Raden Dewi Sartika, Tokoh Perintis Pendidikan Di Tanah Pasundan
Oleh : Anis Herlina Nataprawira,SMKN 1 KARANG TENGAH CIANJUR, GURU BAHASA INGGRIS GOL 4B, GURU SENIOR MUTASI DARI BANDUNG, HIJRAH KE TANAH LELUHUR DI CIANJUR…PANGERAN HIDAYATULOH
Banyak sudah nama-nama Sekolah Dasar yang memakai nama Dewi Sartika. Nama itu dipakai sebagai penghargaan atas jasa jasa Raden Dewi Sartika sebgaai Tokoh Perintis Pendidikan di Tanah Pasundan.
Adalah Sakola Istri. Sekolah pertama yang didirikan Ibu Dewi Sartika.
Pada tahun 1904, Dewi Sartika membuat Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri tahun 1910.
Awal mula didirikannya Sekolah Isteri hanya memiliki dua kelas saja. Sehingga tidak dapat menampung semua aktivitas sekolah.
Karena semakin banyak murid yang belajar, maka ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung agar bisa menampung murid-muridnya.
Di sekolah tersebut, Dewi Sartika mengajarkan tentang membaca, menulis, berhitung, pendidikan agama dan berbagai keterampilan lainnya.
Hingga pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat dan terus berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun kabupaten pada tahun 1920.
Meskipun sekolah tersebut berkembang pesat, namun saat Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah, sekolah tersebut akhirnya mengalami krisis peralatan serta keuangan.
Sebelum sekolah ini berdiri, Dewi memang sudah kerap mengajar anak-anak perempuan berbagai ketrampilan. Mulai dari merenda, memasak, menjahit juga membaca dan menulis kepada saudara-saudaranya.
Namun gerakan dan aktivitas ini akhirnya tercium oleh pemerintah Hindia Belanda. Untungnya, Dewi mendapat dukungan dari Inspektur Pengajaran Hindia Belanda, C. Den Hammer. Hammer kemudian menyarankan Dewi untuk meminta izin mendirikan sekolah kepada Bupati Bandung, RA Martanegara. Dewi kemudian mendapatkan izin untuk mendirikan sekolah puteri pertama di Bandung. Awalnya, sekolah ini bertempat di halaman depan rumah Bupati Bandung itu.
Tahun 1910, sekolah ini berganti nama mennjadi Sakola Kautamaan Istri. Seiring berjalannya waktu, nama sekolah ini kerap berganti-ganti. Mulanya pada masa penjajahan Jepang. Namanya diganti menjadi Sekolah Gadis No. 29. Namun karena penjajah Jepang ingin menjadikan sekolah tersebut sebagai sekolah rakyat, Dewi Sartika terpaksa menutup sekolah tersebut.
Karena dia tak mau kalau harus mengganti kurikulim dan tak lagi hanya mengajarkan kewanitaan.
Untuknya, tahun 1951, sekolah tersebut kembali dibuka oleh Yayasan Raden Dewi Sartika. Selama dikelola yayasan tersebut, sekolah ini mengalami banyak pergantian nama. Mulai dari Sekolah Guru Bawah (SGB) Puteri (1951), Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) Dewi Sartika (1961), hingga Sekolah Kejuruan Kepandaian Putri (SKKP) Dewi Sartika (1963). Kini, sekolah ini masih berdiri dengan kokoh dengan nama SD dan SMP Dewi Sartika. Sekolah ini pun juga memiliki TK yang berada di gedung yang berbeda
Dewi Sartika memiliki nama lengkap Raden Dewi Sartika. Beliau lahir di Cicalengka, Bandung pada 4 Desember 1884.
Sebagai salah seorang tokoh pejuang Indonesia, ternyata sosok Dewi Sartika merupakan anak dari seorang priyayi (kelas bangsawan) Sunda yaitu Raden Somanagara dan Nyi Raden Ayu Rajapermas.
Kedua orangtua Dewi Sartika juga merupakan pejuang Indonesia yang menentang pemerintah Hindia Belanda.
Dikarenakan menentang Hindia Belanda, kedua orangtua Dewi Sartika diasingkan ke Ternate dan terpisah oleh dirinya.
Setelah kedua orangtuanya meninggal, Dewi Sartika kemudian diasuh sang paman, Aria. Dari sang Paman, Dewi Sartika mendapatkan ilmu pengetahuan terkait adat budaya Sunda.
Tak hanya mempelajari adat Sunda, seorang Asisten Residen berkebangsaan Belanda juga mengajarkan Dewi Sartika tentang budaya dan adat bangsa Barat.
Hal ini yang membuat Dewi Sartika ingin memajukan pendidikan bagi kaum perempuan di Indonesia.
Sejak kecil Dewi Sartika sudah menunjukkan bakatnya di dunia pendidikan, seperti menjadi peran guru bersama temannya pada masa kecil.
Ketika menginjak usia 10 tahun, masyarakat di Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca tulis dan beberapa pepatah dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan.
Hal tersebut membuat Dewi Sartika berfikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan.**