Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di taman Merlion Singapura-(7)
Halaman 31-35
Biarlah hidupku hanya sebagai petani, tetapi Azizah tetap ada di sampingku. Rumah kami akan kami jadikan tempat pengajian bagi masyarakat yang ingin memperdalam masalah keagamaan. Aku yakin Azizah akan menyetujui ideku ini. Menjelang sore, aku pulang dari sawah, anak-anak tetangga sudah pada kumpul menanti kedatanganku. Azizah menyambut kedatanganku dengan senyum, menggandeng tanganku memberiku minuman hangat. Sebelum mandi, Azizah menyiapkan handuk untukku, dan aku mandi. Mandi sepuas-puasnya. Betapa bahagianya hidup ini. Oh, Azizah.
“Mad, Mad,” teriak Jefri diiringi ketukan pintu kamar mandi berulangkali. Ahmad tersentak dari lamunannya. Dikecilkannya kran shower, terdengar keras suara Jefri dan ketukan pintu. Astagfirullah, sudah berapa lama aku berada di kamar mandi ini ? Ahmad sadar, betapa sakitnya bertepuk sebelah tangan. Inikah yang dikatakan pungguk merindukan rembulan ? Bisa saja orang mengatakan demikian, tetapi kalau Tuhan memberikan Azizah sebagai jodohku, siapa yang dapat menghalanginya ? Sekarang Azizah dapat saja berhubungan dengan Jefri, dengan siapalah, tetapi kalau Azizah memang jodohku, takkan ke mana-mana. Ahmad mencoba menghibur dirinya sendiri.
Kembali Ahmad tersentak mendengar suara Jefri.
“Mad, kau baik-baik saja ?”
“Baik Jef, baik. Sebentar aku belum sabunan,” jawab Ahmad sedikit gemetar karena kedinginan.
“Hah ! Kau baru mau sabunan ? Kau tahu, Mad, dari tadi sudah azan Maghrib.”
“Sebentar Jef, sebentar.”
Dengan tubuh yang gemetar dan dibalut handuk, Ahmad jalan menunduk menuju kamarnya. Jefri heran melihat tingkah Ahmad. Apa gerangan yang menimpa anak muda yang baik ini ? Sekilas Jefri melihat ada masalah yang sedang dihadapi Ahmad. Tidak biasanya Ahmad demikian, karena selama ini yang Jefri ketahui, Ahmad itu orangnya periang dan suka bercanda. Hanya masalah pribadi, kelihatannya Ahmad sangat tertutup. Kasihan juga Jefri melihatnya. Jefri bersiap-siap untuk turun menemui Azizah. Begitu mau keluar, dia masuk lagi ke dalam kamar. Dia berulangkali menyisir rambutnya yang sudah rapi. Jefri mengenakan t-shirt warna biru kesenangannya yang warnanya mulai pudar. Sebenarnya dia akan mengenakan baju tangan panjang, tetapi dipikirnya suasananya kurang pantas, apalagi yang menemaninya seorang gadis yang masih muda. Maka tidak ada yang lain, t-shirt dan celana jeans yang juga mulai pudar itulah modal kencan pertamanya bersama Azizah. Ahmad bingung melihat tingkah Jefri, kemudian didekatinya.
“Kau tu sudah handsome la Jef. Sebelum kau pergi, apa tidak sebaiknya kita makan dulu Jef. Aku takut, kau keliling-keliling, kecapaian lalu pingsan.”
“Nanti sajalah Mad. Aku mau buru-buru, takut Azizah terlalu lama menungguku. Tetapi Mad, tadi kau ngapain saja begitu lama di dalam kamar mandi ?”
“Tak ada apa-apa lah Jef.”
“Jangan-jangan kau sedang……”
“Sedang apa Jef ?” potong Ahmad penasaran dan sedikit gugup. Alamak mati aku. Kok Jefri tahu kalau tadi aku menghayal kehidupanku bersama Azizah.
“Akh nggak, aku hanya main-main Mad. Tapi biasalah Mad anak muda begitu di kamar mandi.”
“Oh begitu Jef ?”
“Yah begitulah. Aku kira wajar-wajar saja kok, Mad. Okey lah aku pergi dulu ya,” kata Jefri meninggalkan Ahmad.
Wajarkah kalau aku terus memikirkan Azizah, sementara yang jalan bersamanya kini adalah Jefri ? Kalau Jefri menyatakan cinta, terus Azizah menerima cinta Jefri, berarti mereka berdua sepasang kekasih. Oh, sangat beruntungnya kau Jefri. Begitu dia datang, begitu cinta menyambut.
