Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(63)
Halaman 311-314
“Oke. Boss. Lho, kok cuma ini ?”
“Maksudmu, “
“Iya, semuanya saaja, enggak apa-apa kok.”
“Jangan, jangan, Des.”
“Kenapa sihk ? Kok Abang kelihatannya ragu-ragu, ayolah,”bujuk Desy terus.
“Ahk kau ini ada-ada saja, Des. Sudahlah, kalau begini terus kapan Abang mandinya, iya kan ?”
“Ya terserah Abang lah,”ujar Desy meninggalkan Jefri, terus melangkah ke belakang, memberikan pakaian Jefri pada pembantu untuk dikeringkan. dan di setrika.
Jefri agak segan juga sebenarnya keluar dari kamar mandi. T-shirt yang dikenakannya tidak masalah, tetapi piyama yang dipakainya terlihat kelonggaran. Dia tidak mungkin untuk teriak-teriak memanggil Desy hanya, karena celana piyama yang kelonggaran. Akhirnya Jefri memberanikan diri keluar dari kamar mandi, menuju ke ruang makan. Benar saja, di sana sudah ada Bapak Sumarna dan isterinya. Terlihat mereka sudah segar, ceria dengan balutan busana baru. Jefri menarik kursi untuk duduk_ Tiba-tiba saja Desy datang dari belakang, langsung membantu Jefri menarik kursi. Desy mengambil posisi duduk di samping Jefri. Aroma parfum yang dikenakan Desy sangat menusuk hidung Jefri. Dengan gaun malam yang berwarna hitam, terlihat Desy sangat anggun malam itu.
“Kami sengaja menyiapkan hidangan ini untukmu, Jef. Jadi kau jangan sungkan-sungkan. Perlu kau ketahui Jef, di antara hidangan ini, ada masakan yang khusus dipesan Desy untukmu “
“Waw, anak manja ini ternyata tahu juga masakan kegemaranku,”ujar Jefri meletakkan telapak tangannya ke kepala Desy.
“Kata Desy. ikan sambal goreng kecap ini, masakan kesayanganmu, Jef. Benar itu, Jef ?”tanya Bu Sumarna memandang Jefri.
“Benar Bu. Kalau begitu, biar ikan itu yang pertama saya sikat. Bawa ke sini Des biar langsung Abang sikat, ujar Jefri minta Desy untuk mendekatkan ikan hasil pesanan Desy.
“Sebentar, sebentar, Jef. Ibu heran, dihidangkan ikan, bukannya mau dimakan, ini malah mau disikat, jadi Ibu heran juga”
“Maaf” Bu, istilah saya, sikat itu berarti segera dimakan,” Jelas Jefri
“Huh, Ibu kira tadinya sikat itu, ya seperti menyikat cucian.”
Mendengar penjelasan Jefri. Sumarna tidak dapat menahan tawanya. Tawanya membahana di ruangan makan. Melihat. suaminya terpingkal-pingkal, Bu Sumarna jadi meledak juga tawanya. semula Desy senyum. Sudah lama sekali dia tidak melihat kedua orang tuanya demikian bahagianya. Begitu lepasnya mereka berdua tertawa. Desy memandang ke arah Jefri, yang, menunda untuk menyikat ikan yang sudah terhidang di depannya. Melihat itu. Desy tertawa. Jefri heran kenapa Desy tertawa setelah memandangnya. Jefri mengira Desy mentertawakan piyama yang dikenakannya. Membayangkan itu, akhirnya Jefri tertawa juga. Terjadilah paduan tawa menggema di ruang makan. Padahal, masing-masing orang di ruang makan itu tidak faham kenapa urat tawa mereka serentak membahana. Benarkah Pak Sumarna tertawa karena kata-kata sikat ? Benarkah Bu Sumarna tertawa karena melihat suaminya ? Benarkah Desy tertawa karena membayangkan piyama yang dikenakan Jefri ? Terus, benarkah Jefri tertawa karena dia juga membayangkan seperti apa yang dibayangkan Desy ?
Hanya ada satu orang di rumah itu yang tidak berpartisipasi untuk tertawa. Tetapi dialah saksi yang mencatat, bahwa rumah di mana dia puluhan tahun menjadi pembantu, belum pernah dia menyaksikan suasana yang demikian marak, penuh keceriaan dan damai. Sebenarnya dia ingin juga tergabung bersama-sama dengan tuan, nyonya, non Desy, dan sang tamu ajaib, Jefri. Ajaib ? Yah, bermula dari kehadiran pemuda itulah Tuan dan Nyonyanya bersatu kembali. Darinya pula non Desy penuh ceria. Tetapi, kenapa pemuda itu malah mau meninggalkan kota Bandung. Orang secantik non Desy tidak meluluhkan hatinya. Atau malah dia menolak menjadi menantu Pak Sumarna ? Dia ingin menghampiri anak muda itu untuk memberitahukan kalau baju dan celana panjangnya telah disetrikanya. Tetapi wajarkah dengan kedudukanku aku bergabung, dan larut bersama mereka?”
