Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di taman Merlion Singapura-(8)
Halaman 35-40
Setelah berbelanja Azizah diantar Jefri pulang dan Jefri langsung pamit. Ia tidak sempat bertemu lagi denga Pak Hasan dan isterinya.
“Syukurlah kalau tidak ada apa-apa. Bapak khawatir, kalau-kalau Azizah sakit.”
“Fuad, mak kira sudah malam, bagaimana kalau kau berangkat tidur. Makanan kau tu, biar mak simpan, besok pagi masih bisa untuk sarapan pagi, ya ?”
“Baik mak “ ujar Fuad berdiri melangkah menuju ke kamarnya.
“Pak, saya lihat Azizah tu lagi jatuh cinta pada Jefri.”
“Kenapa pula kau tu dapat menyimpulkan demikian ?”
“Bapak kan tahu, seusia dia, baru malam ini dia mau keluar dengan lelaki. Selama ini, mana mau dia berteman dengan lelaki, apa lagi keluar jalan bersama, ya kan Pak ?”
“Benar juga, tetapi mereka kan baru saja berkenalan, terus jalan bersama malam ini, terus, sejauh itulah mereka langsung menjalin hubungan ?”
“Kelihatannya, memang tidak masuk akal kita, tetapi yang namanya anak muda sekarang ini, hal itu bukanlah hal yang aneh, Mak.”
“Kalau pun iya, kasihan juga Zizah tu. Sebab, si Jefri besok sudah mulai kerja dan kita tidak tahu kapan dia akan datang lagi.”
“Bukankah dulu Bapak katakan kapalnya tidak jauh-jauh berlayarnya.”
“Yang aku tahu dari kantor, memang begitu. Tetapi yang namanya kapal, bagaimana order yang di dapat dari perusahaan. Kalau perusahaan dapat order dekat, ya dekat, tetapi kalau ordernya jauh, ya jauh juga kapal itu berlayarnya.”
“Wah, kalau begitu benar juga kata kau tadi, kasihan lah si Zizah tu.”
“Mudah-mudahan mereka baik-baik saja. Untuk lebih jauh, aku tak dapat komentar lah, tetapi selama dua hari ini aku bersamanya, aku lihat Jefri itu baik dan sopan orangnya.”
“Aku tidak pernah lama berbicara padanya, tetapi aku juga punya pendapat yang sama, kalau Jefri itu sopan santun orangnya. Waktu pertama kali kau bawa dia ke sini dan berkenalan, aku langsung respek. Azizah waktu itu, malah aku lihat langsung tertarik pada Jefri. Malah dia bilang, Jefri itu sebaiknya jadi TV star, dari pada kerja kak laut.”
“Ya, bagaimana nanti saja lah. Jangan-jangan mereka hanya sekedar teman, atau Jefri menganggapnya sebagai adik, karena dia jauh dari adiknya, bisa juga kan ?”
“Benar juga pendapat kau tu Pak. Mereka biasa-biasa saja, malah kita yang repot, yah Sudahlah mari kita tidur,” kata Bu Hasan menarik tangan suaminya.
Di atas, di lantai enam, Jefri juga belum dapat memejamkan matanya. Harum parfum yang dikenakan Azizah masih belum hilang dari napasnya. Debaran jantungnya demikian cepat pacunya apabila terbayang di kelopak matanya wajah Azizah. Kelembutan dan kepolosan Azizah demikian menyatu dengan napasnya, tangannya yang lembut, bahasanya yang lembut, wajahnya yang selalu sembunyi di balik lembaran rambut, ingin selalu dikuakkan menyentuh pipinya. Jefri gelisah, dari posisi satu ke posisi lain, dicobanya, tidak ada yang pas untuk posisi tidurnya. Jefri Bangkit dari tidur, dan duduk di sisi ranjang. Jefri coba memegang gagang telepon. Tetapi dibatalkannya. Dia tidak tahu, Apakah di kamar Azizah ada saluran telepon atau tidak. Diambilnya jam tangan yang diletakkannya di atas meja, dan dilihatnya, pukul 11.47. Tinggal 13 menit lagi tepat jam 12 malam. Akh, tidak sepantasnya aku menelpon saat ini. Jangan-jangan, hanya karena dering telepon, satu rumah bangun semua.