Jefri berdiri sejenak di depan rumah Pak Hasan. Perasaannya berkecamuk, berdebar-debar. Memang dia sudah akrab dengan Pak Hasan maupun isterinya, tetapi meminta ijin untuk membawa puterinya, agak ragu juga Jefri. Pak Hasan pernah memberikan saran pada Jefri, kalau mau belanja minta ditemani Azizah. Tetap saja ada keraguan Jefri untuk masuk. Begitu akan diketuknya pintu, tiba-tiba saja pintu terbuka. Ternyata Fuad yang membuka pintu. Kaget juga Fuad melihat Jefri sudah berdiri di depan pintu. Karena kekagetannya, Fuad tidak langsung menyuruh Jefri masuk, tetapi malah teriak menyebut nama Jefri.
“Pak, ada Bang Jefri.” teriak Fuad membuka pintu lebih lebar.
Di ruang tamu terlihat Pak Hasan, isterinya, dan Azizah. Jefri sedikit membungkukkan badannya dan mengucapkan selamat malam.
“Sini Jef, sini, kau duduk di situ saja,” tawar Pak Hasan mempersilahkan Jefri duduk berhadapan dengannya.
“Terima kasih Pak.”
“Baru saja Azizah mengatakan kau akan mengajaknya belanja, eh nggak tahunya kau sudah datang, dasar jodoh ! Ayo siap-siaplah kau Zizah, mau menunggu apa lagi, yang ditunggu kan sudah datang,” jelas Bu Hasan sembari mengusap-usap rambut Azizah.
“Akh, Mak,” desah Azizah langsung bangkit, berjalan menuju kamarnya.
Mendengar penuturan Bu Hasan, sebenarnya Jefri malu juga, namun apa yang dibayangkannya di depan pintu tadi sebelum masuk, tidak terjadi. Yang terjadi, malah Jefri tidak perlu meminta ijin lagi sebagaimana yang disarankan Azizah padanya. Mendapat perlakuan yang demikian baik dan ramah, Jefri malah tertantang untuk benar-benar menjaga Azizah. Kepercayaan ini harus dijaga sebaik-baiknya. Fuad masuk dan langsung duduk di sebelah Jefri.
“Bagaimana Fuad, apa kau mau ikut dengan kita ?”
“Nggak mau akh, takut mengganggu.”
“Lho mengganggu apa ? Kita kan cuma mau belanja.”
“Akh nggak akh, cuma mau pesan makanan saja, kalaupun boleh.”
“Boleh, boleh, Fuad mau pesan makanan apa ?”
“Martabak pisang !”
“Eh, nggak boleh begitu Fuad,” sanggah Bu Hasan atas kelancangan putera bungsunya.
“Oh, nggak apa-apa.”
“Iya Jef, jangan kau dengar si Fuad itu,” tambah Pak Hasan.
“Tidak apa-apa. Kalau Bapak, dan Ibu, mau pesan apa ? Biar nanti sekalian saya bawakan.”
“Tak payah lah Jef,” ujar Pak Hasan menampik tawaran Jefri.
“Kalau Bapak, biasanya cha koi atau roti bakar, Bang Jef.” Bisik Fuad agak keras ke telinga Jefri. Ternyata bisikan Fuad terdengar oleh Pak Hasan.
“Hus ! Kau ni nak buat malu saja. Tidak Jef, tidak, jangan kau dengar si kancil tu,” sanggah Pak Hasan menunjuk ke arah Fuad yang panggilan akrabnya si kancil.
“Fuad ? Tak boleh begitulah. Sini mak nak suruh kau beli kopi kak bawah,” tutur Bu Hasan mengalihkan pembicaraan.
Fuad berdiri menghampiri Bu Hasan dan langsung memeluknya manja. Pak Hasan dan isterinya tertawa melihat tingkah Fuad. Jefri juga ikut tertawa. Padahal, Azizah baru saja keluar kamar. Karena semua orang di ruang tamu tertawa, Azizah masuk kembali ke kamarnya. Diliriknya ke kaca. Apa yang mereka tertawakan ? Azizah bingung. Dibukanya lemari pakaian, diperhatikannya satu-satu. Jefri saja mengenakan t-shirt dan celana jeans, mengapa aku harus pakai rok. Kebetulan, Azizah punya t-shirt yang warnanya sama dengan yang dikenakan Jefri. Akh, aku harus seragam dengan Jefri, sehingga mereka tidak bisa lagi mentertawakan aku. Pikir Azizah. Dengan langkah mantap, Azizah pun keluar dari kamarnya. Suasana sudah tenang, tidak ada lagi suara tawa yang menggema di ruang tamu.
Melihat Azizah datang, Jefri langsung Bangkit. Dia tidak percaya, Azizah yang selama ini dilihatnya berbaju lengan panjang dan rok yang panjang, tiba-tiba mengenakan baju yang seragam dengannya. Sungguh menakjubkan !