Diselingi tawa serta menikmati makan malam, tidak ada lagi di antara mereka yang ingat akan waktu. termasuk Jefri. Dia tidak ingat kalau besok pagi dia harus meninggalkan Kota Bandung. Kota yang telah memberinya nafas baru di tengah-tengah sebuah keluarga yang saat pertama kali kehadirannya terlihat kurang harmonis, tiba-tiba saja kini menjelma menjadi keluarga yang harmonis. Mudah-mudahan sepeninggalku nanti keluarga ini terus, penuh kedamaian.
“Bapak dan Ibu, sudah saatnya saya harus kembali ke hotel,” kata Jefri berdiri menggeser kursinya, kemudian mendekati Pak Sumarna.
“Bapak, dan Ibu barangkali tidak bisa mengantarmu ke bandara. Maaf kami, Jef.”
“Oh tidak apa-apa. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya mengucapkan terima kasih atas perhatian Bapak, Ibu, dan Desy selama saya berada di tengah-tengah keluarga Bapak.
“Bapak juga minta maaf, ya Jef,”ujar Sumarna berdiri. dan memeluk Jefri.
“Maafkan Bu,”ujar Jefri menghampiri Bu Sumarna. Mereka pun berpelukan.
“Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan limpahan kemakmuran pada keluarga Bapak dan Ibu,”ujar Jefri melirik ke arah Desy. Desy berdiri, dan menghampiri Jefri, merekapun berpelukan. Desy menangis, menyembunyikan wajahnya di dada Jefri. Jefri mengelus perlahan-lahan rambut Desy.
“Abang tidak marah kan, kalau Desy juga tidak ikut mengantar Ahang ke bandara besok pagi. Sekarang pun, barangkali supir Bapak yang mengantarkan Abang ke hotel. Desy mau tidur, dan begitu bangun besok siang, Abang sudah ada di Singapura,”
Hidup adalah kenyataan. Kenyataan dan sebuah perjalanan anak cucu Adam, sampai pada kehadiran Sumarna, isterinya, Desy, dan Jefri. Pada detik lalu mereka tertawa terbahak-bahak, tetapi pada detik berikutnya, mereka menangis. Menangis karena dalam beberapa jam lagi, satu di antara mereka akan pergi. Pergi untuk sebuah perjalanan, sebuah pengembaraan yang tiada satu pun di antara mereka yang dapat memastikan apakah di antara mereka dapat bertemu kembali. Tuhan menentukan jelajah manusia. Kapan saatnya jelajah itu henti dan terus menjelajah, hanya Tuhan yang menentukan. Kefahaman inilah yang mereka sadari. sehingga air mata mereka tidak dapat terbendung. Mereka bersatu dalam kerinduan, keterharuan, dan kecintaan.
Jefri sangat terkejut ketika pagi-pagi sekali telepon di kamarnya berdering. Di bawah sana Tatang, Fauji telah siap untuk mengantarnya ke bandara Husein Sastranegara. Jefri memanggil Tatang dan Fauji untuk datang ke kamarnya.
“Terima kasih, kalian telah membangunkan aku,” ujar Jefri.
“Tidak apa-apa, aku tahu kau pasti telat tidur dan aku tahu kau ada di mana kemarin pagi, siang, dan malam. Kami semua tahu, Jef,”canda Tatang duduk di samping Jefri di atas ranjang.
“Maksudmu semua, semua yang mana, Tang ?”
“Ya siapa lagi kalau bukan orang-orang di kantor.”
“Dari mana kalian tahu ?”
“Ya dan ketidakhadiran kalian di kantor, jadi kami herkesimpulan, kalau kalian pasti sedang berduaan. Benar enggak, Ji ?”
“Betul”
“Eh, Tang tolong kau calling ke bawah, kalau-kalau ada pembayaran yang harus aku selesaikan. Sekalian, tolong kau urus juga taksi,”pinta Jefri langsung masuk ke kamar mandi.
Ditemani Tatang dan Fauji, selangkah demi selangkah memasuki ruang keberangkatan di bandara Husein Sastranegara. Di tengah hilir mudiknya penumpang, mereka bertiga saling berpelukan.
“Tolong kau jaga kepercayaan ku padamu, Tang. Sampai di Singapura nanti aku akan berikan nomor-nomor yang bisa kau hubungi.”
“Bagaimana dengan Desy, apakah juga termasuk yang harus aku jaga ?”bisik Tatang coba mengalihkan pembicaraan, dengan nada bercanda.
“Huh !”jawab Jefri singkat, dan menepuk-nepuk bahu Tatang.
Jawaban singkat dari Jefri, tentu saja tidak dapat diterjemahkan oleh Tatang, maupun Fauji. Yang jelas, bagi Tatang, Jefri adalah dewa penolong. Dewa yang telah menghamparkan jembatan yang harus dilaluinya. Dilaluinya secara perlahan-lahan, dirawat, dan terus menerus; dijaganya. Singkat memang kata-kata Jefri, tetapi justru kata-kata singkat itu bermakna luas, panjang dan perlu terus menerus ditumbuh-kembangkannya. Itulah tantangan bagi Tatang menapaki masa depan “Easy Tour & Travel”, dan juga dirinya.
Selangkah demi selangkah Jefri menuju ke pesawat yang akan menerbangkannya ke Jakarta, sebelum menuju ke Singapura. Salah satu kota yang terkenal di dunia, kota yang menantang hidup dan kehidupannya.**Bersambung … Besok ke bagian 5