perlu segera dilaksanakan,” ujar Jefri memberikan alasan.
“Abang egois, egois !” kata Desy meronta, dan meloncat ke bawah mendekat ke arah pagar di pinggir kawah Tangkuban Perahu.
Jefri terkejut. Dia tidak menyangka Desy senekad itu. Dia takut Desy akan bunuh diri, terjun ke kawah Tangkuban Perahu. Jefri langsung melompat, mengejar Desy, dan dipeluknya Desy erat-erat dari belakang. Desy meronta.
“Jangan, jangan halangi Desy. Biarkan Desy lompat ke kawah.”
“Des, apa-apaan ini ? Sadarlah Des, sadar. Kau lihat, orang-orang mamperhatikan kita, apa kau tidak malu ?”
“Kalau sudah masuk kawah, apanya yang malu, lepaskan, lepaskan ! “ Desy terus meronta.
“Ya, tapi apa kata orang tuamu nanti ? Bagaimana kalau polisi menuduh Abang yang mendorongmu ke kawah sana, bukankah itu menyusahkan kita semua ?”
“Susah ? Siapa yang mau memikirkan kalau Desy susah, tidak ada, kan?”
“Kami semua menyayangimu.”
“Semua ? Semua yang mana ? Abang kan tidak menyayangi Desy, iya kan ?”
“Lho, kata siapa Abang tidak menyayangimu. Sudahlah Des, mari kita pulang,”bujuk Jefri memutar badannya, ke depan Desy. Diusapnya perlahan pipi Desy yang basah, kemudian dipegangnya dagu Desy.
“Tataplah mata Abang, tataplah Des,”bisik Jefri terus mengangkat sedikit dagu Desy.
Dengan mata yang masih basah, Desy mencoba menatap perlahan-lahan wajah Jefri. Wajah seorang pemuda yang benar-benar telah memikat hatinya. Demikian polosnya wajah itu. Desy tidak sanggup memandangnya lama-lama. Ditutupnya kembali matanya. Saat Desy menutup matanya, Jefri mengecup perlahan kening Desy. Desy tersentak, kaget. Didekapnya Jefri erat-erat. Dibenamkannya wajahnya ke dada Jefri. “Sudahlah Des, kita tinggalkan tempat ini, bukankah tadi, kita akan makan ?”
Desy tidak menjawab, tetapi dia ikut melangkah ketika Jefri memapahnya perlahan-lahan meninggalkan bukit bebatuan di Tangkuban Perahu. Jefri meminta kunci mobil dari Desy. Meluncurlah mereka ke Selatan, menuju Lembang. Selama dalam perjalanan, Desy menyandarkan kepalanya di bahu Jefri. Keduanya membisu. Di tikungan memasuki kota kecil Lembang. di sebelah kiri, Jefri mengurangi kecepatan, kemudian berhenti, tepat di depan sebuah rumah makan.
“Des, Des, kita sudah sampai,”sapa Jefri, mengelus lembut rambut Desy, kemudian turun memutar kc arah kiri membukakan pintu untuk Desy.
Desy menggeliat, mengusap-usap matanya. kemudian tangannya menutup mulutnya yang menganga, karena masih mengantuk. Tetapi Jefri telah nembukakan pinlu untuknya.
“Oke, oke, Desy akan turun,” kata Desy mengulurkan tangannya agar disanbut Jefri.
Jefri menyambut tangan Desy, kemudian mereka bergandeng tangan memasuki rumah makan. Seorang pelayan wanita menghampiri mereka, dan memberikan daftar makanan.
“Dari sini, kita ke mana lagi, Des,”tanya Jefri selepas membayar kepada pelayan.
“Pulang,”jawab Desy singkat.
“Lho, kok pulang ? Bukankah kau menghendaki kalau kita berdua sampai pagi ?”
“Rencananya sih begitu, tetapi apa masih ada gunanya ?”
“Maksudmu“
“Ya, percuma sajalah. Abang sudah memberi keputusan yang tidak bisa diganggu gugat, iya kan ? Kecuali….”
“Kecuali apa, Des?”
“Kecuali, secara tiba-tiba seluruh isi bumi ini lenyap, dan yang tersisa, hanya ada Desy, dan Abang, barulah Desy kira, Abang tidak bisa menghindar, kan ?”
“Ha, ha, kau ini, ada-ada saja Des. Tetapi, apa sampai sekejam itu ? Kalau tinggal berdua, itu artinya penjelmaan kembali cerita Adam dan Hawa.”**
Bersambung…..