“Hayo Jef, kau menunggu apa lagi, kok berdiri tegak terus di sana,” ujar Bu Hasan yang Melihat Jefri tercengang.
“Baik Bu, saya permisi dulu.”
“Mak, Zizah nak temankan Bang Jefri.”
“Pak, saya permisi,” ujar Jefri melangkah ke pintu. Azizah menyusul dari belakang.
“Bang Jef, jangan lupa pesanan aku tadi, ya !” teriak Fuad mengejar keluar.
Sejak menunggu pintu lift terbuka, di dalam lift, sampai jalan ke taman sekitar flat kawasan Beach Road, baik Jefri ataupun Azizah belum bicara sepotong kalimat pun. Sampai di perapatan Jalan Sultan, Azizah berhenti dan menoleh ke Jefri.
“Bang Jef, kita mau belanja yang dekat-dekat sini saja, atau mau yang agak jauh tetapi murah juga, di People’s Park Centre, daerah Upper Cross Street ?”
“ kata orang-orang di Arab Street yang murah.”
“Ya, kalau Arab Street nggak jauh dari sini. Dua blok dari sini sudah Arab Street,” jelas Azizah sambil memutar tangannya ke arah Arab Street.
“Abang sudah putuskan, Zizah mengantar abang, jadi bagaimana baiknya, terserah Azizah saja. Pokoknya abang ikuti Zizah lah.”
“Okey, kalau begitu kita ke seberang dulu, menunggu taksi di sana,” ajak Azizah meraih tangan Jefri dan ditariknya untuk menyebrangi Jalan Sultan.
Jefri sebenarnya agak kaget juga tangannya ditarik Azizah. Karena pada saat itu, pikirannya berkecamuk. Masalah belanja bukan lagi tujuan utama, tetapi bagaimana gejolak hatinya dengan Azizah. Ingin rasanya dia memeluk Azizah dan tanpa ragu-ragu mengungkapkan perasaannya pada saat itu juga. Ini adalah kencan pertama. ini adalah pertama kalinya dia dibebaskan berduaan atas ijin kedua orang tua Azizah, apakah harus berlalu begitu saja tanpa kesan ? Tiba-tiba saja Jefri menjadi kaku dan tidak tahu harus berbuat apa di saat Azizah sudah berada di sisinya. Azizah kan bukan anak remaja lagi, sudah mahasiswi. Tanpa kata-kata pun sebenarnya Azizah akan mengerti, begitu juga kedua orang tuanya, bahwa ini adalah peluang yang diberikan padanya. Betapa bodohnya aku ini. Keheningan sejenak itu buyar, saat Azizah menarik tangannya untuk menyeberangi Jalan Sultan. Hampir-hampir Jefri terjatuh di tengah jalan.
“Hei, ada apa ini Bang. Kelihatannya Abang tak concern lah.”
“Ini Zizah, abang lagi pusing sedikit,” Jefri memberi alasan dan memijat kepala dengan tangannya sebelah kiri. Tangan kanannya masih dalam genggaman Azizah. Jefri sengaja membiarkan itu.
“Kalau begitu, kita pulang saja lagi Bang, bagaimana ?”
“Jangan, jangan Zizah. Nggak, nggak ini nggak lama, sebentar juga sehat lagi.”
“Ya sudahlah, kita naik taksi ke People’s Park sajalah belanjanya. Itu tempat belanja yang cukup populer di Singapura ini, terutama untuk kelas menengah lah. Satu lokasi sudah lengkap, dari pada di Arab Street, masih harus keliling-keliling. Apalagi Abang kan pusing.”
Azizah coba menyetop taksi yang baru memasuki Jalan Sultan. Ketika disebut People’s Park, tukang taksi tidak menanyakan lebih jauh lagi. Hal itu meyakinkan Jefri bahwa tempat belanja yang disebutkan Azizah tadi cukup populer di Singapura ini. Jefri menyandarkan kepalanya di sandaran jok belakang. Jefri merentangkan tangan kanannya melewati kepala Azizah. Begitu jari tangannya menyentuh bahu, Azizah langsung menyandarkan kepalanya ke dada Jefri. Jefri kian memeluk erat. Rambut Azizah menempel di hidung Jefri. Azizah demikian damai dalam pelukan Jefri. Kian beranjak dewasa, kian langka dia mendapat pelukan dari kedua orang tuanya. Apalagi dari kakak-kakaknya. Sudah lama sebenarnya dia ingin mendapat pelukan dari lawan jenisnya, tetapi belum ada yang berkenan di hatinya. Tetapi dengan Jefri, orang asing yang baru saja dikenalnya, ada perasaan lain yang dirasakannya. Ternyata dia tidak bertepuk sebelah tangan, karena Jefri juga tertarik padanya. Jefri tidak peduli sudah berapa dollar angka pada argo taksi, tidak peduli keramaian Singapura di waktu malam dengan lampu yang beraneka warna. Selama taksi belum berhenti, selama itu pula dia tidak melepaskan dekapannya. Dia tidak berani mengusik kedamaiannya sendiri, atau kedamaian yang dirasakan Azizah dengan pertanyaan-pertanyaan yang barangkali malah merusak suasana. Akhirnya Jefri menyandarkan kepalanya ke kepala Azizah dengan pelan penuh perasaan. Keduanya terlelap, damai. Dari kaca spion, supir taksi melirik. Dia iri pada penumpangnya yang begitu duduk, langsung berpelukan. Saat-saat seperti itu, ingin rasanya dia segera pulang dan memeluk isterinya. Sudah lama dia tidak memeluk isterinya.
