Cerita Bersambung Kutunggu Kau Di taman Merlion Singapura-(9)
Halaman 41-45
Kalau menurut teori, apa yang dirasakan saat ini adalah jenis ombak empasan. Karena seluruh badan terangkat dan terbanting. Sebenarnya, ada lima lagi jenis gerakan yang harus dihadapi setiap kapal. Selain empasan, ada goyang guling, yaitu kapal berayun miring ke kanan dan ke kiri. Goyang angguk, kapal berjungkit-jungkit. Goyang goleng, kapal jalannya kelak-kelok seperti ular. Sentakan, percepatan, dan perlambatan akibat naik turun gelombang. Dan terakhir adalah lemparan menyamping, disebabkan beralihnya seluruh badan kapal ke samping. Dari teori Edward V. Lewis ini, goyang goleng dan goyang angguklah yang merupakan masalah besar yang dihadapi dunia pelayaran. Kapal itu sendiri, memiliki tiga sifat yang fundamental, yaitu keapungan, stabilitas, dan kekuatan. Sifat keapungan, adalah kemampuan mengapung dalam segala macam keadaan. Stabilitas merupakan kombinasi antara ukuran yang cocok dan pembagian berat muatan yang memungkinkannya untuk mengikuti kekuatan angin dan gelombang serta selalu kembali tegak dan seimbang lagi. Sementara kekuatan adalah kekokohan bangunan kerangkanya untuk menunjang dirinya sendiri dan segenap isinya, tidak peduli betapa pun hebatnya gejolak-gejolak lautan. Bagi pencipta teori ini, barangkali telah merasakannya puluhan tahun yang lalu, tetapi bagi Jefri, inilah tugas awalnya pada sebuah kapal. Ternyata kapal tidak semudah orang menceritakannya, yaitu masalah uang, wanita, judi, perkelahian, dan petualangan. Tiap segi, trap huruf, pada sebuah kapal, memiliki makna. Diciptakan para ahli, sehingga kapal dapat berlayar mengelilingi dunia.
Angin malam menghembus deras ke tubuh Jefri. Didekapkan tangannya ke tubuhnya. Jefri melangkah menuju ke kamarnya. Dia bersiap-siap ke kamar mandi, dia akan melaksanakan shalat Isya dulu sebelum tidur. Kamar-kamar yang dilaluinya sepi, kecuali kamar Pak Sabar, yang masih terdengar lagu-lagu dangdut. Jefri tidak tahu apakah Pak Sabar sedang menikmati syahdunya lagu-lagu tersebut, atau jangan-jangan Pak Sabar telah terlelap tidur, tetapi tape recordernya tetap jalan. Setiap orang di kapal ini memiliki caranya sendiri-sendiri untuk menghilangkan rasa rindunya pada anak dan isteri, keluarga, kebosanan terhadap pekerjaan yang itu ke itu, bertemu dengan orang yang juga itu ke itu. Kalaupun mau jalan-jalan di kapal ini, yah, tidak lebih dari 250 meter, main ke anjungan. Menonton video dan main organ, hanya ada di ruang makan perwira. Bagi awak kapal lainnya, hanya seonggok TV di sudut atas ruang makan yang tidak terlalu luas. Kalau ingin memutar lagu, para awak kapal harus membawa sendiri radio tape recorder. Fasilitas yang lengkap, hanya ada di kamar-kamar perwira, khususnya kamar Kapten Martin.
“Jef, Jef, stand by Jef !” terdengar keras ketukan pintu dan suara Fendi memanggil-manggil namanya. Jefri tersentak. Diraihnya jam tangan di atas meja. Wah, aku harus cepat-cepat ke kamar mandi, ternyata hampir pukul empat pagi. Jefri tergesa-gesa mengganti pakaiannya, terus menuju ke kamar makan. Dilihatnya Pak Sabar dan Jafar sedang mengobrol, sambil menikmati sarapan pagi.
“Jef, kau mau makan nasi atau roti bakar,” ujar Jafar menawarkan pada Jefri yang terlihat tergesa-gesa.