Terus, besok pagi bertemu Pak Hasan, dia cerita dan mengatakan,” Tahu nggak Jef, tadi malam tepat jam 12 malam, ada orang menelpon ke rumah. Begitn bapak angkat, teleponnya ditutup. Kalau anak bapak atau dari teman bapak, pasti tidak ditutup begitu Bapak angkat ya nggak. Itu pasti perbuatan orang iseng, atau gila barangkali,”. Kalau ceritanya begitu, bukankah itu artinya aku ini orang yang suka iseng, atau yang lebih parah, ya dianggap gila. Dengan pemikiran seperti itu, akhirnya Jefri, walaupun dia ingin mendengar suara Azizah, minimal mengucapkan, ”Selamat bobo sayang !” membatalkan untuk menelpon Azizah. Dicobanya untuk berbaring kembali. Jefri agak tersentak mengingat kata-kata terakhir sebelum berpisah tadi, bahwa Azizah akan memberikan sesuatu.
Sesuatu ini pun kembali menjadi pemikiran Jefri. Batas kepenatan urat-urat syarafnya akhirnya penat sendiri. Jefri tidak tahu lagi jam berapa dia tidur, yang pasti ketukan pintu kamar berulangkali mengejutkannya.
“Jef, Jef, apakah Subuh ini kita shalat berjamaah lagi ? Kalau tidak aku tidak bangunkan kau,” terdengar samar suara Ahmad membangunkannya.
“Sebentar Mad, sebentar, aku akan shalat berjamaah denganmu,” balas Jefri terus bangkit dari tempat tidurnya dan keluar menuju kamar mandi.
Seperti biasa, setelah shalat berjamaah, Ahmad menyiapkan sarapan pagi. Kali ini Ahmad tidak dapat menemani Jefri sarapan, karena dia harus melayani Kapten Martin. Sebagaimana pelayanan untuk Jefri, Kapten Martin pun disediakan telur setengah matang dua butir, roti, dan kopi hangat. Sewaktu Ahmad membereskan tempat tidur Kapten Martin, Asun datang membawa beberapa surat kabar. Tugas yang satu ini, memang bagian Asun selama ada Kapten Martin di mess. Sementara di kamar, di mana Jefri tinggal bersama Ahmad dan Asun, tidak ada jatah surat kabar maupun majalah. Kesempatan membaca surat kabar atau majalah, apabila telah selesai dibaca Kapten Martin. Selama itu yang membelinya Asun, berarti pembayarannya urusan kantor. Kalaupun di ruangan Jefri bertumpuk surat kabar atau majalah, itu semuanya bekas bacaan Kapten Martin. Ada satu-dua surat kabar Suara Melayu di lemari itu atas inisiatif Ahmad yang dibelinya dari sisa-sisa belanja. Atau terpaksa dibelinya, apabila ada berita tentang kampung halamannya yang dianggapnya penting.
“Jef, kata Kapten Martin, apakah kau sudah siap atau belum. Kalau sudah, kau ditunggunya di sana.” Ahmad menyampaikan pesan Kapten Martin.
“Sudah, sudah, Mad.” Agak kaget juga Jefri menjawabnya.
“Sini aku bantu,” kata Ahmad menuju ke arah Jefri dan mengangkat tas echolac dorong yang dipegang Jefri. Jefri hanya membawa tas jinjing yang digantungkannya ke bahu kirinya.
“Kita langsung saja ke bawah, Mad, kita tunggu di mobil dan bawa ini. Dan kau Jef, ke rumah Pak Hasan, katakan aku menunggunya di bawah,” perintah Kapten Martin begitu melihat Jefri dan Ahmad berdiri di depan pintu.
Setelah mengunci pintu, mereka bertiga beriringan menuju lift. Tepat di lantai dua, lift berhenti dan Jefri permisi pada Kapten Martin, terus keluar menuju ke rumah Pak Hasan. Di beranda ternyata telah berkumpul Pak Hasan, isterinya, dan Azizah. Jefri pamitan pada Bu Hasan menunduk mencium tangan. Melihat adegan itu, Pak Hasan terharu sedih dan Azizah langsung mengusap air matanya. Jefri mendekati Azizah dipeluknya, dilekatkan pipinya ke pipi Azizah kiri dan kanan.
