Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di Taman Merlion Singapura-(70)
Halaman 334-337
Clifford Pier, atau Ang Ting, sejak dulu terkenal sebagai markas para pelaut dari berbagai negara termasuk Indonesia. Turun dari kantor pusat Tan Hau Shipping di Shenton Way, walaupun agak jauh Jefri jalan, kaki menuju Clifford Pier. Sejak lama tempat ini dijadikan markas peruntungan bagi calon-calon pelaut. Dan yang belum pernah menjadi pelaut, sampai ke tingkat yang berijazah perwira, ada di sana. Tetapi ada juga yang sudah bekerja yang sengaja ke sana, hanya untuk mencari teman. atau ingin mencari orang-orang sekampung, kota, atau juga satu suku. Ciri khas atau kelompok daerah memang sudah terbentuk lama. Termasuk penyediaan asrama mereka di berbagai kawasan di Singapura. Setiap ada peluang, yang mereka utamakan selalu orang-orang yang berasal dari daerah mereka. Kalau tidak ada teman sekampung, se kota, se propinsi, barulah mereka cari orang yang, se bangsa, dan se tanah air.
Di Clifford Pier, selain menjadi markas para pelaut, juga berkeliaran para calo tenaga kerja. Lazimnya, mereka mematok 30 persen dari gaji pokok yang pertama kali diterima para calon. Jefri bingung di tengah hilir mudiknya orang-orang di Clifford Pier. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kalau dia menawarkan pada orang yang sedang duduk atau berdiri di dekatnya. takut-takut orang tersebut sudah kerja. Kalau diberitahukannya pada orang-orang di sana, jangan-jangan dia malah dituduh calo. Untuk menghilangkan kebingungannya, Jefri mendekati kios penjual koran Dibelinya surat kabar dan majalah terbitan Jakarta. Baru saja dia membaca headline, seseorang menghampirinya.
“Kalau aku tidak salah, kau Jefri, kan ?”
“Benar, tetapi. sebentar-sebentar” jawab Jefri sedang memikirkan lelaki gondrong yang barusan menyapanya.
“Aku Khairul Siregar, Siregar, akh masak kau lupa, Jef”
“Aduh maaf, maaf Regar. Dulu badanmu tidak segemuk ini. dan rambutmu tidak segondrong ini. iya kan ? Maafkan aku Regar,”jawab Jefri langsung menarik tangan Siregar, dan digenggamnya erat.
“Ya, sama-samalah Jef. Namanya juga kita baru sekali bertemu, kemudian pisah, Jadi kau maklumlah. Aku sudah satu minggu ini off, dan napasku tinggal satu minggu lagri.”
“Napasmu tinggal satu minggu lagi ? Ahk, jangan macam-macam Regar. Baru saja bertemu, kau sudah membuat jantungku terpacu keras. Aku enggak mengerti.”
“Ha, ha, kau ini memang masih polos, Jef. Batas waktu visa, bagi kita di luar negeri, itu sama artinya dengan napas. Nah, kalau satu minggu ini aku tidak dapat kerja, aku harus pulang ke Indonesia, Atau menyeberang dulu lah ke Malaysia.”
“Kebetulan, kebetulan kalau begitu. Karena…”
“Kau ini bagaimana Jef, kawan nganggur. kan bilang pulak kebetulan. Apanya maksudmu, aduh matilah awak ini.”
“Sabar Regar, sabar. Aku belum habis bicara, sudah kau potong, Jadi beginilah. Tahu enggak, aku sebenarnya mau mengatakan kebetulan kalau kau itu nganggur. Sebentar, sebentar, jangan kau potong dulu. Aku datang ke sini, justru mencari orang untuk bekerja di kapal Linenya ke Amerika. “
“Ke Amerika. Jef ?”
“lya, ke A m e r i k a. Kau berminat, enggak?”
“Alhamdulillah. Kau ini benar-benar dewa penolong. Jef. Kau tahu enggak dari dulu kepingin kali aku ke Amerika. Mak, kalau kau masukkan aku ke kapal yang kau katakan barusan, itu artinya, Amerika itu sudah di depan mataku. Di depan mataku, Jef”
“Kalau begitu, langsung saia kita tinggalkan saja tempat ini. Atau, perlu enggak kita isi dulu kampung tengah (perut) kita ini. “
“Sudahlah Jef. Kalau soal `kampung tengah. gampang itu. Go to America yang lebih penting, Amerika, Jef”
“Tenang, tenang saja. Lowongan itu aku yang mengurusnya, Jadi bagaimana aku, dan perlu kau ketahui, kapten kapal itu nantinya, pamanku. Jadi kau enggak perlu takut.”