“Aku mau mengambil kopi dan roti bakar sajalah. Waktuku sangat mepet.”ujar Jefri.
“Tenang saja, Jef, kau duduk saja dulu, nanti Fendi juga ke sini,” tambah Pak Sabar menggeser kursi di sebelahnya.
“Terima kasih, Pak. Saya harus segera turun. Saya pamit dulu ya !” Jefri meninggalkan Pak Sabar dan Jafar di ruang makan. Jefri mengira, hanya dia yang akan kerja sepagi itu. Ternyata, Pak Sabar dan Jafar lebih dahulu bangun dan siap-siap untuk bekerja. Jafar akan menyiapkan sarapan pagi para awak kapal yang ditunggunya sampai pukul 10.00. Setelah itu, dia menyiapkan makan siang. Pak Sabar tinggal menyesuaikan menu yang telah ditetapkan hasil rapat para perwira. Kalau awak kapal, bagaimana yang disiapkan oleh Pak Sabar saja, walaupun sesekali ada permintaan menu, dan Pak Sabar dengan senang melayaninya. Demikian pula dengan Jafar, kalau para awak kapal malas untuk mencuci, tinggal diberikan pada Jafar, tentunya dengan tip yang telah disepakati. Jafar pernah menawarkan hal tersebut pada Jefri. Tetapi Jefri tidak sampai hati menyuruh Jafar, walaupun dengan cara memberikan tip. Jafar adalah temannya yang baik dan guru kecilnya di Bay Tank. Jefri akan banyak belajar, agar dapat dipindahkan ke bagian atas, salah seorangnya adalah Jafar.
“Oke Fen, terima kasih, aku siap menggantikanmu. Bagaimana, baik-baik saja kan ?” Kata Jefri pada Fendi yang siap-siap meninggalkan ruang mesin.
“Baik, baik, Jef. Aku tinggal dulu ya. Biasa, aku mau isi tanki dulu ke atas. Selamat kerja,” jawab Fendi melangkah meninggalkan Jefri.
“Thanks ya !” Jefri membaca sebentar jurnal yang baru saja ditandatangani Effendi. Kemudian dia keliling mencermati satu-satu tabung pengontrol, sebagaimana yang dilakukannya kemarin. Fredick pelan-pelan menuruni anak tangga.
“Morning Sir !” sambut Jefri ketika Fredick menghampirinya.
“Morning, Morning. Bagaimana, semua bak-baik saja ?”
“Baik, baik Chief, Saya baru saja mengontrolnya.”
“Oke lah. Nanti kalau ada apa-apa cepat lapor.”
“Baik Chief”
Seharusnya Jefri yang menghadap ke Fredick, tetapi setiap mengawali tugasnya, malah Fredick yang terlebih dahulu menemuinya. Jefri tidak enak hati juga, tetapi di situlah kelebihan Fredick terhadap anak buahnya. Sepintas, melihat postur tubuhnya yang gemuk tinggi, orang akan segan melihatnya. Tetapi dengan penampilannya yang humoris, seisi kapal menyenanginya. Begitu pula dengan Jefri yang baru mengenalnya, sudah demikian akrab. Walaupun demikian, kewibawaannya sebagai perwira mesin, tetap terjaga dengan baik. Karena kewibawaan itu pula, Jefri belum berani menanyakan pada Fredick tentang buku-buku yang sering dibawa dan dibacanya setiap tugas.
Jefri mulai menikmati kerja rutinnya. Seperti tugasnya kemarin, kini hal itu dilakukannya lagi. Lima belas menit sebelum pukul 08.00, dia memberitahukan pada Komaruddin dan Masinis Dua, Madjid Osman. Setelah permisi pada Fredick, Jefri langsung ke atas, menuju ke ruang makan. Di ruang makan, ternyata ada beberapa orang yang masih asing bagi Jefri. Sebelum menarik kursinya, Jefri memperkenalkan dirinya,
“Maaf, aku mengganggu. Kenalkan, namaku Jefri Dharmawan. Aku bagian mesin dan baru saja off,” kata Jefri mengulurkan tangannya pada orang yang duduk di depannya.