“Abang pergi dulu ya,” desah Jefri ke telinga Azizah.
“Baik-baik ya Bang ? Ini ada bingkisan dari Zizah kalau bisa bukalah waktu kapal mulai berangkat meninggalkan Singapura.”
“Terima kasih, terima kasih Zizah, assalamu’alaikum,” ujar Jefri perlahan dan menunduk-nundukkan kepalanya.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Bu Hasan dan Azizah bersamaan.
Bu Hasan buru-buru mengunci pintu. Ternyata dia dan Azizah ingin mengantarkan Jefri sampai naik kendaraan. Dengan menyandarkan badannya ke mobil, Kapten Martin sedang serius membaca surat kabar. Ahmad sibuk memberikan salam pada Bu Hasan dan Azizah. Pak Hasan langsung membuka mobil dan mempersilahkan Kapten Martin naik. Diiringi lambaian tangan Ahmad, Bu Hasan, dan Azizah, mobil bergerak meninggalkan komplek flat Beach Road.
Jefri tidak berani menanyakan pada Kapten Martin kenapa sepagi ini mereka berangkat, sementara yang diketahuinya, kapal akan berangkat pada pukul dua sore. Kalau berangkat pukul 12.00, aku masih sempat bercengkerama lebih lama dengan Azizah. Jefri tidak berani mengganggu Kapten Martin yang kelihatan sangat serius membaca surat kabar.
Apalagi dengan kaca matanya yang putih kecil seakan sayang memberatkan hidungnya yang mancung dan kepalanya agak menunduk, Kapten Martin betul-betul menikmati sajian Strait Times. Seakan dia tidak peduli suasana sekelilingnya. Padahal, saat menunggu lampu hijau menyala di perempatan Stamford Road, orang-orang berlalu lalang saling menyilang bergegas ke tempat kerjanya masing-masing, dengan berbagai gaya, model baju aneka ragam yang dikenakan wanita Singapura dan turis-turis asing, bagi Jefri suatu pemandangan yang menarik. Melintas di depan matanya, orang-orang bagaikan jalan di catwalk seakan sedang ada pameran busana. Bukan main memang ! Tepat apa yang dikatakan banyak orang, Singapura juga salah satu kota mode di dunia. Hal ini yang tidak diketahui Kapten Martin. Atau jangan-jangan orang seusianya tidak memerlukan lagi pemandangan-pemandangan yang merusak konsentrasi. Atau jam terbangnya sebagai pelaut, yang membuatnya tidak lagi tertarik hal-hal yang tak pasti, yang hanya membuang waktu.
“Jef, Bapak lihat kau tu termenung terus, ada apa ?”
“Ini Pak, saya lagi memikirkan, tentang kerja saya nanti,” elak Jefri atas kelakuannya yang memalukan. Sebagai orang yang baru menginjakkan kakinya di luar negeri, apalagi Singapura, pemandangan yang barusan dilihatnya memang baru.
“Kerja apa ? Kan sudah diberitahukan posisi masing-masing, kenapa harus bingung ?”
“Soal teman-teman kerjanya Pak, kan belum semua saya kenal.”
“Sebentar lagi kita juga sampai di Jurong, jadi Bapak kira kau masih cukup banyak waktu untuk berkenalan dengan anak buah kapal yang lainnya “
“Benar juga Pak, saya akan manfaatkan hal itu sebelum kapal berangkat,” sambut Jefri atas ide Pak Hasan. Jefri sangat menyesal orang sebaik Pak Hasan telah dipermainkannya. Bagaimana mungkin aku ini menjadi orang yang baik di mata Azizah, baru saja beberapa menit kutinggalkan, aku sudah melirik wanita-wanita lain. Jelas, kelakuan Jefri yang barusan membuatnya malu.