“Kaptennya, pamanmu ? Wah tambah syuur (enak) kalau begitu.”
“Tambah syuur bagaimana ?”
“Ya tambah syuur lah. Rencanaku, begitu sampai di Amerika nanti, aku minta berhenti. Aku mau kerja, dan tinggal di Amerika. Bisa dua, atau tiga tahun di sana, bila perlu kawin sama orang sana, baru pulang kampung. Hebat enggak, Jef.”
“Hebat ! Tapi ingat, kau jangan coba-coba kabur dari kapal. Bisa hancur nanti karier pamanku. Kau yang kabur, pamanku yang masuk penjara.”“
“Wah enggak mungkinlah aku kabur. Aku justru minta pendapat pamanmu bagaimana caranya aku bisa menetap di Amerika”
“Ya mudah-mudahan saja kau berhasil. Eh, selama ini kau menginap dimana ?
“Biasalah Jef. Aku di Ang Ting ini kan mau nanduk (minta uang), siapa tahu ada yang kenal. Kalau tidak, ya siapa sajalah yang kira-kira tidak keberatan mengajakku nginap di darat, atau di kapal.”
“Okelah, sekarang kita ke kantor saja dulu. Sudah itu, baru kita ke mess. Jadi malam ini kau sudah bisa tinggal bersamaku di mess, sekalian berkenalan dengai pamanku.
“Siang itu Jefri sengaja buru-buru pulang ke mess. Dia ingin Ahmad menemaninya ziarah ke makan almarhum Pak Hasan. Jefri sendiri sebenarnya tahu pemakaman Muslim yang terletak di Jalan Kubur hanya, di mana letak makam almarhum Pak Hasan, dia tidak tahu. Karenanya, tidak ada jalan lain bagi Jefri selain meminta tolong pada Ahmad. Karena Jalan Kubur tidak begitu jauh dari flat Beach Raoad, mereka berdua sepakat untuk berjalan kaki menuju ke makam. Sudah setengah lahan pemakaman mereka lewati, Ahmad belum juga memberitahukan letak makan almarhum Pak Hasan. Hampir di ujung batas, Ahmad berhenti, dan menunjuk ke salah satu makam.
“Jef, inilah makam almarhum Pak Hasan,” ujar Ahmad menunjuk makam yang berada di depan mereka.
Begitu Ahmad menunjuk ke salah satu makam yang ada di depan mereka, Jefri langsung duduk. Benar di sana tertera nama Hasan Bin Ma”arif . Perlahan-lahan Jefri meraba batu nisan yang berwarna abu-abu, dan diusapnya berulang-ulang. Dengan menundukkan kepala, dan penuh khusuk, Jefri rnembaca beberapa ayat suci Al Qur”an. Kemudian, dengan meninggikan suaranya, Jefri mcmanjatkan doa. Ahmad duduk di samping Jefri, dan mengaminkan di akhir-akhir doa. Selesai memimpin doa, Ahmad berdiri, tetapi Jefri masih terus duduk. Dielusnya sekali lagi batu nisan. Terbayang wajah Pak Hasan . Senyum, tawa, dan candanya. Pengabdian terhadap profesinya yang demikian tulus, ikhlas. dan sangat bertanggungjawab, penuh kebapakan. Di tengah terik matahari, tetesan air mata yang membasahi kedua pipi Jefri terasa sejuk. Jefri mencoba berkonsentrasi, dengan menutup kedua matanya. Air matanya terus saja mengalir. “Maafkan saya, tidak dapat memenuhi keinginan Bapak, agar saya dapat mendampingi Azizah. Jauhnya jarak telah memisahkan kami begitu saja, tanpa ada kata-kata perpisahan, ataupun kata-kata yang dapat mengikat hubungan kami. Sekali lagi, maafkan saya Pak. Semoga Allah Subhanahuwata”alla membalas budi baik Bapak, dengan rahmat. taufik, dan hidayahNya.”***
Bersambung…..