“Kusnadi, Juru Mudi Satu, dan ini teman kita Dahlan, Juru Mudi Tiga,” jawab Kusnadi dan memperkenalkan Dahlan yang berada di sampingnya.
“Dahlan ! Arek Suroboyo, seng ora pernah loyo,” ucap Dahlan menyambut tangan Jefri.
”Sudahlah kenalannya, sekarang kau ke sana saja, Jef, ambil makanan, nanti kembali lagi ke sini. Kita sambung lagi pembicaraan kita,” kata Kusnadi menunjuk ke arah dapur. Pak Sabar dan Jafar sedang mengobrol berdua. Melihat Jefri berdiri di depan pengambilan makanan. Dia langsung mengisi piringnya dengan nasi dan lauk pauk yang tersedia. Pak Sabar langsung datang, menawarkan kalau-kalau Jefri senang makan petai atau jengkol. Jefri tersenyum ketika Jafar benar-benar mengangkat rangkaian tangkai petai. Jefri tidak tahu siapa yang memesan makanan yang sangat menyengatkan bau mulut itu. Atau barangkali itu hanya bahan campuran masakan yang bukan dimakan mentah-mentah. Sementara Jefri sendiri telah lama tidak makan jengkol maupun petai.
“Untuk sekarang, aku belum mau Far, tetapi lain kali aku akan memakannya. Percayalah,” ujar Jefri menahan tawanya.
“Benar Jef, jangan sekarang, soalnya malam nanti kita kan mendarat di Kuantan. Nah, kalau kau sekarang makan jengkol, bisa-bisa cewek-ceweknya pada kabur, ha..ha..ha,” potong Pak Sabar yang terus tertawa. Jafar juga tertawa, akhirnya Jefri juga ikut tertawa. Padahal, Jefri tertawa, karena tidak menyangka kalau di kapal ada juga jengkol.
“Ada apa Jef, kedengarannya tidak ada yang lucu, ya kok kalian pada tertawa,” teriak Kusnadi penasaran melihat Pak Sabar, Jafar, dan Jefri tertawa-tawa.
“Nggak, nggak ada apa-apa, hanya soal jengkol.”
“Jengkol ? Kenapa waktu aku mengambil nasi tadi, dia tidak menawari aku ? Wah, sentimen juga si Jafar itu, awas kau Far !” teriak Dahlan, pura-pura marah kepada Jafar.
“Tapi ada pengumuman dari Pak Sabar, kalau mau mendarat, dilarang makan Jengkol,” jelas Jefri.
“Kalau aku boleh, Jef, soalnya pas mendarat nanti, giliranku jaga. Jadi tolong kau mintakan jengkol sama Pak Sabar itu,” pesan Dahlan.
“Pak Sabar, tolong disimpankan jengkol untuk Dahlan, dia nanti malam nggak bisa mendarat, soalnya dia kebagian jaga,” Jefri menyampaikan pesan Dahlan.
“Sudah Jef, kau makan saja dulu. Kalau kau dengerin terus omongan mereka, kau nggak makan-makan. Kalau Dahlan itu memang rajane jengkol Jef !”
Suasana di kapal, ternyata tidak jauh dengan di darat. Jefri yang semula serius menanggapi pembicaraan teman-temannya, ternyata penuh dengan canda. Hal-hal demikian yang membuat Jefri kian betah di kapal. Masing-masing orang berbeda menghilangkan rasa jenuhnya tinggal di kapal yang lingkungannya dari hari ke hari begitu-begitu terus. Barangkali, bersenda gurau adalah salah satunya, selain membaca, menonton TV, mendengarkan lagu, atau bemain gitar bernyanyi bersama-sama. Terkadang berdangdut ria sambil berjoget, yang disponsori Pak Sabar. Sebagai fans beratnya Rhoma Irama, sudah barang tentu, lagu kesayangannya adalah Begadang dan Darah Muda. Tidak ada halangan bagi Pak Sabar untuk berjoget, walaupun badannya gemuk. Justru dengan goyang pantatnya yang besar itu yang menarik perhatian teman-teman, dan jadi bahan tertawaan.