Sesampai di daerah Jurong, terasa udara kian panas. Semakin dekat ke kapal, semakin berdebar jantung Jefri. Ketika menaiki tangga, dengan jinjingan tas echolac yang agak berat, Jefri tidak berani menatap ke atas anjungan ataupun geladak. Berat rasanya mengangkat kaki melewati satu-satu anak tangga, sepertinya mata-mata yang berada di atas kapal menatap tajam menghujatnya sebagai awak kapal yang baru, yang tidak tahu apa-apa soal kapal. Jefri meyakinkan dirinya, bahwa orang yang berada di atas sana tidak menatapnya, bahkan mengucapkan selamat datang. Dikuatkannya hatinya, pandangan matanya ke depan agar meyakinkan mereka-mereka yang menatapnya, bahwa dia siap menjadi pelaut. Akhirnya sampai juga Jefri ke geladak bak permadani hijau terbentang.
“Mari aku bantu Jef,” sambut Jafar melihat kehadiran Jefri.
“Terima kasih, Far. Bagaimana dengan yang lainnya apakah sudah pada datang ?”
“Tinggal tiga atau empat orang lagi lah,” jawab Jafar yang terus membantu Jefri sampai ke kamarnya.
“Eh Far, kalau kau tidak keberatan dan ada waktu, tolong aku kenalkan dengan teman-teman yang sesamaku di bagian mesin atau oiler.”
“Kau ingin sekarang atau kau ingin istirahat dulu, karena aku lihat tadi dua oiler teman kerjamu itu sudah ada di kamarnya.”
“Lebih cepat akan lebih baik, aku rasa, Far.”
Ternyata kedua oiler, kamarnya bersebelahan dengan kamar Jefri. Atas bantuan Jafar, akhirnya Jefri dapat berkenalan.
“Ini Jefri yang tugasnya juga sama denganmu, di bagian mesin,” sapa Jafar memperkenalkan kehadiran Jefri.
“Jefri Dharmawan.”
“Effendi Gani.”
“Tugasmu jam berapa di mulai, Fen ?”
“Mulai pukul 12.00 aku sudah stand by di mesin. Dan kau pukul berapa ? soalnya aku belum melihat jadwal pembagian kerja kita.”
“Pukul 16.00, dan itulah waktu yang akan aku catat dalam sejarah hidupku.”
“Baguslah. Kalau begitu, aku nanti akan memanggilmu atau membangunkanmu lima belas menit sebelum pukul 16.00, selamat istirahat saja.”
“Apa Komaruddin ada di kamarnya ?” Tanya Jafar pada Effendi yang kelihatannya ingin segera istirahat.
“Ada, ada. Aku baru saja beberapa menit yang lalu dari kamarnya.”
Dengan penuh kesabaran, Jafar mengantar dan mengenalkan Jefri pada Komaruddin.
“Jefri Dharmawan.”
“Komaruddin. Kau boleh memanggilku Udin. Cukup singkat dan praktis kan ?”
“Cukup, aku kira panggilan itu cukup singkat. Nama itu mengingatkan aku pada nama seseorang di Medan dengan panggilan Udin juga.”
“Hebat juga kalau begitu.”
“Tugasmu, tentunya pukul 20.00, dan aku akan memanggilmu, lima belas menit sebelum pukul 20.00, iya kan ?” Tanya Jefri pada Udin, sebagaimana yang dikatakan Effendi padanya tadi, lima belas menit dari awal, maksudnya, siapa yang mendapat giliran berikutnya, dapat mempersiapkan diri.
“Aku rasa sampai di sini saja dulu, lain waktu aku akan berbincang-bincang denganmu dan tentunya aku harus banyak belajar darimu. Itupun kalau kau bersedia, tentunya.”
“Tentu, tentu aku bersedia membantumu.”
“Terima kasih sebelumnya.”