Dia meninggalkan rumah saat siang hari, dan pulang menjelang pagi, di mana anak dan isterinya benar-benar sedang tidur terlelap. Saat isterinya mengurus anak-anak dan belanja ataupun masak, dia pula yang sedang tidur mendengkur. Saat menjelang pagi, adalah saatnya mengantarkan penumpang dari klub-klub malam ke hotel-hotel berbintang atau ke losmen-losmen di sudut-sudut kota. Dari kupu-kupu malam yang berhasil menggaet mangsanya. Dari muda-muda yang tak terkendali dari lingkungannya. Nasib baik, dapat tip yang besar, tetapi apabila sebaliknya, uang setoran bisa ludes. Tepat di pelataran parkir People’s Park Centre, sang supir menghentikan taksinya.
“Hallo,” tegur supir taksi bersamaan menekan klakson.
Azizah dan Jefri sama-sama tersentak. Azizah mengusap matanya dan melihat angka pada argo, lalu Azizah membuka dompetnya dan langsung membayar. Jefri tidak bisa berbuat banyak, ketika dilihatnya Azizah membayar Taksi.
“Seharusnya saya yang membayar, Zizah.”
“Sudahlah mari kita naik ke lantai dua,” ajak Azizah menuju eskalator.
Di atas eskalator, Jefri memeluk pinggang Azizah. Azizah membalas memeluk Jefri. Begitu sampai di lantai dua, Azizah menunjuk ke arah kanan.
“Nah, kalau di sini Bang Jef tinggal pilih.”
“Suasana di sini membuat aku bingung Zizah. Sudahlah kita ke bagian celana dan baju di sana itu. Yang penting ada untuk kerja.”
Jefri coba memilih beberapa celana dan baju dan dibawanya ke counter untuk dibayar. Tidak lama Azizah pun membayar sesuatu. Jefri tidak tahu apa yang dibeli Azizah, karena terbungkus plastik. Keduanya turun menuju ke halaman People’s Park.
“Zizah, bagaimana kalau kita makan atau minum-minum dulu, tetapi abang tak tahu di mana tempat yang enak.”
“Sudah, kita kembali saja ke daerah Arab Street, di sana juga ada tempat makan-makan.”
“Bagaimana dengan pesanan Fuad tadi dan untuk Bapak di rumah ?”
“Ya, kita bisa beli di sana lah.”
Kembali Azizah memanggil taksi dan meluncur ke arah New Bridge Road menuju Victoria Street dan berhenti di perempatan Arab Street. Tenda-tenda penjaja makanan dan minuman terhampar luas. Cahaya lampu, alunan musik, dan membaurnya berbagai lagu dari tenda-tenda yang ada, membingungkan Jefri untuk memilih di tenda yang mana. Tetapi tidak demikian dengan Azizah. Kelihatan dia ada satu tempat langganannya.
“Kita istirahat di sini saja ya Bang. Abang mau pesan apa ?”
“Yang mudah sajalah. Abang pesan nasi goreng dan minum es jeruk. Kalau Zizah, mau pesan apa ?”
“Mie goreng, dan minumnya lechee.”
“Bagaimana dengan pesanan Fuad, apa kita beli sekarang ?”
“Oh ya, kalau begitu saya ke sana saja dulu sebentar, ya ?” balas Azizah terus berdiri meninggalkan Jefri menuju ke penjual martabak, yang hanya beberapa meter dari tenda mereka. Ketika nasi goreng dan mie goreng disajikan, Azizah tiba. Diletakkannya kantong plastik di atas meja, dan dia duduk saling berhadapan dengan Jefri.
“Harusnya pesanan Fuad dan Bapak ini, abang yang membayarnya Zizah.”
“Tak apalah Bang, yang penting pesanan mereka, kita bawa, iya kan ?”
“Okey, kalau begitu, mari kita bereskan dulu yang ada di depan kita ini,” ajak Jefri.
“Apa pula makna bereskan itu Bang, aku tak faham lah.”….Bersambung…….