Jefri tidak menyangka kalau Pelabuhan Kuantan itu hanya biasa-biasa saja. Tidak ada tanda-tanda keramaian, kecuali para pekerja pelabuhan, bea cukai dan pihak imigrasi. Sudah satu jam kapal merapat, Jefri tidak berminat untuk turun. Tanki kapal mulai diisi serentak pada dua tanki, yaitu solar dan premium. Jafar dan Pak Sabar, sudah siap-siap untuk turun. Mereka mencoba mengajak Jefri untuk turun ke darat.
“Inilah kelemahan kapal tanker Jef, kalau dibandingkan dengan kapal dagang maupun kapal pesiar. Kita selalu merapat jauh dan perkotaan, karena kita berdekatan dengan tanki-tanki dan penyulingan minyak,” ujar Jafar menceritakan pengalamannya kerja di kapal dagang.
“Tetapi bukan berarti kita berdiam di kapal terus kan ? Sudahlah Jef, kau ganti bajumu, kita main dulu ke kota. Terus terang, aku juga baru sekali ini ke Kelantan,” sambung Pak Sabar merayu Jefri untuk berjalan-jalan dengan mereka.
“Tunggu sebentar, kalau begitu,” ujar Jefri terus melangkah menuju ke kabinnya.
Cukup jauh juga mereka berjalan, baru terlihat ada taksi. Mereka keliling-keliling. Jefri tidak tahu tujuan Pak Sabar mau ke mana. Padahal, kalau dia mau bertanya dan terbuka pada supir taksi, sudah pasti supir akan mengantarkannya. Akhirnya Pak Sabar menyuruh taksi berhenti. Dibayarnya dengan dollar Singapura. Supir mencoba menghitung sebentar, kemudian uang kembalinya dengan dollar Malaysia. Kalau seandainya dollar Amerika, mereka harus menukarkannya dulu di tempat penukaran uang.
“Kita main-main di pertokoan sajalah, kalau ada yang kita beli, kalau capek, baru kita minum-minum, bagaimana Jef, kau setuju ?” Tanya Pak Sabar.
“Kalau aku, bagaimana kalian sajalah.”
“Bagaimana kami, Jef ? Kau serius dan mau ikut kami kalau seandainya kami ke tempat begituan ?”
“Begituan apa ? Aku belum mengerti, Pak Sabar.”
“Tempat gini, ini,” kata Pak Sabar menggosok-gosokkan jari telunjuk tangan kanannya ke telapak tangan kirinya.
“Kalian yakin di kota ini ada ?” Tanya Jefri sambil terus berjalan.
“Kita tanya saja nanti pada supir taksi, pasti mereka tahu,” Jawab Jafar.
“Tetapi pada supir taksi tadi, kenapa tidak kalian tanyakan ?”
“Tadinya, kami masih ragu dan segan padamu, Jef. Tetapi dengan pernyataanmu tadi, baru kami berani mengutarakannya padamu.”
“Biasa-biasa sajalah. Memang ini pelabuhan pertama yang aku singgahi, tetapi soal kisah-kasih pelaut, sedikit banyaknya, aku pernah mendengarnya.”
“Kalau di tempat ini tidak ada, atau kurang cocok, ya kita ke kota Pahang saja. Agak jauh memang, tetapi aku lebih yakin di sana lebih hebat. Bukan saja kotanya lebih besar, tetapi kemungkinan tempat-tempat begituan, banyak pilihannya,” ujar Pak Sabar.
“Kalau orang-orang seperti kami Jef, modalnya ya cuma dollar. Tampang kami berantakan. Kecuali kau, aku yakin, Jef. Berhenti di jalan ini, berdiri sebentar, aku yakin sudah ada yang kecantol padamu. Aku yakin itu. Jef,” tukas Jafar memuji ketampanan Jefri. I
“Kamu bisa aja, Far. Memangnya aku bintang film terkenal apa.”
“Aku kira, orang sini akan percaya kalau kau bintang film, sekaligus bintang sinetron asal Indonesia. Tinggal aku yang membisikkannya pada cewek-cewek di sini, pasti mereka percaya, kalau kau itu pemain film,” tegas Jafar lagi.