Belum semua crew Bay Tank yang dapat ditemui Jefri. Kapal tunda atau tug boat telah datang, siap-siap merapatkan kapalnya ke Bay Tank. Baik kelasi kapal tunda maupun kelasi Bay Tank mempersiapkan untuk penarikan Bay Tank ke tengah laut. Hal ini dilakukan karena perairan daerah Jurong masih terlalu dangkal untuk dijadikan keberangkatan kapal. Oleh karenanya, baik masuk ataupun keluar selalu menggunakan kapal tunda. Setelah keluar dari perairan Jurong, baru kapal siap untuk diberangkatkan. Kapten Martin telah berada di anjungan, di sampingnya terlihat Mualim Satu sedang melihat ke arah depan melalui alat teropong. Juru mudi telah berada di belakang kemudi, menunggu perintah Mualim Satu, apakah kapal dibelokkan ke kanan yang dalam istilah perkapalan disebut starboard, atau kiri yang biasa juga disebut port. Biasanya yang mengendalikan kapal, baik masuk ataupun keluar dan suatu negara adalah pandu dari negara yang bersangkutan. Juru mudi hanya mengikuti perintah pandu dan harus mengulangi kata-kata yang diucapkan sang pandu. Umpamanya disebut oleh sang pandu starboard five, maka juru mudi mengucap luang starboard five. Begitu speedometer menunjukkan angka lima, maka juru mudi harus mengatakan, five of starboard wheel on Sir. Akhirnya sang pandu mengucapkan thank you. Begitu seterusnya, perintah-perintah yang harus diikuti juru mudi. Sampai akhirnya merapat, kalau di dermaga, atau sampai ke laut yang memungkinkan kapal siap diberangkatkan. Mesin kapal dihidupkan. Kapal bergetar deburan putaran baling-baling berdesir memacu jalan perlahan-lahan. Kian lama, kian bertambah laju meninggalkan Singapura.
Jefri gelisah. Dia jalan ke depan, ke pagar palka. Pulau-pulau kecil terlihat jelas, apalagi Pulau Sentosa. Memasuki Selat Singapura mengarah ke Utara, membelah Laut Cina Selatan, menuju pelabuhan Kuantan, Malaysia. Kapal kian melaju, angin kian kencang menerpa Jefri. Belum satu jam perjalanan, ombak mulai menampar keras ke lambung kapal. Jefri tidak dapat lagi berdiri tegak. Dipegangnya erat-erat pagar, dan meninggalkan palka, menuju ke kamarnya. Perut Jefri mulai mual merasakan hempasan kecil. Dibaringkannya badannya, dicobanya untuk tidur. Tiba-tiba Jefri teringat bingkisan yang tadi diberikan Azizah padanya. Jefri bangkit, kemudian membuka lemarinya. Dengan agak berdebar, Jefri membukanya. Ternyata isinya handuk, sajadah, dan sepotong surat. ”Bang, Zizah harap dengan handuk ini, Abang ingat terus pada Zizah. Dan yang satu lagi, katanya, di kapal itu banyak godaannya, jadi Zizah titip sajadah ini buat Abang, agar Abang terus ingat pada-Nya. Do’a Zizah untuk abang tersayang.” Jefri memeluk dan mencium berulang kali kedua benda yang baru dibukanya. Terbayang wajah Azizah yang menunduk sedih ketika ditinggalkannya tadi pagi. Jefri ingin Azizah mengucapkannya langsung sepatah kata terakhir dari suratnya. Jefri memejamkan matanya, dibayangkannya dia sedang memeluk Azizah. Dibisikkannya perlahan ke telinga Azizah. ”Zizah, abang juga sayang Kau.” Alunan ombak kian meninggi, sesekali menghempas keras ke jendela, terasa tamparan yang keras menyapu lambung kapal. Lama kelamaan, Jefri terbiasa dengan suara-suara kerasnya tamparan ombak, deringan mesin kapal yang memacu membelah Laut Cina Selatan. Dengan penghayatan, konsentrasi, dan tekad yang besar, mual-mual yang dirasakan Jefri tadi mulai hilang. Ternyata adaptasi pada sebuah kapal, menyatu dengan segala pengaruh alam yang menyertainya, dapat diatasi Jefri dengan mudah. Langkah berikutnya, kurang dari dua jam lagi, dia akan menjalankan tugasnya yang pertama, menjaga mesin.