“Seandainya demikian, kemudian mereka menanyakan di mana aku tinggal di Kuantan ini, aku harus jawab apa ? Apakah itu tidak konyol ? Sudahlah, kalau tidak ada tujuan, lebih baik kita kembali saja ke kapal.”
“Kalau aku setuju-setuju saja, tetapi bagaimana dengan pak tua kita ini,” ujar Jafar menunjuk ke arah Pak Sabar.
“Yo wes, terserah kalian saja. Satu dikeroyok dua, yo aku kalah. Padahal, kalau tidak ke Pahang, ya Teluk Cempedak, Pantai Balok, atau Pantai Chendor, juga ramai pengunjungnya,” ujar Pak Sabar menyebut beberapa tempat alternatif untuk dikunjungi.
“Itulah hebatnya orang tua kita ini Jef, pengalaman kelilingnya bukan main, selayaknya dia bisa menjadi…..”
“Aku jadikno opo Far ?” Desak Pak Sabar ingin segera tahu jabatan apa yang akan diberikan Jafar untuknya.
“Menurutku bapak itu layaknya jadi supir taksi. Ya nggak Jef ? Jafar minta dukungan Jefri.
“Supir, supir, ndasmu iku Far, tak penting pisan, modar koe, hayo,” ketus Pak Sabar mengepalkan tinjunya diarahkan ke kepala Jafar.
“Eit, eit, nanti dulu, yang namanya Sabar, harus sabar, ha….ha….”
“Ssst, nanti kalau dilihat polisi bisa-bisa dikiranya sedang berkelahi, bisa kacau kita nanti,” cegah Jefri melihat tingkah Pak Sabar dan Jafar yang suka bercanda di mana saja, termasuk di pinggir jalan dan keramaian massa.
“Eit, tunggu dulu, bukankah yang di seberang itu Mr. Fredick dan Michele Wong ?” Teriak Jafar menunjuk ke arah seberang jalan.
Mereka bertiga berhenti bercanda, melihat Mr. Fredick dan Michele Wong sedang tergesa-gesa jalannya. Fredick dan Michele Wong bersiap-siap untuk menyebrang. Jafar sengaja menghampiri mereka.
“Hei, ada apa kamu di persimpangan ini ?” Tanya Fredick heran melihat Jafar.
“Biasa, Chief, kami cari angin, tu ada Pak Sabar dan Jefri.”
“Kalian ini cari angin atau cari…. ?”
“Benar Chief, cari angin Kuantan,” potong Pak Sabar.
“Sudahlah, sebaliknya kita pulang ke kapal. Barusan aku dihubungi Kapten Martin, ada perubahan, kita akan berangkat ke Kuala Trengganu,” jelas Fredick.
“Jam berapa Chief ?” Tanya Pak Sabar.
“Ya sekarang lah, paling satu jam lagi kita sudah berangkat.”
“Terima kasih Chief, untung kami bertemu dengan Chief di sini, kalau tidak, kami bisa ditinggalkan,” ujar Jefri.
“Ha, ha, ha,… ya tidak mungkin lah Jef. Pihak imigrasi tidak akan memberangkatkan kapal kalau daftar crewnya tidak sesuai dengan daftar kedatangannya,” jelas Jafar.
Fredick, Michele Wong, dan Pak Sabar senyum-senyum melihat ke arah Jefri. Mereka tahu, kalau Jefri baru saja kerja di kapal, sehingga tidak tahu peraturan keimigrasian.
Selamat tinggal Kuantan, tanpa kenangan. Petugas syahbandar Kuantan melepas satu-satu tambang besar dari tambatan dermaga. Mesin kapal kian deras menderu, pusaran air mendesir keras atas putaran baling-baling. Kapal sedikit-sedikit merenggang dari dermaga, mulai maju perlahan-lahan. Deburan ombak Laut Cina Selatan menampar pelan lambung kapal. Lampu dermaga menyala serentak, kian lama kian mengecil, terlihat Jefri masih berdiri menatap ke depan, ke Laut Cina Selatan yang biru kemerah-merahan dari cahaya matahari yang mulai terbenam. Goyangan kapal mulai terasa keras, sekeras angin menjelang malam. Jefri melangkah menuju kamarnya. Diambilnya handuk pemberian Azizah dan ember kecil yang berisikan peralatan mandi. Selesai mandi, Jefri menuju ke kamar makan dengan membawa termos kecil, untuk persiapan jaga malam yang hanya satu setengah jam lagi. Di kamar makan, hanya ada Jafar sedang membereskan meja makan. Jafar membantu menyediakan makan untuk Jefri.
Memasuki kamar mesin, adalah memasuki suasana yang itu ke itu lagi. Ritme irama mesin yang sama, temperatur udara yang sama, dan chief yang sama, yaitu si gendut Fredrick. Dibukanya sebentar jurnal, kemudian disandarkannya badannya. ditatapnya pipa-pipa putih dari yang besar sampai yang kecil. Benar kata Jafar, bagian kelasi atau juru mudi lebih bervariasi. Berjalan-jalan di anjungan, menatap lalu lalang kapal, ombak-ombak yang saling mengejar, ikan-ikan yang melompat yang mencoba mendahului kapal, bila malam, dapat menatap bulan, bintang-bintang di langit dan hembusan angin yang dingin. Siang hari, ada kapal yang searah atau berlawanan arah, dapat membunyikan peluit. Kalau jaraknya dekat, dapat melambai-lambaikan tangan, padahal tidak saling mengenal. Tetapi kapan perpindahan itu dapat terwujud ?
Di Bay Tank sendiri pun dirinya belum genap satu bulan. Artinya, belum pernah merasakan gajian. Mungkinkah setibanya di Singapura nanti aku minta pindah posisi pada Mr. Tan ? Kalau ternyata Mr. Tan tidak berkenan, karena belum apa-apa sudah minta pindah, dan kemudian dilaporkan ke pamannya Mustafa, huh hancurlah semuanya. Atau resiko yang paling fatal, aku malah dikeluarkan. Karena di Singapura tidak ada perusahaan yang menjamin, habis visa, aku terpaksa dipulangkan atau dideportasi. Hm, aku tidak dapat membayangkan kalau itu terjadi. Aku harus kembali lagi ke Belawan, Medan, atau malah ke Siantar ? Kemudian, aku kerja apa ? Sebagai apa, ya sebagai apa, ya kerja di perkeburan satuit, karet, atau malah jadi petani ? Apa aku bisa ?
“Eh, Jef ! Sudah saatnya kau mengontrol, ya kan ? Kuperhatikan kau sedang melamun. Soal kerjaan, atau soal wanita ? Wah, orang seusiamu, pastilah soal wanita ya,” sapa Fredick seraya memukul-mukul meja perlahan dengan telapak tangan kanannya.
“Mengontrol, eh wanita ? Ya, ya…..” ujar Jefri gugup dan tersentak mendengar suara baritonnya Fredick dan bunyi ketukan meja.
“Ha, ha, ha, my God ! Masih muda sudah linglung. Sudah, kau minum kopi saja dulu, biar sadar. Jangan lupa tugasmu, oke ? Ya, kelilinglah,” kata Fredick menyeringai menggeleng-geleng kepalanya, melangkah meninggalkan Jefri.
“Sorry Chief, sorry,” ucap Jefri berdiri dan menganggukkan kepalanya.