Persis di bawah kamarnya, mesin itu berada. Jefri belum dapat membayangkan suasana ruang mesin. Dia belum sempat turun ke bawah. Tetapi dia percaya, Fredick akan membantu dan mengajarkannya tentang mesin kapal. Bukankah Fredick sebagai Masinis Satu yang paling bertanggung jawab terhadap jam-jam yang telah ditentukan pada pengawasan dan keselamatan mesin ? Kian mendekat waktu jaganya, kian berdebar cepat jantung Jefri. Dicoba untuk ditenangkannya, tetap saja ada perasaan-perasaan khawatir itu mengganjal di pikirannya. ”Toh, aku tidak sendiri di bawah sana.” Jefri pasrah “Jef, Jef, stand by. Aku tunggu kau di bawah, oke ?” Terdengar jelas suara Fendi, membuyarkan khayalannya.
“Baik, baik Fen, thanks ya, aku segera turun,” jawab Jefri meyakinkan panggilan Fendi, untuk siap-siap menjalankan tugas pertamanya di kapal Bay Tank. Jefri buru-buru ke kamar mandi, untuk mengambil wudhu. Selepas shalat, dia berdo’a, agar tugas pertamanya berjalan dengan lancar, seterusnya juga lancar serta selamat dalam perjalanan. ”Ya Allah, seandainya kerja di kapal ini baik bagi hamba-Mu, selamatkanlah hamba, lancarkan tugas-tugas hamba, gerakkanlah hati orang-orang di kapal ini agar baik pada hamba, khususnya tuan Fredick.” Jefri mengenakan celana jeans dan kaos t-shirt tangan panjang warna biru. Dibawanya dua potong roti kering, dan termos kecil yang berisi dua gelas kopi serta satu buku diary dan pulpen. ”Bismillah !” Agak keras Jefri mengucapkan asma Allah, begitu melangkah keluar dari kamarnya. Jefri menuruni anak tangga. Suara mesin kian keras menerpa daun telinganya. Diliriknya sekeliling, mencari di mana Effendi berada. Ternyata Fendi sedang menulis sesuatu di meja dekat pagar yang mengarah ke mesin diesel di buritan.
“Sore, Fen. Tolong kau beri aku petunjuk tentang tugas-tugasku, sebelum kau off, ya ?” pinta Jefri pada Fendi.
“Jangan khawatir, Jef,” jawab Effendi terus mengajak Jefri mengelilingi mesin induk dan beberapa mesin diesel pada sisi kanan ataupun sisi kiri. Fendi menjelaskan sedikit tentang fungsi mesin-mesin diesel yang ada. Baik mesin untuk penerangan, kamar kulkas, pendingin ruangan, dan mesin untuk automatic pilot, agar kemudi berjalan secara otomatis, serta mesin diesel yang membangkitkan arus untuk segala sistem navigasi. Setelah memberikan penjelasan singkat, apa-apa tugas yang harus dikerjakan Jefri, Fendi membubuhkan tanda tangannya, bahwa serah terima tugas berjalan lancar. Fendi pun naik, dan mengucapkan selamat bertugas pada Jefri. Jefri gelisah, dipandanginya satu-satu benda yang ada di kamar mesin. Tabung-tabung pengontrol minyak diperhatikannya satu-satu. Ternyata, Fendi baru mengisinya beberapa menit lalu. Tabung-tabung itu harus dikontrolnya, minimal satu jam sekali. Sesekali, badan mesin dirabanya, apakah terasa panas atau tidak. Terlihat jelas merk mesin induk, Steven Dock Port. buatan Inggris, tahun 1985. Baru saja Jefri akan duduk untuk melihat-lihat catatan jurnal, yang tadi ditandatangani Effendi, Fredick telah berada di depannya.
“Hei, Jef, kau boleh mengambilnya beberapa kalau kau mau.” Fredick menawarkan bir kaleng yang dibawa Fredick pada dus besar.
“Terima kasih, Chief. Saya sudah bawa kopi dan beberapa potong roti.”
“Oh ya, kau sudah tahu apa yang harus kau kerjakan ? Kalau ada masalah, kau tinggal datang ke ruanganku. Kau sudah tahu tempatnya, kan ? Bagaimana, ada masalah ?”
“Tidak, sampai saat ini belum ada masalah Chief”
“Bagus. Selamat kerja ya,” ujar Fredick meninggalkan Jefri yang masih berdiri dekat meja kerjanya.