Jefri kembali konsentrasi dengan tugas rutinnya. Dia berharap mesin-mesin berjalan lancar, selancar perjalanan ke Kuantan. Lima belas menit sebelum pukul 20.00, Jefri lapor dulu pada Fredick, untuk memberitahukan Masinis Dua Madjid Osman dan oiler Komarudin. Selepas serah terima dengan Komarudin, Jefri tidak langsung menuju ke kantornya. Dipandangnya laut luas yang biru menawan, berkilau-kiau keputih-putiban, tersiram sinar bulan. Dari kejauhan titik-titik lampu Tanjung Belang terlihat. Dihirupnya udara dalam-dalam. Ditatapnya bintang-bintang yang berkelip seakan menyambutnya dan menyampaikan selamat malam. Dipegangnya erat-erat pagar palka dengan kedua tangannya. Badannya terasa dingin, alam seakan memandikan dan memanjakannya. Laut Cina biasanya bergelombang tinggi dan tidak pernah ramah menyambut kapal-kapal yang mengharunginya. Apalagi Bay Tank menuju ke utara, yang tentunya membelah ombak, pada posisi ombak angkat banting. Ternyata perut Jefri tidak bisa diajak berdamai untuk menikmati buaian angin malam. Jefri beranjak, melangkah menuju kamarnya. Diraihnya handuk pemberian Azizah dan peralatan mandi. Dipadukannya pengatur air agar terasa hangat.
Di ruang makan, Jefri hanya melihat Jafar yang sedang siap-siap membersihkan meja-meja makan. Melihat Jefri, dengan tergesa-gesa Jafar menghampirinya.
“Malam Jef, kenapa kamu datangnya terlambat, ke mana saja sih Jef ?”
“Menikmati angin malam,” jawab Jefri langsung duduk.
“Melatih kerja di anjungan, ya ?” Tanya Jafar coba menebak.
Hampir saja nasi keluar dari mulut Jefri, karena tebakan Jafar yang jitu. Jefri tidak menyangka kalau Jafar tahu apa yang diangan-angankannya.
“Kamu sepcrti ahli nujum saja Far. Tahu nggak gara-gara melamunkan ingin jadi juru mudi, aku hampir saja kena damprat. Untung saja Mr. Fredick baik, kalau tidak, wah kacau lah.”
“Bukan ahli nujum Jef, aku hanya ingat waktu pertama kita bertemu dulu. Mudah-mudahan kita sama-sama jadi juru mudi.”
“Ya, sampai kapan Far ?”
“Sampai ada lowongan lah. Perusahaan kita kan banyak kapalnya, atau siapa tahu ada kapal baru, ya kan ?”
“Tetapi aku kan belum tahu apa-apa soal juru mudi. Kau janji mau mengajari aku kan, Far ?”
“Kalau soal yang satu itu, kau jangan takut, aku masih punya catatannya, termasuk buku Internasional Regulation for Preventing Collisions at Sea, Senior Ordinainy Seamen, dan Name of Ship Store.”
“Wah, wah, kau sangat hapal itu semua Far, hebat juga kau ini.”
“Ah, kau kan tahu, aku belum lama keluar, tentu saja aku ingin. Tetapi sudahlah Jef, habis makan, kalau kau tidak capek kita sambung saja di kamarku, bagaimana.”
“Oke, Far. Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih padamu.”
Jefri sangat kagum pada Jafar, karena catatannya tentang pekerjaan perkapalan sangat lengkap. Tulisannya juga sangat rapi. Buku “Internasional Regulation for Preventing Collisions at Sea,” adalah buku tentang “Peraturan Internasional tentang Pencegahan Tabrakan di Laut.” Kalau yang kedua, tentang tugas-tugas awak kapal, dan yang ketiga, tentang jenis jenis barang yang ada dalam sebuah kapal. Mulai dari jenis tali, jenis lampu, bendera, dan kelengkapan lainnya.
“Kalau sudah mantap, ada uang, kita dapat mengikuti pendidikan pelayaran, untuk mengambil Mualim Tiga.”
“Aturannya memang begitu Far ?”
“Selama ini, yang kuketahui begitu. Setiap jenjang pangkat, harus mengikuti pendidikan. Begitu seterusnya sampai pangkat Kapten.”
“Huh, tahu begitu, aku tidak………… “
“Sudahlah Jef, yang penting sekarang kita sudah berada di sini, kita terima saja apa adanya. Kalau memang ada nasib baik, kita akan satu kapal lagi dan sama-sama menjadi juru mudi atau lebih keren disebut Quarter Master.”
“lnsya Allah, do’a kita terkabul Far.”
“Amin !” ….Bersambung……….