Jefri mulai membalik-balik buku jurnal yang tebal di atas meja. Mulai dari halaman pertama, terus, terus, dan terus dengan secara cermat dibacanya. Diliriknya jam tangannya, waktu berjalan demikian cepat tanpa terasa Jefri mulai keliling memperhatikan dengan cermat setiap tabung, dan mesin-mesin diesel lainnya. Pada saat berada di mesin hidraulik pemutar pengendalian kemudi otomatis, Jefri memperhatikan gerakan-gerakannya. Setiap goncangan ombak merubah sistem kemudi, alat otomatis beraksi mengembalikan pada posisi awal, yang arahnya telah ditentukan Mualim yang menjaga di anjungan. Dari alat ini orang-orang di bagian mesin, dapat mengetahui apakah juru mudi menggunakan auto pilot atau tidak. Demikian pula tujuan kapal pada posisi arah Utara, Selatan, Barat, atau Timur. Grafik elektrik ini akan sama dengan yang berada di anjungan dan akan terhenti, apabila juru mudi tidak menggunakannya. Biasanya, kalau ombak terlalu besar, juru mudi bekerja secara manual. Dengan alat ini pula, juru mudi tidak harus berada di belakang kemudi selama bertugas. Dia dapat melihat-lihat ke arah depan atau samping, dengan alat teropong. Sebagaimana di bagian mesin, yang bertugas memperhatikan alas-alat ukur dan jarum-jarum penunjuk pada angka-angka yang telah ditentukan, demikian pula tugas juru mudi yang sesekali melihat, apakah alat petunjuk mengarah pada satu titik yang telah ditetapkan perwira jaga. Pipa-pipa terbungkus asbes berliku-liku di atas Kepala Jefri. Lampu neon menyala terang.
Alat-alat penyemprot peka panas yang menyerupai lampu bergantungan. Pada ketinggian panas tertentu, kebakaran umpamanya, alat tersebut akan menyemprotkan air secara otomatis. Jefri melihat suasana ruang mesin kapal ini, tidak begitu asing lagi, karena pada masa sekolah teknik dulu, dia praktek di salah satu perkebunan sawit di Sumatera Utara. Besar mesinnya hampir sama. Apalagi mesin-mesin diesel, semuanya sama. Yang agak berbeda, hanya alat hidraulik pengendali kemudi otomatis. Jefri melangkah ke depan. Dilihatnya Fredick sedang asyik membaca buku. Jefri tidak tahu buku apa yang sedang dibaca Fredick. Mungkinkah buku porno? Jangankan awak kapal, perwira-perwira kapal juga kabarnya, suka mengoleksi buku-buku porno. Di beberapa kamar awak kapal, biasanya malah dindingnya selalu dihias dengan foto-foto wanita yang seronok. Biasanya mereka mengambilnya dari majalah Play Boy, Penthouse, atau sejenisuya. Berbeda dengan kamar perwira, yang biasanya tertera foto keluarga, atau foto-foto anak-anak mereka. Hal ini wajar-wajar saja, karena kamar perwira dibersihkan para pelayan, sehingga kalau ada foto-foto yang kurang baik, akan menjatuhkan wibawa mereka. Jefri kembali ke meja kerjanya. Belum selesai dia membaca halaman per halaman buku jurnal yang ditinggalkannya tadi, dihirupnya kopi, diambilnya sepotong roti, dan dimakannya. Diliriknya jam tangannya. Betapa kagetnya Jefri. Dia harus membangunkan Komaruddin. Tepat lima belas menit sebelum pukul 08.30 malam. Jefri melapor pada Fredick untuk memberitahukan pada Masinis Dua, yang dalam jurnal bernama Madjid Osman dan Komaruddin.
Sebagaimana yang dilakukan Fendi tadi, Jefri juga melakukan serah terima dengan Komaruddin. Jefri menghapus wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia bersyukur pada Allah Yang Maha Kuasa, empat jam pertama tugasnya berjalan dengan lancar. Jefri keluar, dipandangnya langit yang penuh bintang, lampu-lampu suar di tepi pantai berkedap-kedip teratur. Ombak biru kelam terus menerpa lambung kapal, berdesir-desir mengeluarkan warna putih yang berkilau kena sinar lampu dari geladak kapal…Bersambung….